Pengunjung

Kategori

Entri Populer

User Login


  • Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  • Mecetak Sumber Daya Manusia yang kompetitif di dunia kerja.
  • Unggul dalam Pengetahuan dan Teknologi.
  • Membangun manusia Indonesia yang tangguh.

Minggu, 01 Mei 2011

Pengaruh Kewirausahaan, Kualitas Manajemen Dan Kualitas Hubungan Franchise Terhadap Kinerja Pemasaran

Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 2, 1 Mei 2011 Hal : 65-74

Lisda Rahmasari
Fakultas Ekonomi Universitas AKI

Abstract

The objectives of the study are  to determine the influence of  entrepreneurship,  management quality, franchise relationship quality, and the impact toward the increasing of  marketing  performance. Purposive sampling is applied to 100 franchise companies  in  Semarang and uses AMOS 5 data analysis. The result of the analysis shows that  entrepreneurship,  management quality, and  franchise relationship company have positive influence which is significant toward marketing  performance. This empirical result indicates that in order to increase marketing  performance by franchise company in Semarang, it should focus on factors, such as franchise relationship quality, management quality, and entrepreneurship, because those factors have influenced the degree of marketing performance. 

Keywords : entrepreneurship, management quality, franchise relationship quality, and marketing performance

Pendahuluan

Dari tahun ke tahun, bisnis waralaba di Indonesia memang terus meningkat. Dari hasil kajian AK and Partners (konsultan waralaba), pada periode tahun 1997-2003 pertumbuhan pewaralaba (franchisee) nasional/lokal rata-rata sebesar 17,13 persen. Indikasi ini sangat menggembirakan dan memberikan optimisme bahwa waralaba (franchisee) nasional/lokal akan mampu terus tumbuh dan menguasai pangsa pasar domestik secara cukup signifikan. Sedangkan waralaba utama (master franchisee) penyandang merek dagang asing, selama periode yang sama (1997-2003), rata-rata pertumbuhannya masih turun 1,75 persen.  Penelitian ekonomi empiris menjelaskan mengapa perusahaan perusahaan memilih untuk mendistribusikan produk maupun jasa mereka melalui jaringan franchise. Sebaliknya, alasan mengapa perorangan mengikuti system franchise dan karakteristik-karakteristik yang memprediksikan perorangan tertarik  untuk menjadi franchisee mendapatkan perhatian yang sedikit.

Ada 3 penjelasan mengapa franchising didirikan. pertama franchising merupakan reaksi atas keterbatasan sumber daya, sebagai sistem yang efisien untuk mengatasi masalah principal-agent, dapat dijelaskan sehingga pencarian cost benefit yang dapat meningkatkan efektifitas saluran. Bisnis franchise diyakini masih akan menjadi usaha yang paling menarik, tapi permasalahan yang muncul tampaknya seiring dengan perkembangan tersebut seperti yang telah dikemukakan diatas .Permasalahaan franchise dapat dialami oleh dua pihak baik itu fanchisee maupuun franchisor juga. Menurut Amir Karamoy (2004) hal-hal yang perlu diperhatikan bagi pebisnis franchise ini banyak, tapi hal penting yang harus mendapat penekanan yaitu manajemen hubungan atau franchise relationship management. Franchise yang menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal secara signifikan, tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan kekacauan system yang akan berimbas pada penyedia eksternal, customer, dan supplier juga franchisee dalam sistem franchise (Kaufmann, 1990 dalam Tikoo, 2005: 329). Ada konflik-konflik yang potensial dalam hubungan antara franchisee dan franchisor dimana kedua pihak saling tergantung, terikat oleh kontrak, dan banyaknya franchisee yang mengajukan komplain kepada franchisor. Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bisnis waralaba di Indonesia masih terus mengalami peningkatan dan melihat dari negara lain bisnis waralaba menjadi sektor bisnis yang dominan dan menjanjikan. Namun Adanya kegagalan dalam membina sistem franchise telah banyak terjadi sehingga perlu dilakukan kajian faktor-faktor yang meningkatkan kualitas hubungan franchisor dan franchisee untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas.

Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovasi, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, 2002). Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai/menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan.

Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan inovasi, proatifitas, dan kemampuan mengambil resiko (Looy et al. 2003). Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis mendorong tinginya kinerja . Perusahaan dengan aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan dinamis adalah kata kuncinya. (Doukakis, 2002). Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari tingginya  kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).

Kualitas Manajemen

Menurut Monroy dan Alzola (2005: 585) kualitas manajemen dapat digambarkan sebagai bisnis yang memfokuskan pada kepuasan konsumen melalui komitmen dengan partner jaringan. Keuntungan penerapan dan pengembangan kualitas manajemen membawa peningkatan sistem franchise yang dapat dilihat dalam aspek berikut ini (Monroy dan Alzola, 2005: 585) : 
  1. Meningkat dengan cepatnya pertumbuhan sistem franchise diikuti pelanggan yang lebih mudah dalam mengakses produk/service.
  2. Franchisee dimotivasi oleh kesempatan untuk bertindak dalam bisnis perseorangan yang cukup antusias memimpin dan berpartisipasi dalam proyek franchisor dan adanya pembagian profit dari unit franchise. Motivasi yang lebih tinggi menghasilkan kepercayaan franchisor dimana franchisor memimpin dengan mengurangi biaya monitoring.
  3. Kualitas transaksional dalam sistem franchise menggambarkan kinerja bisnis dalam jangka pendek dimulai unit analisis yang efektif dalam setiap transaksi. Kualitas transaksional memfokuskan pada identifikasi factor penentu kesuksesan franchisee dalam memulai bisnisnya diman hal ini dapat diterapkan dengan mempertimbankan aspek konstitusi dengan criteria minimum untuk memulai dan mengelola bisnis dengan tepat.
Dimensi kualitas transaksi dari perspektif franchisee mengacu pada semua daerah kinerja franchisor dalam mengevaluasi dan memulai bisnis bahkan dalam setiap transaksi. Model diidentifikasi dengan 2 dimensi konten dan asisten. Konten dimensi melibatkan pelatihan dan informasi yang menggambarkan apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakan. Kontrak franchise mengacu pada aspek operasional unit franchise seperti produk yang ditawarkan, jam kerja pelatihan untuk franchisee yang disediakan franchisor (Baucus,1993: Bradach, 1998). Selanjutnya aspek yang membentuk dimensi konten adalah :

a. Training

Franchisor memberikan kontribusi kepada franchisee pengetahuan yang diperlukan pengembangan dan pemenuhan konsep bisnis dimana yang utama mengacu pada transfer kepemilikan know-how mengenai produksi dan operasi pelayanan  ( Monroy dan Alzola, 2005: 585). Lebih dari itu franchisor memberikan semangat kepada franchisee untuk menggunakan program pelatihan tanpa dikenakan biaya hasilnya peserta meningkat dan masalah prasangka buruk akan menurun (Bradach, 1998).

b. Support

Franchisor bersedia mendukung dan menyarankan franchisee dalam setiap konsep bisnis star-up dan operasional. Kebanyakan franchisor mau menyediakan praktek pendukung kepada franchisee pemilihan letak dan asistensi secara umum dalam bisnis start-up (Teegen, 2000). Oleh karena itu franchisee memperoleh kebebasan untuk mengoperasikan dalam kontrol, asistensi dan didukung linkungan, sementara itu pada saat yang sama diperoleh juga manfaat dari merek, manajemen profesional (Fulop, 2000: 27).

c. Informasi

Franchisor juga menyediakan kepada franchisee dengan informasi penting mengenai kondisi kontrak franchise baik itu kewajibannya misalnya pertimbangan financial. Lebih lagi adanya sitem yang sah mengenai keterbukaan informasi utama yang ada dalam kontrak franchise (Fulop, 2000). Pada kenyataannya informasi yang cukup terbuka oleh pihak franchisor akan memberikan kontribusi pada tingkat kepuasan franchisee dalam melakukan pembelian dan operasional outlet franchise (Hing, 1999). Dimensi asistensi (bantuan) oleh franchisor cukup penting menolong franchisee dalam bentuk keuangan, supplay dan saran pemasaran. Dimensi ini dapat disederhanakan dalam elemen berikut :
  1. Supply, Franchisor yang menyediakan franchisee dengan berbagai material dan produk akan meningkatkan kewajiban kontrak dengan efektif. Kontrak franchise memerlukan franchisee agar membeli input spesifik dari franchisor(Lafontaine dan Shaw, 1999; Michael, 2000). Franchisee juga dapat menggunakan eksternal suplier dengan pemberian daftar nama suplier oleh franchisor (Bradach, 1998). Namun seringkali franchisee menggunakan distribusi rantai internal dalam kegiatan operasi dengan harga yang lebih baik dan pelayanan lebih baik (Bradach, 1998).
  2. Fasilitas Financial, Franchisor bersedia menyediakan bantuan financial untuk franchisee tidak secara langsung maupun secara langsung dengan menyediakan pinjaman. (Monroy dan Alzola, 2005: 585).
  3. Asistensi manajemen, Franchisor membantu franchisee dalam pengelolaan bisnis. Franchisor menyediakan bantuan dengan menyediakan dukuangan praktek dalam manajemen praktek, akuntansi dan pelayanan pemasaran dan bantuan yang lain (Monroy dan Alzola, 2005: 585).
  4. Accessibility (Kemudahan jalan), Accessibility mengacu pada hubungan franchisor dengan franchisee. Pada saat franchisee bergabung rantai hubungan akan menjaga hubungan secara konstan (Bradach, 1997). Adanya komunikasi yang teratur dengan franchisee merupakan salah satu sumber ketersediaan kekuatan tanpa paksaan oleh franchisor (Fulop, 2000).
Kualitas Hubungan Franchise 

Sistem franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga system sosial karena adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005: 331). Hubungan antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik. Dari hasil penelitian Tikoo (2005: 329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disesbabkan oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000: 354) Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan negative terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 arah antara franchisor dengan franchisee (Tikoo, 2005: 329) misal menggunakan pertukaran informasi (information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi franchisee. Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas (Tikoo, 2005: 329). Menurut Johnsin (1999: 4-18) kualitas hubungan digambarkan sebagai kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas hubungan dalam jaringa franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik, kekeluargaan, kerjasama. (Dant and Schul, 1992; Cox, 1995; Dahlstrom and ). Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network patner tapi dalam kinerja penjualan.
  1. Kepercayaan, Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama (Dwyer et al., 1987; Ganesan, 1994) Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan) (Monroy dan Alzola, 2005: 585). Kredibilitas mnegacu pada perluasan dimana 1 partner mempercayai bahwa partner lain memiliki kacakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
  2. Komitmen, Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial dalam kesuksesan hubungan (Dwyer etaL, 1987; Ganesan, 1994; Mohr and Spekman, 1994; Morgan and Hunt, 1994 ). Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurang potensi ketertarikan alternative ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit. Geyskens (1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585) menyatakan bahwa perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada perpindahan biaya yang ditinggalkan. Yang menghasilkan perhitungan antara biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah hubungan.
  3. Relasionalism (rasa kekeluargaan), Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik.
Metodologi Penelitian 

Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer yang merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber dari lapangan. Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini data primer didapat dari pengisin kuesioner dari responden. Responden dalam penelitian ini adalah semua perusahaan franchisee yang ada di kota Semarang 

Populasi dan Sampel

Penelitian sampel merupakan penelitian dimana peneliti meneliti sebagian dari elemen-elemen populasi. Analisis data sampel secara kuantitatif menghasilkan statistik sampel yang digunakan untuk mengestimasi parameter populasinya. Sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang relatif sama dan dianggap bisa mewakili populasi. Populasi penelitian ini adalah perusahaan waralaba yang ada di kota Semarang baik yang tergabung dalam organisasi atau tidak sebanyak 130 unit. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu yaitu pemilihan sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Purposive sampling merupakan pemilihan sekelompok subyek berdasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui. Melalui cara ini sampel dipilih karena factor kondisi seperti keberadaan sampel pada tempat dan waktu yang tepat (Soleh, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan franchise di kota Semarang . Adapun kriteria responden yang dipilih adalah perusahaan franchise domestik dalam bidang food service yang termasuk dalam AFI dan ditambahkan perusahaan franchise lokal yang tidak ikut serta dalam Asosiasi Franchise Indonesia. Berdasarkan teknik purposive sampling, maka terpilih sampel sejumlah 100 perusahaan.

Teknik Analisis 

Alat analisis yang digunakan untuk menguji model tersebut dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) dengan bantuan program AMOS versi 6.0. Pengujian goodness of fit model dilakukan sebelum pengujian hipotesis penelitian. Pengujian goodness of fit dilakukan dengan melihat beberapa indeks goodness of fit, seperti absolute goodness of fit, incremental goodness of fit dan parsimony goodness of fit. Absolute goodness of fit merupakan indeks kelayakan yang paling berperan dalam model kausalitas berjenjang. Metode estimasi yang umum dalam SEM  ialah estimasi kesamaan maksimum (maximum likelihood (ML) estimation). Asumsi pokok untuk metode ini ialah normalitas multivariat  untuk semua variable exogenous.. Dengan menggunakan  Amos kita dapat mencocokkan model kita dengan data yang ada. Salah satu tujuan menggunakan  Amos ialah menyediakan estimasi-estimasi yang paling baik terhadap parameter-parameter yang bervariasi sekali didasarkan dengan meminimalkan fungsi yang melakukan indeks seberapa baik model-model, serta dikenakan kendali-kendali yang sudah didefinisikan terlebih dahulu. Amos menyediakan pengukuran keselarasan model (goodness-of-fit) untuk membantu melakukan evaluasi kecocokan model. Setelah menelaah hasil-hasilnya  maka kita dapat menyesuaikan model-model tertentu dan mencoba memperbaiki keselarasannya. Amos juga menyediakan model  ekstensif  untuk mencocokkan diagnosa- diganosa yang dibuat oleh peneliti. Membandingkan model-model dalam SEM merupakan metode dasar untuk pengujian semua hipotesis baik yang sederhana maupun yang  kompleks. 

Pembahasan
  1. Pengujian secara parsial variabel X1 (kualitas manajemen) memiliki memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR  > 1,96 yang  menunjukkan bahwa variabel kualitas manajemen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pemasaran . Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif kualitas manajemen terhadap kinerja pemasaran. 
  2. Pengujian secara parsial variabel X2 (kewirausahaan) memiliki probablitas dibawah 005 dan CR  > 1,96  yang  menunjukkan bahwa variable kewirausahaan memberikan pengaruh yang signifikan menunjukkan adanya pengaruh positif kewirausahaan terhadap kinerja pemasaran.
  3. Pengujian secara parsial kualitas hubungan franchise memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR  > 1,96 yang  menunjukkan bahwa variable kualitas hubungan franchise memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pemasaran. Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif kualitas hubungan franchise terhadap kinerja pemasaran. 
Kesimpulan

Hasil analisa menunjukkan bahwa kualitas manajemen, kewirausahaan dan kualitas hubungan franchise berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pemasaran.

Hasil-hasil dalam penelitian ini dan keterbatasan-keterbatasan yang ditemukan agar dapat dijadikan sumber ide dan masukan bagi pengembangan penelitian ini dimasa yang akan datang, maka perluasan yang disarankan dari penelitian ini antara lain adalah: menambah variabel independen yang mempengaruhi kualitas hubungan franchisee. Selain itu indikator penelitian yang digunakan dalam penelitian ini hendaknya diperinci untuk dapat menggambarkan bagaimana strategi yang dijalankan dan target yang ditetapkan perusahaan dalam meningkatkan kinerja pemasaran.

Daftar Pustaka 
  • Grunhagen,Mittelstaedt, 2005, “Entrepreneur or Investor:Do Multi- UnitFranchisees Have Different Philosophical Orientation?”, Journal Of Small Business Management, Vol43 pg.207
  • Greenbaum,2006, “Creating Dynamic Brand awareness”, Franchising World, Vol.38 Pg. 46
  • Hoffman, R. C., and Preble, J. F., 1991. “Franchising : Selecting a Strategy for Rapid Growth”.Long Range Planning, 24 (4), 74-85.
  • Hopkin, Scott, 1999, ‘Franchise Relatioship Quality: Micr-Econimic Explanations”, European Journal of Marketing, Vol.33 p.827
  • Kaufmann, P. J., and Stanworth, J. (1995). “The Decision to Purchase a Franchise: A Study of Prospective Franchisees”. Journal of Small  Business Management, October, 22-31.
  • Keller, K. L. (1993). “Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer-based Brand Equity”. Journal of Marketing, 57 (January), 1-22.
  • Ferdinand, Augusty T. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Edisi II. Semarang: Bp Undip
  • Ghozali, Imam. 2005. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Undip
  • Morrison, 1997, How Franchise Job satisfaction and personality affects Performance, organizationa commitment, Franchisor Relations, and Intention To Remain, Vol.35,pg.39
  • Monroy dan Alzola, 2005, An analysis of Quality Management in Franchise Systems, European Journal Of Marketing Vol.39 p.585
  • Peterson, A. and Dant, R. (1990). Perceived Advantages of the Franchise Option from the Franchisees Perceptive: Empirical Insights from a Service Franchise. Journal of Small Business Management, 28 (July), 46-61.
  • Pitt dan Napoli, 2003, Managing The franchised Brand : The Franchisees’perspective, Journal Of Brand Management, Vol. 10 p.411

0 komentar: