Pengunjung

Kategori

Entri Populer

User Login


  • Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  • Mecetak Sumber Daya Manusia yang kompetitif di dunia kerja.
  • Unggul dalam Pengetahuan dan Teknologi.
  • Membangun manusia Indonesia yang tangguh.

Kamis, 01 September 2011

Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir

Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM (ISSN : 1412-6828)
Volume X, Nomor 1 September 20011 (Halaman 1-11)


Lisda Rahmasari SE,MM
Staf Pengajar UNAKI Semarang

ABSTRAK

Pemanasan global yang terjadi menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya laut dan pesisir .Penulisan ini bertujuan untuk mengembangkan strategi adaptasi  yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global . Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Dari beberapa literature hasil penelitian dan hasil wawancara secara mendalam  dengan masyarakat pesisir  menunjukkan bahwa strategi adaptasi sangat efektif untuk mengurangi masalah yang terjadi pada masyarakat pesisir  akibat perubahan iklim.  Strategi adaptasi tersebut meliputi strategi adaptasi fisik, , adaptasi sosial ekonomi dan adaptasi sumberdaya manusia baik secara proaktif dan reaktif.

Kata Kunci : Strategi Adaptasi fisik ,Adaptasi Sosial Ekonomi dan Adaptasi Sumberdaya Manusia

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Dampak perubahan iklim global (global climate change) terhadap planet bumi dan kehidupan manusia sebenarnya sudah mulai nampak sejak lima puluh tahun terakhir.  Berdasarkan data 1970 – 2004 yang dikumpulkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, bahwa suhu bumi mengalami peningkatan rata-rata 0,20 C per tahun.  Periode tahun 2001 – 2010 tercatat sebagai periode sepuluh tahun terpanas sejak pertama kali pencatatan cuaca dilakukan pada 1850.  Demikian juga halnya dengan suhu lautan yang turut memanas sejak pertengahan abad-20, sehingga menyebabkan mencairnya raksasa gunung es secara masif di Lautan Artik (Kutub Utara) dan di Lautan Antartika (Kutub Selatan), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan permukaan laut dari -20 cm pada 1950 menjadi +5 cm pada tahun 2000. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kenaikan permukaan air laut memperlihatkan bahwa aspek mata pencaharian (infrastruktur) masyarakat merupakan hal yang akan terpengaruh oleh perubahan lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah pengaruh dari perubahan muka air laut terhadap aspek tempat tinggal/hunian masyarakat. Selain naiknya permukaan air laut,  kerusakan yang terjadi akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan  (Chen, 2008).

Perubahan iklim juga menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir (Miller, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir. Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi masyarakatnya.

Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.

1.2 Perumusan Masalah

Dampak perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat  kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) . Pada kondisi tersebut,  apa yang akan dilakukan oleh masyarakat (khususnya yang tinggal di kawasan pantai) agar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kondisi lingkungan yang baru, akan menjadi issue penting lain yang harus dicermati dengan baik sehingga mereka dapat memperbaiki kondisi ekonominya.

II. PEMBAHASAN

2.1  Masyarakat Pesisir 

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah–daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Syarif ,2008).

Secara umum, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai terdiri atas kelompok masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya secara langsung atau tidak langsung dari sumber daya pantai/laut dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai. Pada kelompok yang menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya laut/pantai, berdasarkan lokasi kegiatannya, dapat dibedakan dua kelompok yaitu kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di laut lepas (off-shore) dan di laut dengan jarak relatif dekat dari pantai (in-shore) atau di kawasan pantai itu sendiri (“daratan”).  Berdasarkan kegiatannya, dapat dibedakan antara kelompok yang melakukan kegiatan penangkapan ikan (fish capture) dan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture). Sedangkan kelompok yang tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai adalah kelompok masyarakat yang tinggal di desa pantai , yang melakukan penangkapan ikan di kawasan Danau Pulau Besar dan Danau bawah yang terdapat di hulu Sungai Rawa. Data mengenai  mata pencaharian masyarakat pesisir di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut  ini :




Sumber : Data diolah dari kementerian Kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.  Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Mereka mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Dari tabel 2.1 jumlah nelayan dari sub sektor perikanan tangkap mengalami kenaikan 1.5 %

Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan budidaya / tambak yaitu  masyarakat nelayan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture) / pengolah.. Dari tabel 2.2 jumlah pembudidaya mengalami kenaikan 3.5  %

Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan buruh yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Mereka sebagai tenaga kerja yang membantu pengolahan/produksi dan pemasaran . Dari tabel 2.3 jumlah tenaga kerja pengolahan dan pemasaran hasil perikanan mengalami kenaikan 10.85 %

2.2 Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Kerugian yang diderita nelayan tradisional akibat kegagalan negara menjalankan agenda adaptasi dan mitigasi mencapai lebih dari 73 triliun per tahun, fakta tersebut menunjukkan bahwa produktivitas tangkapan nelayan makin menurun dan menjadikan nelayan semakin jauh menangkap ikan.

Dalam ringkasan teknisnya, Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan deskripsi pengaruh perubahan iklim terhadap wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :

Gambar 2.1. Deskripsi pengaruh peubahan iklim terhadap wilayah pesisir (IPCC, 2007).

Secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam kemungkinan dampak perubahan iklim bagi masyarakat pesisir antara lain :

  1. Dampak fisik; peningkatan kerusakan karena banjir dan gelombang pasang, erosi pantai dan peningkatan sedimentasi, perubahan kecepatan aliran sungai,meningkatnya gelombang laut, dan meningkatnya keamblesan (subsidence) tanah.Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan.Data dari  KIARA di Sibolga, Pantai Barat Sumatera, Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Tarakan, Kalimantan Timur bagian Utara, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kendal, Jawa Tengah,  Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan Teluk Manado, Sulawesi Utara, ditemukan banyak fakta merugikan antara lain : 
    • Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240 – 300 hari , menjadi hanya 160 – 180 hari per tahun.
    • Sedikitnya 68 orang nelayan tradisional Indonesia dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ektrem.
    • Pendapatan nelayan tradisional turun pada kisaran: 50 – 70% (Rp 0 – Rp 40 ribu).
    • Kerugian di sektor perikanan tradisional berkisar antara Rp 56 Triliun – Rp 73 Triliun, dengan total jumlah nelayan tangkap tradisional per 2009 sejumlah 2,752,490 jiwa.
  2. Dampak ekologis; hilang/mengurangnya wilayah genangan (wetland) di wilayah pesisir, intrusi air laut, evaporasi kolam garam, hilang/mengurangnya tanaman pesisir, hilangnya habitat pesisir, berkurangnya lahan yang dapat ditanami, dan hilangnya biomassa non-perdagangan. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
  3. Dampak sosio-ekonomis; terpengaruhnya lingkungan permukiman, kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : 
    • Gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera.
    • Genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua.
    • Hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buruk  apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.
2.3  Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Adaptasi menurut Hardesty (1997) adalah  “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland 1995).

Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri  (Moran 1982). Sedangkan, adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif).

Kerangka konsep adaptasi, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa masyarakat akan selalu merespon perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi sebagai perwujudan adaptasinya terhadap lingkungan. Strategi adaptasi perubahan iklim yang nantinya juga bergantung pada jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan akibat perubahan lingkungan yang terjadi.

2.4 Strategi Adaptasi Fisik

Adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif). Pada dasarnya, ada dua strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatip perubahan iklim global antara lain :
  1. Pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman (mangrove dan tumbuhan pantai lainnya) atau bangunan (pemecah gelombang, groin, pematang, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob. Untuk perlindungan, pilihan yang tampaknya paling meyakinkan adalah mendirikan bangunan yang kukuh seperti tanggul di laut, namun selain sangat mahal tindakan ini dapat memberikan efek samping seperti erosi dan sedimentasi. Karena itu, umumnya ada berbagai pilihan yang lebih ‘lunak’ seperti menciptakan atau memulihkan wilayah rawa pesisir dan menanam berbagai varietas mangrove dan vegetasi yang dapat mengatasi perubahan salinitas yang ekstrem.
  2. Pendekatan reaktif yaitu dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat nelayan yang memancing pola-pola adaptasi yang bersifat reaktif, antara lain :
    • - Para nelayan melakukan strategi adaptasi yang biasa disebut dengan strategi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan apabila di wilayah perairan sekitarmengalami masa paceklik. Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertaiadaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksilokasi ikan. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situsresmi KKP. Peta ini dikeluarkan langsung oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan, Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan merupakan hasil dari analisis data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus permukaan laut,serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini dikeluarkan dengan tujuanmembantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu. Namun pada kenyataannya, hanya nelayan modern saja yang memanfaatkan informasi ini. Sementara nelayan tradisional masih memanfaatkan pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara ekstrim seperti saat ini (  Ratna , 2011 ).
    • Pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong penduduk di kawasan pantai untuk merambah/membuka kawasan hutan , mangrove atau “menciptakan” lahan-lahan baru yang dapat digunakan sebagai lokasi permukiman dan, terutama, sebagai lahan usaha. Sebagai contoh, di beberapa tempat seperti di kawasan pantai Kabupaten Bekasi, masyarakat dengan sengaja membuat jebakan-jebakan sedimen lumpur di pantai untuk mendapatkan lahan baru atau memperluas lahan yang sudah ada untuk kepentingan kegiatan tambak. Sejalan dengan munculnya lahan-lahan baru (“tanah timbul”), mereka juga mengembangkan permukimannya. Upaya seperti ini dilakukan oleh masyarakat sebagai respon atas semakin terbatasnya lahan yang mereka miliki/kuasai.
    • Pengelolaan terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem , potensi, tata ruang wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir melalui program pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai keberadaan terumbu karang, pemanfaatandan pengelolaan ekosistem terumbu karang , pengembangan penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang, pengklasifikasian dan pengelompokan seluruh gugusan terumbu karang kedalam beberapa jenis katagori pengelolaan, pembuatan program percontohan untuk tiap jenis katagori pengelolaan serta perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.
2.5 Strategi Adaptasi Sosial-Ekonomi

Terdapat dua strategi adaptasi sosial ekonomi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatif perubahan iklim global yaitu :

1. Strategi Proaktif

Strategi proaktif dapat dilakukan dengan penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman, misalnya dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan lain-lain. Pemerintah harus lebih promotif terhadap penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan sebagainya, dengan tujuan utama untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan masyarakat Indonesia. 

2. Strategi Reaktif

Dengan pendekatan reaktif atau melakukan penyesuaian baik secara fisik maupun sosial-ekonomi dan budaya hidup. Contohnya adalah: 
  1. Masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim, Salah satu contohnya adalah mencari kepiting bakau menggunakan perahu (sampan) atau jaring kepiting dan umpan tertentu. Pencarian kepiting di wilayah mangrove cenderung lebih aman, tidak terlalu tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar. Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove. 
  2. Pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap kenaikan suhu, banjir, dan dampak perubahan iklim lainnya (misalnya melalui rekayasa genetik dan aklimatisasi). Pengembangan spesies budidaya  tersebut antara lain : 
    • - Masyarakat yang tidak mampu menjelajah laut lepas, mereka dapat memilih berusaha budidaya rumput laut.Dewasa ini kegiatan budidaya laut yang sudah dikembangkan secara luas oleh masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Menurut pengakuan dari beberapa petani rumput laut, mereka mengemukakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut sudah banyak membatu dan memberikan hasil bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatan ekonominya. Produksi rumput laut tahun 2004 sebanyak 1.267 ton kering dengan nilai produksi sekitar Rp. 6.335.000.000,- (enam milyard tiga ratus tiga puluh lima juta rupiah). Namun demikian terdapat fenomena lain yang timbul pada masyarakat di wilayah pesisir yang berkaitan dengan semakin maraknya perkembangan usaha budidaya rumput laut adalah klaim masyarakat terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Fenomena ini tidak hanya terjadi antara sesama petani rumput laut, melainkan juga antara  nelayan-nelayan tangkap dengan petani rumput laut ( Syarif, 2008 ). Perahu-perahu para nelayan tangkapan mengalami kesulitan dalam mobilisasi keluar masuk karena kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem long line. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari belum adanya rencana tata ruang wilayah pesisir bersama zona-zona pemanfaatannya.  Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas yang mengarah kepada konflik horisontal terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diharapkan Pemerintah baik eksekutif maupun legislatis dengan otoritas dan kewenangan yang dimiliki dapat segera membuat perangkat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dari fenomena tersebut diatas dapat diantisipasi sedini mungkin.
    • Budidaya pembesaran kerapu dengan sistem jaring keramba apung (JKA) dan menggunakan benih alamiah. Kegiatan budidaya ini agak membutuhkan teknologi dan keterampilan serta investasi modal yang cukup sehingga belum banyak nelayan yang berorientasi kekegiatan ini. Namun menurut pengamatan kegiatan ini harus melalui pendampingan dan menurut pengakuan mereka bahwa kegiatan semacam ini akan sangat membantu mereka dalam mengembangkan dan meningkatkan pendapatannya terutama ketika mereka tidak melaut, apalagi harga komoditas ini cukup menjanjikan.
    • Sedangkan alternatif lainnya adalah budidaya kerang mutiara yang sudah ada sejak tahun 1999.
3. Pengembangan teknologi produksi (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya)

Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Bagi nelayan tangkap yang usaha menangkap ikan di laut lepas armada penangkapan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pada tahun 2003 dan 2004 terjadi peningkatan jenis armada penangkapan motor tempel. Kondisi ini terjadi karena ketika itu munculnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sehingga banyak kelompok nelayan terbentuk, akibatnya banyak nelayan yang kurang memiliki dukungan modal beralih dan terlibat pada program ini. Selain itu, pada tahun 2003 dan 2004 di NTT terdapat Program GEMALA (Gerakan Masuk Laut)yang dicanangkan oleh pemerintah  NTT, maka banyak masyarakat pesisir yang sudah mulai berorientasi ke laut. Sama halnya dengan armada penangkapan, jenis dan alat tangkap juga merupakan faktor penting bagi nelayan tangkap dalam menentukan hasil usaha penangkapan. Ada beberapa alat tangkap yang dapat digunakan antara lain purse siene. Gill Net, Bagan, Pancing ( peralatan ini merupakan peralatan yang hampir dimiliki oleh semua nelayan dan merupakan peralatan yang jumlahnya paling banyak disamping gill net ), Bubu dan Rumpon ( merupakan alat bantu penangkapan yang cukup banyak dimiliki oleh para nelayan, menempati urutan kedua setelah purse siene).

2.6 Strategi Adaptasi Sumberdaya Manusia

Perkembangan jumlah sumberdaya manusia nelayan sampai pada tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan, namun kondisi ini belum secara signifikan mempengaruhi besarnya hasil upaya penangkapan maupun kegiatan budidaya perikanan. Penambahan jumlah nelayan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas keterampilan nelayan maupun armada dan jenis peralatan tangkap. Strategi adaptasi perubahan iklim  meliputi :

1. Manajemen pasca panen

Sarana, prasarana dan tingkat keterampilan nelayan dalan pengelolaan pasca panen perikanan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas dan standart mutu hasil pengolahan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan melalui wawancara dengan para nelayan, maupun pihak-pihak terkait dalam pengelolaan perikanan di peroleh informasi bahwa dari produksi perikanan tangkap yang dihasil oleh para nelayan, sebagian dipasarkan dalam bentuk ikan segar, dikonsumsi dan lainnya diolah dengan cara dikeringkan dengan cara yang relatif masih sederhana dan tradisional. Penanganan perikanan yang baik harus memperhatikan mulai dari penangkapan ikan di atas kapal atau perahu sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan ( Syarif, 2008 ). Kapal-kapal ikan yang beroperasi umumnya terdiri atas duakelompok yakni :
  • Kelompok pertama adalah kapal milik nelayan tradisonal yang menangkap dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya. Kelompok kapal jenis iniumumnya belum memiliki palka penyimpanan dan persediaan es sehingga lama waktu operasi hanya satu hari saja (only one day fishing) yakni berangkat sore dan pulang pagi hari. Kapal atau perahu-perahu jenis ini, ikan hasil tangkapan biasanya tidak disortir terlebih dahulu menurut ukuran dan jenisnya dan disimpan saja di dalam perahu yang tidakdiberi es, sehingga para nelayan berusaha untuk segera mendaratkan ikan hasil tangkapannya di sepanjang pantai terdekat dengan pemukiman penduduk atau desa tempat tinggal mereka. Selanjutnya hasil penangkapan tersebut umumnya nelayan menjualnya di pasar tradisional (pasar desa) dengan cara tunai maupun dengancara barter. Proses pengeringan masih sangat tradisional, sehingga belum menghasilkan hasil pengolahan yang berkualitas dan hygienis. Keadaan ini terlebih pada saat puncak musim ikan, dimana penanganan pasca panen hanya dilakukan dengan cara menjemur langsung diatas pasir yang sangat bergantung pada ada tidaknya sinar matahari.
  • Kelompok kedua adalah jenis kapal yang sudah memadai dan memenuhi standart mutu yakni kapal penangkap ikan tuna dan cakalang dengan alat tangkap (pole and line). Kapal-kapal jenis inimemiliki kapasitas penangkapan kurang lebih 4 sampai 5 ton dan kesegaran ikan tetapdipertahankan karena memiliki palka berinsulasi sebanyak 2 buah dengan membawa essebanyak 1.600 kg atau 40 balok es (@ 40 kg/balok). Dengan demikian teknik penanaganan ikan di atas kapal sudah memenuhi persyaratan dan standart mutu sehingga kualitas dan kesegaran ikan tetap terpelihara sampai ikan tersebut didaratkan. Selain itu, harus diakui bahwa pemantauan terhadap kualitas produk pengolahan hasil perikanan belum ada karena institusi yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pengolahan sebagai lembaga penjamin mutu belum dimiliki oleh Dinas Perikanandan Kelautan. Meskipun masih terdapat keterbatasan baik sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarana pengolahan, namun sudah terdapat beberapa jenis produk olahan yang dapat diproduksi dan dapat dipasarkan di beberapa tempat di Indonesia dengan kapasitas produksi yang dapat menjawab permintaan.
2. Pola Nafkah Ganda

Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga nelayan serta pengembangan pola nafkah ganda. sehingga perekonomian rumah tangga nelayan tidak hanya bergantung dari hasil penangkapan saja. Anak-anak nelayan selama ini berperan dalam mendukung kegiatan melaut nelayan, yaitu sebagai pembuat jaring. Pembuatan jaring ini dilakukan disela-sela kegiatan melaut nelayan tersebut. Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah  mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan lainnya ( Iqbal,2004 ) . Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha-usaha lainnya. Para istri nelayan dapatmelakukan usaha ekonomi melalui pengolahan kerang totok menjadi sate kerang untuk kemudian dijual. Selain itu, ketika musim paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan.

3. Tani – Nelayan

Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut sehingga memicu nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan. Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani.Selain sebagai buruh pada lahan padi sawah, sebagian nelayan juga menggarap lahan miliknya sendiri. Lahan ini biasanya adalah kebun. Salah satuyang cukup potensial adalah kebun jati dan sengon. Beberapa nelayan yang telah memahami dengan baik kondisi kehidupan pencarian ikan di lautan yang penuh dengan ketidakpastian telah mempersiapkan investasi sejak awal untuk hutang kepada tengkulak ketika tiba musim paceklik yang berkepanjangan. Investasi ini berupa tanaman kayu yaitu jati dan sengon. Ketika tiba musim paceklik, ataupun dibutuhkan biaya yang secara mendadak, nelayan yang telah memiliki investasi ini akan menjual beberapa pohon di kebunnya. Satu buah pohon sengon berusia lima tahun dapat dijual dengan harga mencapai dua juta rupiah.

4. Jasa Pengangkutan

Perahu yang mereka miliki merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk melakukan usaha-usaha ekonomi. Ketika musim paceklik tiba, beberapa nelayan yang tidak memiliki investasi serta kemampuan yang memadai sebagai modal pencarian nafkah tambahan, hanya bisa mengandalkan jasa perahu yang mereka miliki.

5. Kegiatan  diluar Perikanan 

Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi sasaran alih profesi ini. Pertama, pekerjaan sebagai buruh. Walaupun gaji yang diperoleh cenderung rendah, pekerjaan ini diminati karena dirasa ada jaminan atau kepastian penghasilan yang dapat diperoleh. Berbeda dengan kegiatan melaut yang penuh dengan ketidakpastian. Kedua adalah petani. 

2.7 Peranan Pemerintah dalam Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Insentif dalam upaya penanggulangan abrasi pantai atau erosi dapat diberikan pemerintah kepada para pengelola pariwisata, hotel dan resor-resor di wilayah pesisir pantai ( Dahuri, 2003 ). Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat. Tidak ketinggalan, Lembaga Swadaya Masyarakat didorong untuk terus melakukan identifikasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut.

III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain :
  1. Perubahan iklim memberikan beberapa dampak bagi masyarakat pesisir berupa dampak fisik , dampak sosial ekonomis dan dampak ekologis.
  2. Strategi adaptasi fisik dapat dilakukan dengan pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob dan pendekatan reaktif yaitu dengan mengejar musim dan pengelolan terumbu karang. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situs resmi KKP. Peta ini dikeluarkan dengan tujuan membantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu.
  3. Strategi adaptasi sosial ekonomi dengan pendekatan  proaktif melalui penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir dan pendekatan reaktif yaitu masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim.
  4. Strategi adaptasi sumber daya manusia dapat dilakukan dengan cara manajemen pasca panen yaitu dengan memperhatikan penangkapan ikan di atas kapal sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan , pola nafkah ganda yang bertujuan mendaptkan pendapatan alternatif dan melakukan kegiatan usaha diluar perikanan.
  5. Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

  • Alland, A. Jr. 1995. “Adaptation”. Annual Review of Anthropology, 4:59-73.
  • Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheriesfor Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress(K.Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser,Eds.). Tokyo: TERRAPUB
  • Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: aset pembangunanberkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati PerubahanIklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. SaranaKomunikasi Utama.
  • Hawley, Amos H. 1996. Human Ecology a Theoretical Essay. Chicago, The University of Chicago.
  • Iqbal, Moch. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis.Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
  • Miller, Elmer S. Dan Charles A. Weitz. An Introduction to Anthropology. Englewood Cliffs. New York: Prentice-Hall, Inc. 2009.
  • Moran, Emilio F. 1982. Human adaptability An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
  • Ratna Patriana , 2011, Pola adaptasi nelayan terhadap peubahan iklim, Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
  • Syarif Moeis , 20008, .Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Baratsuatu analisa kebudayaan, UPI , Bandung

0 komentar: