Pengunjung

Kategori

Entri Populer

User Login


  • Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  • Mecetak Sumber Daya Manusia yang kompetitif di dunia kerja.
  • Unggul dalam Pengetahuan dan Teknologi.
  • Membangun manusia Indonesia yang tangguh.
Kamis, 01 September 2011

Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir

Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM (ISSN : 1412-6828)
Volume X, Nomor 1 September 20011 (Halaman 1-11)


Lisda Rahmasari SE,MM
Staf Pengajar UNAKI Semarang

ABSTRAK

Pemanasan global yang terjadi menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya laut dan pesisir .Penulisan ini bertujuan untuk mengembangkan strategi adaptasi  yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global . Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Dari beberapa literature hasil penelitian dan hasil wawancara secara mendalam  dengan masyarakat pesisir  menunjukkan bahwa strategi adaptasi sangat efektif untuk mengurangi masalah yang terjadi pada masyarakat pesisir  akibat perubahan iklim.  Strategi adaptasi tersebut meliputi strategi adaptasi fisik, , adaptasi sosial ekonomi dan adaptasi sumberdaya manusia baik secara proaktif dan reaktif.

Kata Kunci : Strategi Adaptasi fisik ,Adaptasi Sosial Ekonomi dan Adaptasi Sumberdaya Manusia

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Dampak perubahan iklim global (global climate change) terhadap planet bumi dan kehidupan manusia sebenarnya sudah mulai nampak sejak lima puluh tahun terakhir.  Berdasarkan data 1970 – 2004 yang dikumpulkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, bahwa suhu bumi mengalami peningkatan rata-rata 0,20 C per tahun.  Periode tahun 2001 – 2010 tercatat sebagai periode sepuluh tahun terpanas sejak pertama kali pencatatan cuaca dilakukan pada 1850.  Demikian juga halnya dengan suhu lautan yang turut memanas sejak pertengahan abad-20, sehingga menyebabkan mencairnya raksasa gunung es secara masif di Lautan Artik (Kutub Utara) dan di Lautan Antartika (Kutub Selatan), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan permukaan laut dari -20 cm pada 1950 menjadi +5 cm pada tahun 2000. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kenaikan permukaan air laut memperlihatkan bahwa aspek mata pencaharian (infrastruktur) masyarakat merupakan hal yang akan terpengaruh oleh perubahan lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah pengaruh dari perubahan muka air laut terhadap aspek tempat tinggal/hunian masyarakat. Selain naiknya permukaan air laut,  kerusakan yang terjadi akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan  (Chen, 2008).

Perubahan iklim juga menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir (Miller, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir. Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi masyarakatnya.

Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.

1.2 Perumusan Masalah

Dampak perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat  kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) . Pada kondisi tersebut,  apa yang akan dilakukan oleh masyarakat (khususnya yang tinggal di kawasan pantai) agar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kondisi lingkungan yang baru, akan menjadi issue penting lain yang harus dicermati dengan baik sehingga mereka dapat memperbaiki kondisi ekonominya.

II. PEMBAHASAN

2.1  Masyarakat Pesisir 

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah–daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Syarif ,2008).

Secara umum, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai terdiri atas kelompok masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya secara langsung atau tidak langsung dari sumber daya pantai/laut dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai. Pada kelompok yang menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya laut/pantai, berdasarkan lokasi kegiatannya, dapat dibedakan dua kelompok yaitu kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di laut lepas (off-shore) dan di laut dengan jarak relatif dekat dari pantai (in-shore) atau di kawasan pantai itu sendiri (“daratan”).  Berdasarkan kegiatannya, dapat dibedakan antara kelompok yang melakukan kegiatan penangkapan ikan (fish capture) dan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture). Sedangkan kelompok yang tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai adalah kelompok masyarakat yang tinggal di desa pantai , yang melakukan penangkapan ikan di kawasan Danau Pulau Besar dan Danau bawah yang terdapat di hulu Sungai Rawa. Data mengenai  mata pencaharian masyarakat pesisir di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut  ini :




Sumber : Data diolah dari kementerian Kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.  Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Mereka mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Dari tabel 2.1 jumlah nelayan dari sub sektor perikanan tangkap mengalami kenaikan 1.5 %

Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan budidaya / tambak yaitu  masyarakat nelayan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture) / pengolah.. Dari tabel 2.2 jumlah pembudidaya mengalami kenaikan 3.5  %

Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010

Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan buruh yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Mereka sebagai tenaga kerja yang membantu pengolahan/produksi dan pemasaran . Dari tabel 2.3 jumlah tenaga kerja pengolahan dan pemasaran hasil perikanan mengalami kenaikan 10.85 %

2.2 Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Kerugian yang diderita nelayan tradisional akibat kegagalan negara menjalankan agenda adaptasi dan mitigasi mencapai lebih dari 73 triliun per tahun, fakta tersebut menunjukkan bahwa produktivitas tangkapan nelayan makin menurun dan menjadikan nelayan semakin jauh menangkap ikan.

Dalam ringkasan teknisnya, Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan deskripsi pengaruh perubahan iklim terhadap wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :

Gambar 2.1. Deskripsi pengaruh peubahan iklim terhadap wilayah pesisir (IPCC, 2007).

Secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam kemungkinan dampak perubahan iklim bagi masyarakat pesisir antara lain :

  1. Dampak fisik; peningkatan kerusakan karena banjir dan gelombang pasang, erosi pantai dan peningkatan sedimentasi, perubahan kecepatan aliran sungai,meningkatnya gelombang laut, dan meningkatnya keamblesan (subsidence) tanah.Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan.Data dari  KIARA di Sibolga, Pantai Barat Sumatera, Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Tarakan, Kalimantan Timur bagian Utara, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kendal, Jawa Tengah,  Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan Teluk Manado, Sulawesi Utara, ditemukan banyak fakta merugikan antara lain : 
    • Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240 – 300 hari , menjadi hanya 160 – 180 hari per tahun.
    • Sedikitnya 68 orang nelayan tradisional Indonesia dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ektrem.
    • Pendapatan nelayan tradisional turun pada kisaran: 50 – 70% (Rp 0 – Rp 40 ribu).
    • Kerugian di sektor perikanan tradisional berkisar antara Rp 56 Triliun – Rp 73 Triliun, dengan total jumlah nelayan tangkap tradisional per 2009 sejumlah 2,752,490 jiwa.
  2. Dampak ekologis; hilang/mengurangnya wilayah genangan (wetland) di wilayah pesisir, intrusi air laut, evaporasi kolam garam, hilang/mengurangnya tanaman pesisir, hilangnya habitat pesisir, berkurangnya lahan yang dapat ditanami, dan hilangnya biomassa non-perdagangan. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
  3. Dampak sosio-ekonomis; terpengaruhnya lingkungan permukiman, kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : 
    • Gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera.
    • Genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua.
    • Hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buruk  apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.
2.3  Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Adaptasi menurut Hardesty (1997) adalah  “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland 1995).

Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri  (Moran 1982). Sedangkan, adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif).

Kerangka konsep adaptasi, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa masyarakat akan selalu merespon perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi sebagai perwujudan adaptasinya terhadap lingkungan. Strategi adaptasi perubahan iklim yang nantinya juga bergantung pada jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan akibat perubahan lingkungan yang terjadi.

2.4 Strategi Adaptasi Fisik

Adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif). Pada dasarnya, ada dua strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatip perubahan iklim global antara lain :
  1. Pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman (mangrove dan tumbuhan pantai lainnya) atau bangunan (pemecah gelombang, groin, pematang, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob. Untuk perlindungan, pilihan yang tampaknya paling meyakinkan adalah mendirikan bangunan yang kukuh seperti tanggul di laut, namun selain sangat mahal tindakan ini dapat memberikan efek samping seperti erosi dan sedimentasi. Karena itu, umumnya ada berbagai pilihan yang lebih ‘lunak’ seperti menciptakan atau memulihkan wilayah rawa pesisir dan menanam berbagai varietas mangrove dan vegetasi yang dapat mengatasi perubahan salinitas yang ekstrem.
  2. Pendekatan reaktif yaitu dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat nelayan yang memancing pola-pola adaptasi yang bersifat reaktif, antara lain :
    • - Para nelayan melakukan strategi adaptasi yang biasa disebut dengan strategi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan apabila di wilayah perairan sekitarmengalami masa paceklik. Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertaiadaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksilokasi ikan. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situsresmi KKP. Peta ini dikeluarkan langsung oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan, Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan merupakan hasil dari analisis data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus permukaan laut,serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini dikeluarkan dengan tujuanmembantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu. Namun pada kenyataannya, hanya nelayan modern saja yang memanfaatkan informasi ini. Sementara nelayan tradisional masih memanfaatkan pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara ekstrim seperti saat ini (  Ratna , 2011 ).
    • Pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong penduduk di kawasan pantai untuk merambah/membuka kawasan hutan , mangrove atau “menciptakan” lahan-lahan baru yang dapat digunakan sebagai lokasi permukiman dan, terutama, sebagai lahan usaha. Sebagai contoh, di beberapa tempat seperti di kawasan pantai Kabupaten Bekasi, masyarakat dengan sengaja membuat jebakan-jebakan sedimen lumpur di pantai untuk mendapatkan lahan baru atau memperluas lahan yang sudah ada untuk kepentingan kegiatan tambak. Sejalan dengan munculnya lahan-lahan baru (“tanah timbul”), mereka juga mengembangkan permukimannya. Upaya seperti ini dilakukan oleh masyarakat sebagai respon atas semakin terbatasnya lahan yang mereka miliki/kuasai.
    • Pengelolaan terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem , potensi, tata ruang wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir melalui program pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai keberadaan terumbu karang, pemanfaatandan pengelolaan ekosistem terumbu karang , pengembangan penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang, pengklasifikasian dan pengelompokan seluruh gugusan terumbu karang kedalam beberapa jenis katagori pengelolaan, pembuatan program percontohan untuk tiap jenis katagori pengelolaan serta perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.
2.5 Strategi Adaptasi Sosial-Ekonomi

Terdapat dua strategi adaptasi sosial ekonomi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatif perubahan iklim global yaitu :

1. Strategi Proaktif

Strategi proaktif dapat dilakukan dengan penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman, misalnya dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan lain-lain. Pemerintah harus lebih promotif terhadap penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan sebagainya, dengan tujuan utama untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan masyarakat Indonesia. 

2. Strategi Reaktif

Dengan pendekatan reaktif atau melakukan penyesuaian baik secara fisik maupun sosial-ekonomi dan budaya hidup. Contohnya adalah: 
  1. Masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim, Salah satu contohnya adalah mencari kepiting bakau menggunakan perahu (sampan) atau jaring kepiting dan umpan tertentu. Pencarian kepiting di wilayah mangrove cenderung lebih aman, tidak terlalu tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar. Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove. 
  2. Pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap kenaikan suhu, banjir, dan dampak perubahan iklim lainnya (misalnya melalui rekayasa genetik dan aklimatisasi). Pengembangan spesies budidaya  tersebut antara lain : 
    • - Masyarakat yang tidak mampu menjelajah laut lepas, mereka dapat memilih berusaha budidaya rumput laut.Dewasa ini kegiatan budidaya laut yang sudah dikembangkan secara luas oleh masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Menurut pengakuan dari beberapa petani rumput laut, mereka mengemukakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut sudah banyak membatu dan memberikan hasil bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatan ekonominya. Produksi rumput laut tahun 2004 sebanyak 1.267 ton kering dengan nilai produksi sekitar Rp. 6.335.000.000,- (enam milyard tiga ratus tiga puluh lima juta rupiah). Namun demikian terdapat fenomena lain yang timbul pada masyarakat di wilayah pesisir yang berkaitan dengan semakin maraknya perkembangan usaha budidaya rumput laut adalah klaim masyarakat terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Fenomena ini tidak hanya terjadi antara sesama petani rumput laut, melainkan juga antara  nelayan-nelayan tangkap dengan petani rumput laut ( Syarif, 2008 ). Perahu-perahu para nelayan tangkapan mengalami kesulitan dalam mobilisasi keluar masuk karena kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem long line. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari belum adanya rencana tata ruang wilayah pesisir bersama zona-zona pemanfaatannya.  Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas yang mengarah kepada konflik horisontal terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diharapkan Pemerintah baik eksekutif maupun legislatis dengan otoritas dan kewenangan yang dimiliki dapat segera membuat perangkat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dari fenomena tersebut diatas dapat diantisipasi sedini mungkin.
    • Budidaya pembesaran kerapu dengan sistem jaring keramba apung (JKA) dan menggunakan benih alamiah. Kegiatan budidaya ini agak membutuhkan teknologi dan keterampilan serta investasi modal yang cukup sehingga belum banyak nelayan yang berorientasi kekegiatan ini. Namun menurut pengamatan kegiatan ini harus melalui pendampingan dan menurut pengakuan mereka bahwa kegiatan semacam ini akan sangat membantu mereka dalam mengembangkan dan meningkatkan pendapatannya terutama ketika mereka tidak melaut, apalagi harga komoditas ini cukup menjanjikan.
    • Sedangkan alternatif lainnya adalah budidaya kerang mutiara yang sudah ada sejak tahun 1999.
3. Pengembangan teknologi produksi (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya)

Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Bagi nelayan tangkap yang usaha menangkap ikan di laut lepas armada penangkapan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pada tahun 2003 dan 2004 terjadi peningkatan jenis armada penangkapan motor tempel. Kondisi ini terjadi karena ketika itu munculnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sehingga banyak kelompok nelayan terbentuk, akibatnya banyak nelayan yang kurang memiliki dukungan modal beralih dan terlibat pada program ini. Selain itu, pada tahun 2003 dan 2004 di NTT terdapat Program GEMALA (Gerakan Masuk Laut)yang dicanangkan oleh pemerintah  NTT, maka banyak masyarakat pesisir yang sudah mulai berorientasi ke laut. Sama halnya dengan armada penangkapan, jenis dan alat tangkap juga merupakan faktor penting bagi nelayan tangkap dalam menentukan hasil usaha penangkapan. Ada beberapa alat tangkap yang dapat digunakan antara lain purse siene. Gill Net, Bagan, Pancing ( peralatan ini merupakan peralatan yang hampir dimiliki oleh semua nelayan dan merupakan peralatan yang jumlahnya paling banyak disamping gill net ), Bubu dan Rumpon ( merupakan alat bantu penangkapan yang cukup banyak dimiliki oleh para nelayan, menempati urutan kedua setelah purse siene).

2.6 Strategi Adaptasi Sumberdaya Manusia

Perkembangan jumlah sumberdaya manusia nelayan sampai pada tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan, namun kondisi ini belum secara signifikan mempengaruhi besarnya hasil upaya penangkapan maupun kegiatan budidaya perikanan. Penambahan jumlah nelayan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas keterampilan nelayan maupun armada dan jenis peralatan tangkap. Strategi adaptasi perubahan iklim  meliputi :

1. Manajemen pasca panen

Sarana, prasarana dan tingkat keterampilan nelayan dalan pengelolaan pasca panen perikanan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas dan standart mutu hasil pengolahan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan melalui wawancara dengan para nelayan, maupun pihak-pihak terkait dalam pengelolaan perikanan di peroleh informasi bahwa dari produksi perikanan tangkap yang dihasil oleh para nelayan, sebagian dipasarkan dalam bentuk ikan segar, dikonsumsi dan lainnya diolah dengan cara dikeringkan dengan cara yang relatif masih sederhana dan tradisional. Penanganan perikanan yang baik harus memperhatikan mulai dari penangkapan ikan di atas kapal atau perahu sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan ( Syarif, 2008 ). Kapal-kapal ikan yang beroperasi umumnya terdiri atas duakelompok yakni :
  • Kelompok pertama adalah kapal milik nelayan tradisonal yang menangkap dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya. Kelompok kapal jenis iniumumnya belum memiliki palka penyimpanan dan persediaan es sehingga lama waktu operasi hanya satu hari saja (only one day fishing) yakni berangkat sore dan pulang pagi hari. Kapal atau perahu-perahu jenis ini, ikan hasil tangkapan biasanya tidak disortir terlebih dahulu menurut ukuran dan jenisnya dan disimpan saja di dalam perahu yang tidakdiberi es, sehingga para nelayan berusaha untuk segera mendaratkan ikan hasil tangkapannya di sepanjang pantai terdekat dengan pemukiman penduduk atau desa tempat tinggal mereka. Selanjutnya hasil penangkapan tersebut umumnya nelayan menjualnya di pasar tradisional (pasar desa) dengan cara tunai maupun dengancara barter. Proses pengeringan masih sangat tradisional, sehingga belum menghasilkan hasil pengolahan yang berkualitas dan hygienis. Keadaan ini terlebih pada saat puncak musim ikan, dimana penanganan pasca panen hanya dilakukan dengan cara menjemur langsung diatas pasir yang sangat bergantung pada ada tidaknya sinar matahari.
  • Kelompok kedua adalah jenis kapal yang sudah memadai dan memenuhi standart mutu yakni kapal penangkap ikan tuna dan cakalang dengan alat tangkap (pole and line). Kapal-kapal jenis inimemiliki kapasitas penangkapan kurang lebih 4 sampai 5 ton dan kesegaran ikan tetapdipertahankan karena memiliki palka berinsulasi sebanyak 2 buah dengan membawa essebanyak 1.600 kg atau 40 balok es (@ 40 kg/balok). Dengan demikian teknik penanaganan ikan di atas kapal sudah memenuhi persyaratan dan standart mutu sehingga kualitas dan kesegaran ikan tetap terpelihara sampai ikan tersebut didaratkan. Selain itu, harus diakui bahwa pemantauan terhadap kualitas produk pengolahan hasil perikanan belum ada karena institusi yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pengolahan sebagai lembaga penjamin mutu belum dimiliki oleh Dinas Perikanandan Kelautan. Meskipun masih terdapat keterbatasan baik sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarana pengolahan, namun sudah terdapat beberapa jenis produk olahan yang dapat diproduksi dan dapat dipasarkan di beberapa tempat di Indonesia dengan kapasitas produksi yang dapat menjawab permintaan.
2. Pola Nafkah Ganda

Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga nelayan serta pengembangan pola nafkah ganda. sehingga perekonomian rumah tangga nelayan tidak hanya bergantung dari hasil penangkapan saja. Anak-anak nelayan selama ini berperan dalam mendukung kegiatan melaut nelayan, yaitu sebagai pembuat jaring. Pembuatan jaring ini dilakukan disela-sela kegiatan melaut nelayan tersebut. Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah  mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan lainnya ( Iqbal,2004 ) . Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha-usaha lainnya. Para istri nelayan dapatmelakukan usaha ekonomi melalui pengolahan kerang totok menjadi sate kerang untuk kemudian dijual. Selain itu, ketika musim paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan.

3. Tani – Nelayan

Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut sehingga memicu nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan. Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani.Selain sebagai buruh pada lahan padi sawah, sebagian nelayan juga menggarap lahan miliknya sendiri. Lahan ini biasanya adalah kebun. Salah satuyang cukup potensial adalah kebun jati dan sengon. Beberapa nelayan yang telah memahami dengan baik kondisi kehidupan pencarian ikan di lautan yang penuh dengan ketidakpastian telah mempersiapkan investasi sejak awal untuk hutang kepada tengkulak ketika tiba musim paceklik yang berkepanjangan. Investasi ini berupa tanaman kayu yaitu jati dan sengon. Ketika tiba musim paceklik, ataupun dibutuhkan biaya yang secara mendadak, nelayan yang telah memiliki investasi ini akan menjual beberapa pohon di kebunnya. Satu buah pohon sengon berusia lima tahun dapat dijual dengan harga mencapai dua juta rupiah.

4. Jasa Pengangkutan

Perahu yang mereka miliki merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk melakukan usaha-usaha ekonomi. Ketika musim paceklik tiba, beberapa nelayan yang tidak memiliki investasi serta kemampuan yang memadai sebagai modal pencarian nafkah tambahan, hanya bisa mengandalkan jasa perahu yang mereka miliki.

5. Kegiatan  diluar Perikanan 

Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi sasaran alih profesi ini. Pertama, pekerjaan sebagai buruh. Walaupun gaji yang diperoleh cenderung rendah, pekerjaan ini diminati karena dirasa ada jaminan atau kepastian penghasilan yang dapat diperoleh. Berbeda dengan kegiatan melaut yang penuh dengan ketidakpastian. Kedua adalah petani. 

2.7 Peranan Pemerintah dalam Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Insentif dalam upaya penanggulangan abrasi pantai atau erosi dapat diberikan pemerintah kepada para pengelola pariwisata, hotel dan resor-resor di wilayah pesisir pantai ( Dahuri, 2003 ). Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat. Tidak ketinggalan, Lembaga Swadaya Masyarakat didorong untuk terus melakukan identifikasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut.

III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain :
  1. Perubahan iklim memberikan beberapa dampak bagi masyarakat pesisir berupa dampak fisik , dampak sosial ekonomis dan dampak ekologis.
  2. Strategi adaptasi fisik dapat dilakukan dengan pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob dan pendekatan reaktif yaitu dengan mengejar musim dan pengelolan terumbu karang. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situs resmi KKP. Peta ini dikeluarkan dengan tujuan membantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu.
  3. Strategi adaptasi sosial ekonomi dengan pendekatan  proaktif melalui penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir dan pendekatan reaktif yaitu masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim.
  4. Strategi adaptasi sumber daya manusia dapat dilakukan dengan cara manajemen pasca panen yaitu dengan memperhatikan penangkapan ikan di atas kapal sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan , pola nafkah ganda yang bertujuan mendaptkan pendapatan alternatif dan melakukan kegiatan usaha diluar perikanan.
  5. Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

  • Alland, A. Jr. 1995. “Adaptation”. Annual Review of Anthropology, 4:59-73.
  • Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheriesfor Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress(K.Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser,Eds.). Tokyo: TERRAPUB
  • Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: aset pembangunanberkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati PerubahanIklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. SaranaKomunikasi Utama.
  • Hawley, Amos H. 1996. Human Ecology a Theoretical Essay. Chicago, The University of Chicago.
  • Iqbal, Moch. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis.Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
  • Miller, Elmer S. Dan Charles A. Weitz. An Introduction to Anthropology. Englewood Cliffs. New York: Prentice-Hall, Inc. 2009.
  • Moran, Emilio F. 1982. Human adaptability An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
  • Ratna Patriana , 2011, Pola adaptasi nelayan terhadap peubahan iklim, Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
  • Syarif Moeis , 20008, .Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Baratsuatu analisa kebudayaan, UPI , Bandung
Baca Selanjutnya - Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir

Pengaruh Supply Chain Management Terhadap Kinerja Perusahaan dan Keunggulan Bersaing (Studi Kasus pada Industri Kreatif di Provinsi Jawa Tengah)

Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011 Hal : 89-103

Lisda Rahmasari 
Fakultas Ekonomi, Universitas AKI

Abstract


The objective of the study is to determine the influence of supply chain management and its impact to increase the company performance and competitive advantage. Purposive samplings were taken from 105 companies of creative industry in  Central Java and data analysis used AMOS 5. The result of the analysis shows that supply chain management has positive influence which is significant toward company  performance and competitive advantage.  This empirical result indicates that in order to increase company  performance of creative industry  in Central Java, the company should focus on implementation of supply chain management because those factors have been shown to affect toward degree of company performance.

Key words: Supply chain management, company  performance and competitive advantage

Pendahuluan

Indonesia terdiri dari ribuan pulau dengan lahan yang subur ditunjang alam yang indah dan dihiasi berbagai spesies langka flora dan fauna. Keanekaragaman suku, tradisi, budaya dan bahasa semakin melengkapi potensi tumbuhnya industri kreatif yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp 104,6 triliun. Indonesia perlu terus mengembangkan industri kreatif. Alasannya, industri kreatif memberikan kontribusi ekonomi yang signifikasi. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun citra serta identitas bangsa. Di sisi lain, industri kreatif berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif.

Dalam kurun waktu antara tahun 2002-2006, rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia mencapai 6,3 persen dari total PDB Nasional. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun, berkontribusi sebesar Rp 9,13 persen terhadap total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja (Studi Industri Kreatif Indonesia, 2008). Sumbangan industri kreatif yang cukup signifikan terhadap pendapatan domestik bruto nasional, semakin menguatkan perlunya kekuatan daya saing yang akan memberikan competitive advantage pada keberadaan industri tersebut. Untuk meningkatkan daya saing pada industri kreatif, diperlukan adanya pengelolaan, baik secara internal ataupun eksternal perusahaan. Hubungan antara supplier, customer, dan perusahaan itu sendiri, harus dikelola dengan baik. Bagaimana agar supplier ikut bertanggungjawab terhadap kualitas produk, hubungan yang baik dan jangka panjang dengan supplier dan customer, serta agar distribusi produk dari hulu ke hilir tepat pada waktunya sampai ke pengguna akhir. Disinilah pengelolaan perlu dilakukan. Terjadi sebuah kesalahan pada distribusi barang dan jasa akan membuat kualitas barang dan jasa menurun. Dan ini berakibat daya saing melemah. Untuk meningkatkan distribusi barang dan jasa, serta sharing informasi dan financial dari hulu ke hilir pada sektor industri kreatif, maka diperlukan pengelolaan secara komprehensif. Penerapan dan praktek supply chain management untuk penyediaan barang dan jasa inilah yang sangat diperlukan bagi sektor industri kreatif, dalam rangka meningkatkan daya saing industri yang akan memberikan dampak pada kinerja usaha. 

Rumusan Masalah

Supply chain management merupakan sesuatu yang sangat kompleks sekali, dimana banyak hambatan yang dihadapi dalam implementasinya, sehingga dalam implementasinya memang membutuhkan tahapan mulai tahap perancangan sampai tahap evaluasi dan continuous improvement. Selain itu implementasi supply chain management membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mulai dari internal dalam hal ini seluruh manajemen puncak dan eksternal, dalam hal ini seluruh partner yang ada.  Saat ini konsumen seakan dimanjakan oleh produsen, hal ini kita lihat semakin beragamnya jenis produk yang ada di pasaran. Hal ini juga kita lihat strategi perusahan yang selalu berfokus pada customer (customer oriented). Jika dahulu produsen melakukan strategi dengan melakukan pembagian segment pada customer, maka sekarang konsumen lebih dimanjakan lagi dengan pelemparan produk menurut keinginan setiap individu bukan menurut keinginan segment tertentu. Banyaknya jenis produk dan jumlah dari yang tidak menentu dari masing-masing produk membuat produsen semakin kewalahan dalam memuaskan keinginan dari konsumen. Globalisasi membuat supply chain semakin rumit dan kompleks karena pihak-pihak yang terlibat dalam supply chain tersebut mencakup pihak-pihak di berbagai negara yang mungkin mempunyai lokasi diberbagai pelosok dunia.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah mengungkapkan serta mencari tahu bagaimana praktek supply chain untuk penyediaan barang dan jasa yang dijalankan oleh para pelaku industri kreatif di Jawa Tengah serta dampak yang nyata bagi peningkatan kinerja usaha. Secara rinci uraian tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:
  1. Menguji pengaruh antara praktek supply chain management penyediaan barang dan jasa dengan competitive advantage serta peningkatan kinerja usaha sektor industri kreatif.
  2. Memberikan masukan kepada para pengusaha kecil berbasis industri kreatif di Jawa Tengah mengenai hasil penelitian ini sebagai dasar pengelolaan supply chain penyediaan barang dan jasa dalam rangka peningkatan daya saing industri serta kinerja usaha.
Pelaku industri mulai sadar bahwa untuk menyediakan produk yang murah, berkualitas dan cepat, perbaikan di internal perusahaan manufaktur maupun jasa adalah tidak cukup. Peran serta supplier, perusahaan transportasi dan jaringan distributor adalah dibutuhkan. Kesadaran akan adanya produk yang murah, cepat dan berkualitas inilah yang melahirkan konsep baru tahun 1990-an yaitu Supply Chain Manajement (SCM). Jaringan perusahaan secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir inilah yang disebut supply chain atau rantai pasokan. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk supplier, pabrik, distributor, toko atau ritel, sertu perusahaan pendukung seperti jasa logistik. Pendekatan yang ditekankan dalam Supply Chain Management adalah terintegrasi dengan semangat kolaborasi. Supply chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal melainkan juga eksternal perusahaan yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Melalui pendekatan supply chain management ini para pelaku usaha kecil menengah terutama yang berbasis industri kreatif, dapat menggunakan pendekatan ini untuk meningkatkan daya saing industrinya. Karena pendekatan ini cukup strategis dalam memenangkan persaingan, dengan berfokus pada pengadaan logistiknya. Pengintegrasian secara efisien antara pemasok (suppliers), pabrik (manufactures), gudang (warehouses), dan penyimpanan (stores), sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dengan kuantitas yang benar, untuk lokasi yang benar dan waktu yang benar. Peningkatan hubungan yang baik antara perusahaan, supplier dan customer akan mencapai efisiensi dan kepercayaan. Oleh karena itu melalui pendekatan praktek supply chain management ini para pelaku industri kreatif akan mendapatkan keunggulan bersaing yang berdampak pada meningkatnya kinerja perusahaan. 

Tinjauan Pustaka

Industri kreatif

Pemerintah melalui departemen perdagangan telah mengidentifikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, yaitu:
  1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan meliputi; proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan.
  2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari level makro sampai level mikro.
  3. Pasar barang seni: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet. Misal: alat musik, percetakan, kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan
  4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi produk yang dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya.
  5. Desain: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, serta produksi kemasan dan jasa pengepakan
  6. Fesyen : kegiatan kreatif yang berkaitan dengan desain pakaian, alas kaki dan aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesoris lainnya serta distribusi produk fesyen.
  7. Video, Film dan Fotografi : kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi. Juga penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron dan eksibisi film.
  8. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan proses kreasi, produksi dan distribusi dari permainan komputer dan video.
  9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi,  pertunjukan, reproduksi dan distribusi dari rekaman suara.
  10. Seni pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukan kontemporer (misal: drama, musik tradisional, musik teater, opera, tur musik etnik), desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung dan tata pencahayaan.
  11. Penerbitan dan percetakan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan penerbitan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. 
  12. Layanan komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan pengembangan teknologi informasi termasuk layanan jasa komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem.
  13. Televisi dan radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi, penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio.
  14. Riset dan pengembangan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha inovasi yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang memenuhi kebutuhan pasar.
Supply Chain Management

Supply Chain Management adalah seperangkat pendekatan untuk mengefisienkan integrasi supplier, manufaktur, gudang dan penyimpanan, sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, waktu yang tepat, untuk meminimasi biaya dan memberikan kepuasan layanan terhadap konsumen (simchi-levi,2003). Definisi oleh the Council of Logistics Management: "Supply Chain Mangement is the systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual company and the supply chain as a whole". Menurut Kalakota (2000) Supply Chain Management adalah sebuah ‘proses payung’ di mana produk diciptakan dan disampaikan kepada konsumen dari sudut struktural. Sebuah supply chain merujuk kepada jaringan yang rumit dari hubungan di mana organisasi mempertahankan dengan rekan bisnisnya untuk mendapatkan sumber produksi dalam menyampaikan kepada konsumen. Tujuan yang hendak dicapai dari setiap supply chain adalah untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan secara keseluruhan (Chopra, 2001). Supply chain yang terintegrasi akan meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh supply chain tersebut.

Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Ukuran performansi Supply Chain Management, meliputi:
  1. Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, ketepatan pengiriman).
  2. Waktu (total replenishment time, business cycle time).
  3. Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah).
  4. Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi) Supply Chain Management juga bisa diartikan jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu (upstream) dan ke hilir (downstream), dalam proses yang berbeda dan menghasilkan nilai dalam bentuk barang/jasa di tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user). 
Competitive Advantage

Keunggulan bersaing (competitive advantage) menurut (Goyal, 2001) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk meraih keuntungan ekonomis di atas laba yang mampu diraih oleh pesaing di pasar dalam industri yang sama. Perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif senantiasa memiliki kemampuan dalam memahami perubahan struktur pasar dan mampu memilih strategi pemasaran yang efektif. Strategi bersaing dimaksudkan untuk mempertahankan tingkat keuntungan dan posisi yang langgeng ketika menghadapi persaingan. Keunggulan bersaing berkembang dari nilai yang mampu diciptakan oleh perusahaan bagi pelanggan atau pembeli. Suhong li (2006) menggunakan dimensi pengukuran competitive advantage dalam penelitiannya antara lain menggunakan  delivery dependability, inovasi produk dan time to market.

Delivery Dependability

Saling ketergantungan antara partner dalam jaringan supply chain akan menguatkan delivery product dan jasa dari hulu ke hilir. Delivery dependability juga akan menciptakan hubungan jangka panjang yang saling membutuhkan. Sehingga ketersediaan produk dan ketepatan waktu pengiriman akan dapat tercapai. 

Inovasi produk

Kreativitas yang tinggi dalam menciptakan keunikan produk yang lebih menarik, aman dan nyaman lebih diminati oleh konsumen dibandingkan dengan produk pesaing lainnya. Keunggulan bersaing yang berkesinambungan adalah kemampuan suatu perusahaan untuk enciptakan suatu produk yang pada saat pesaing berusaha untuk menirunya akan selalu mengalami kegagalan secara signifikan. Pada saat perusahaan menerapkan strategi tersebut dan perusahaan pesaing tidak secara berkesinambungan menerapkannya serta perusahaan lain tidak mampu meniru keunggulan strategi tersebut maka perusahaan tersebut dikatakan memiliki keunggulan bersaing yang berkesinambungan.

Time to market

Beberapa hal yang menyangkut time to market adalah sebagai berikut: perusahaan mampu memperkenalkan produk lebih cepat dibandingkan competitor, pengiriman produk ke pasar lebih cepat, waktu pengenalan produk lebih cepat dibandingkan rata-rata industri dan pengembangan produk lebih cepat. 

Kinerja Usaha

Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Goyal ( 2001 ) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut: “Performance is: (1) the process or manner of performing, (2) a notable action or achievement, (3) the performing of a playor other entertainment”.

Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Kinerja usaha mengacu pada seberapa baik suatu perusahaan berorientasi pada pasar serta tujuan financialnya.

Sistem penilaian kinerja yang efektif sebaiknya mengandung indikator kinerja, yaitu: (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan. Penilaian kinerja mengandung tugas-tugas untuk mengukur berbagai aktivitas tingkat organisasi sehingga menghasilkan informasi umpan balik untuk melakukan perbaikan organisasi. Perbaikan organisasi mengandung makna perbaikan manajemen organisasi yang meliputi: (a) perbaikan perencanaan, (b) perbaikan proses, dan (c) perbaikan evaluasi. Penilaian kinerja perusahaan dapat diukur dengan ukuran keuangan dan non keuangan. Ukuran keuangan untuk mengetahui hasil tindakan yang telah dilakukan dimasa lalu dan ukuran keuangan tersebut dilengkapi dengan ukuran non keuangan tentang kepuasan customerdan cost effectiveness proses bisnis/intern serta produktivitas.

Setelah pengelolaan dilakukan terhadap suatu usaha diharapkan kinerja usaha tersebut akan membaik. Pada penelitian ini pengelolaan dilakukan terhadap supply chain untuk penyediaan barang dan jasa. Dimulai dari pemesanan bahan baku sampai pada produk akhir yang digunakan oleh konsumen, diharapkan pendistribusian barang, penyampaian informasi, ketepatan waktu akan berjalan lancar. Pada dasarnya proses pada supply chain telah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, utamanya disini adalah sektor industri kreatif. Hanya saja supply chain penyediaan barang dan jasa tersebut belum terintegrasi dan kolaboratif. 

Metode Penelitian

Bagan Alir Penelitian

Bagan alir penelitian merupakan suatu bagan yang menggambarkan garis besar penelitian yang akan dilakukan. Tahapan Penelitian dibuat untuk dua periode waktu yang berbeda. Tahun pertama identifikasi supply chain untuk penyediaan barang dan jasa dalam meningkatkan daya saing pada industri kreatif. Tahun kedua, pengujian model. Berdasar pada latar belakang dan landasan teori pada bab terdahulu, maka dapat disajikan bagan alir penelitian seperti terlihat pada gambar berikut ini :

Hasil dari integrasi berbagai kegiatan tersebut diharapkan akan memberikan kemampuan daya saing yang kuat pada pelaku usaha kecil menengah dengan basis industri kreatif.  Kekuatan daya saing diharapkan akan memberikan dampak yang baik pada kinerja usaha serta akan menghasilkan kemampuan bersaing yang menguntungkan (competitive advantage).

Populasi dan Sampel

Populasi merupakan kumpulan individu dengan kualitas serta ciri ciri yang telah ditetapkan (Ferdinand, 2006 ). Populasi juga merupakan keseluruhan individu untuk siapa kenyataan yang diperoleh akan digeneralisasikan (Ferdinand, 2006). Sedangkan sampel adalah sebagian populasi yang karakteristiknya hendak diteliti dan dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi. Populasi penelitian ini adalah seluruh usaha kecil menengah berbasis industri kreatif di Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dua tahap. Metode purposive sampling diterapkan karena pada penelitian ini diperlukan interaksi intensif dengan subyek penelitian, sehingga subyek penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan (judgment) peneliti mengenai lokasi subyek dan kesediaan subyek untuk terlibat dalam penelitian ini. Tahap pertama pengambilan sampel adalah pengambilan sampel kabupaten yang ada di wilayah Propinsi Jawa Tengah sesuai tujuan dan kepentingan penelitian. Kabupaten-kabupaten yang dipilih sebagai sampel adalah kabupaten yang di wilayahnya banyak terdapat industri kreatif, yaitu  Kabupaten semarang, Kabupaten Surakarta, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Banyumas. Tahap kedua adalah pengambilan sampel pengusaha-pengusaha kecil menengah berbasis industri kreatif di wilayah kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai sampel. Dari hasil  pemilihan sampel usaha kecil menengah berbasis industri kreatif  jumlah respondennya adalah 105 responden.

Metode Analisis Data

Analisis Data dilakukan dengan analisis diskriminan, yaitu untuk menentukan mana prediktor yang paling dominan pada Supply Chain Management. Pengujian Model yang diusulkan dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan two step approach. Dalam two-step Aprroach to SEM dengan program AMOS 5, model pengukuran (measurement model) terlebih dahulu dirumuskan dan dievaluasi secara terpisah dan kemudian ditetapkan langkah kedua ketika model struktural diestimasi (Ferdinand . 2006).

Definisi Operasional dan Pengukuran variabel

Praktek supply chain management


VariabelUkuran
Pengembangan ProdukMelakukan riset pasar, merancang produk baru, melibatkan supplier dalam perancangan produk baru
Strategic supplier partnershipMemilih supplier mengevaluasi kinerja supplier, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan supplier
Perencanaan dan PengendalianDemand planning, peramalan permintaan, perencanaan kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan
ProduksiEksekusi produksi, pengendalian kualitas
DistribusiPerencanaan jaringan distribusi, penjadwalan pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman, memonitor service level di riap pusat distribusi
Kualitas InformasiAkurasi, ketepatan waktu, kecukupan waktu, pertukaran informasi yang kredibel
Customer relationshipMengelola customer complaint, meningkatkan kepuasan customer, membangun hubungan jangka panjang dengan customer
PembelianSyarat pembelian, kehlian negosiasi, kemampuan untuk menerjemahkan strategis perusahaan ke dalam system pemilihan dan evaluasi supplier.
Competitive advantage

Competitive advantage atau keunggulan bersaing kemampuan suatu perusahaan untuk meraih keuntungan ekonomis di atas laba yang mampu diraih oleh pesaing di pasar dalam industri yang sama . Dalam penelitian ini variabel competitive advantage diukur dengan delivery dependability, produk inovatif dan time to market. Pengukuran ini seperti yang telah digunakan dalam penelitian Suhong li, et al (2006).

Kinerja Perusahaan

Kinerja perusahaan merupakan hasil pelaksanaan suatu usaha baik yang bersifat fisik maupun nonfisik dengan indikator pencapaian hasil kerja dibandingkan target yang telah ditentukan. Pengukuran variable kinerja usaha menggunakan pengukuran yang telah digunakan oleh Goyal ( 2001 ) dan Suhong li (2006), yaitu produktivitas,   pertumbuhan penjualan, serta pangsa pasar.

Pembahasan 

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

Gambar 2
Analisis Full Model

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

Tabel 4.1
Hasil Pengujian Kelayakan Full Model

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

Tabel 4.2
Regression Weight



C.R.P
Kinerja Perusahaan<---Praktek SCM2.2.0
Keunggulan Bersaing<---Praktek SCM3.5.0
Kinerja Perusahan<---Keunggulan Bersaing2.3.0
X3<---Perencanaan dan Pengendalian10.3.0
X2<---Strategic supplier partnership12.3.0
X1<---Pengembangan Produk11.9.0
X4<---Produksi11.3.0
X5<---Distribusi12.2.0
X6<---Kualitas Informasi15.0.0
X7<---Customer relationship14.2.0
X8<---Pembelian11.1.0
X9<---Produktivitas12.4.0
X12<---delivery dependability11.2.0
X11<---Pangsa Pasar11.3.0
X10<---Pertumbuhan pelanggan11.1.0
X13<---Produk inovatif11.2.0
X14<---Time to Market11.1.0
Sumber : Data primer yang diolah dengan AMOS 5

Hasil Uji Hipotesis
  1. Pengujian secara parsial variabel X1 ( praktek Supply Chain Management) memiliki memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR  > 1,96 yang  menunjukkan bahwa variabel praktek Supply Chain Management memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan . Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif praktek Supply Chain Management terhadap kinerja perusahaan.
  2. Pengujian secara parsial variabel X2 ( praktek Supply Chain Management) memiliki probablitas dibawah 005 dan CR  > 1,96  yang  menunjukkan bahwa variable praktek Supply Chain Management memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keunggulan bersaing.
  3. Pengujian secara parsial keunggulan bersaing memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR  > 1,96 yang  menunjukkan bahwa variable keunggulan bersaing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan . Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif keunggulan bersaing terhadap kinerja perusahaan.
Kesimpulan
  1. Praktek Supply Chain Management  berpengaruh positif dan signifikan keunggulan bersaing . Indikator dari Supply Chain Management  meliputi pengem-bangan produk, strategic supplier partnership ,perencanaan dan pengendalian, produksi, distribusi, kualitas informasi, customer relationship dan pembelian.
  2. Praktek Supply Chain Management berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Indikator dari kinerja perusahaan meliputi produktivitas,   pertumbuhan penjualan, serta pangsa pasar.
  3. Keunggulan bersaing berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Indikator dari keunggulan bersaing delivery dependability, produk inovatif dan time to market.
  4. Hasil-hasil dalam penelitian ini dan keterbatasan-keterbatasan yang ditemukan agar dapat dijadikan sumber ide dan masukan bagi pengembangan penelitian ini dimasa yang akan datang, maka perluasan yang disarankan dari penelitian ini antara lain adalah: menambah variabel independen yang mempengaruhi praktek Supply Chain Management.  Selain itu indikator penelitian yang digunakan dalam penelitian ini hendaknya diperinci untuk dapat menggambarkan bagaimana strategi yang dijalankan dan target yang ditetapkan perusahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
  5. Meskipun Supply Chain Management memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem produksi dan operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan disikapi oleh perusahaan apabila akan menerapkannya. Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan makro dan juga lingkungan eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang menunjukkan adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu juga kecenderungan konsumen perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan banyak menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola informasi yang bergerak sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk.
Daftar Pustaka 
  • Chopra, Sunil and Meindl , Peter, 2001, Supply Chain Management: Strategy, Planning and Operating, Prentice-hall.
  • Ferdinand, Augusty T. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Edisi II. Semarang: Bp Undip.
  • Goyal, S.K., dan Nebebe, F. 2000. Determination of economic production-shipment policy for single-vendor–single-buyer system. European Journal of Operational Research. 121:175-178.
  • Goyal, S.K., dan Cardenas-Barrron, L.E. 2001. Note on: ‘An optimal batch size for a production system operating under a just-in-time delivery system’. International Journal of Produciton Economics 72:99.
  • Porter, ME, 2006, Competitive advantage: creating and sustaining superior performance. New York. The Free Press productivity-technology dilemma. Boston, MA: The Harvard Business School Press; 1985. p. 63–110.
  • Roth A, Miller J. Manufacturing strategy, manufacturing strength, managerial success, and economic outcomes. In: Ettlie J, Burstein M, Fiegehaum A., editors. Manufacturing strategy. Norwell, MA: Kluwer Academic Publishers; 1990.
  • Simchi levi, david, 2003, Designing and managing the supply chain, Mac Grawhill.
  • Skinner W. The taming of the lions: how manufacturing leadership involved, 1780–1984. In: Clark KB, Hayes R, Lorenz C., editors. The uneasyalliance: managing the.
  • Stock GN, Greis NP, Kasarda JD. Enterprise logistics and supplychain structure: the role of fit. Journal of Operations Management 2000;18(5):531–47.
  • Studi Industri Kreatif Indonesia, 2008, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025, Departemen Perdagangan RI.
  • Suhong Li, Bhanu Ragu-Nathanb, T.S. Ragu-Nathanb, S. Subba Raob, 2006, The impact of supply chain management practices on competitive, The International Journal Management Science.
  • TraceyM, Vonderembse MA, Lim JS. Manufacturing technologyand strategyformulation: keys to enhancing competitiveness and improving performance. Journal of Operations Management 2001 ;17(4):411–28.
  • VickeryS, Calantone R, Droge C. Supplychain flexibility:an empirical study. Journal of Supply Chain Management 2001 . 9;35(3):16–24.
  • Zhang, QY. Technologyinfusion enabled value chain flexibility: a learning and capability-based perspective. Doctoral dissertation, Universityof Toledo, Toledo, OH.
Baca Selanjutnya - Pengaruh Supply Chain Management Terhadap Kinerja Perusahaan dan Keunggulan Bersaing (Studi Kasus pada Industri Kreatif di Provinsi Jawa Tengah)

Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia

Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011

Mariana Kristiyanti
Fakultas Ekonomi, Universitas AKI

Abstract

One dimension of business quality in accordance with national production is productivity that can be measured by output dimension of each business unit. Crisis not only leads to the decrease of number of companies, but also affects directly toward company’s output. One of strategic steps to recover decreased economic condition is to make efficient use of Small and Medium Business through the development of business centers facilitated by both financial and non-financial (by forming BDS) reinforcement programs.

Key words: Indonesian Economy, Micro Business, Small and Middle Business 

Pendahuluan

Sejak sebelum kemerdekaan ekono-mi Indonesia telah dilihat sebagai suatu perekonomian yang dualistik sebagaimana diungkapkan oleh Boeke. Penjajahan Belanda yang panjang telah  mengukuhkan  keadaan  tersebut  dengan  dualisme  pende-katan  pembangunan  yang memperkenalkan  kegiatan onderneming  yang  dipisahkan  dari  perekonomian  rakyat sehingga enclave  economy  hadir,  dari  perkebunan  kemudian  meluas  sampai  pada perusahaan  perminyakan  dan  mastchapai    lainnya.  Setelah  kemerdekaan  kita  mengenal kegiatan  perekonomian  rakyat,  usaha  milik  Negara  dan  usaha  swasta  dengan  keinginan kuat  mengembangkan  koperasi  sebagai  bangun  perusahaan  yang  sesuai  untuk  menjadi wadah perekonomian rakyat. 

Ketika  isu  modernisasi  mengede-pan  dan  keterbukaan  mulai  merasuk  ke  dalam perekonomian  kita,  maka  perkembangan  internasional  yang  relevan  mulai  berkembang dalam perjalanan perekonomian kita. Pada awal Repelita III isu usaha formal dan informal mulai berkembang disertai nuansa pembelaan pada produksi dalam negeri dan pengusaha golongan  ekonomi  lemah.  Pada  periode  berikutnya  sejak  1990an  tuntutan  untuk melepaskan dari karakteristik lemah muncul, sehingga lahir pemikiran tentang usaha kecil. Pemihakan kepada usaha kecil berkembang dan menjadi salah satu perhatian pemerintah hingga datangnya krisis yang meneguhkan lagi kekuatan usaha kecil dan menengah. Indonesia telah menikmati masa pertumbuhan ekononomi yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang, hingga datangnya krisis nilai tukar tereskalasi menjadi krisis multi dimensi yang dimulai akhir tahun 1997. Setelah lima tahun lebih krisis tersebut berlangsung dan hingga akhir 2002 tingkat output agregatpun belum kembali pada tingkat sebelum krisis. Hal ini tentu menimbulkan suatu tanda tanya besar. 

Pada  awal  krisis  ketika  hampir  sebagian  besar  sistem  distribusi  dan  perdagangan  macet memang usaha kecil dan koperasi berhasil digerakkan mengisi kegiatan yang ditinggalkan tersebut.  Bahkan  kemudian  diikuti  oleh  meningkatnya  aktivitas  sektor  pertanian  non-konvensional  oleh  para  pengusaha  baru  dari  mereka  yang  tergusur  dari  sektor  formal karena  terkena  pemutusan  hubungan  kerja.  Perkembangan  ini  sempat  memunculkan harapan  baru  bahwa  sektor  ekonomi  rakyat,  usaha  kecil  dan  kegiatan  koperasi  akan tumbuh lebih cepat karena lingkungan politik dan dukungan  yang menguntungkan serta ketersediaan tenaga profesional yang memadai. Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan  kelangsungan  usahanya,  bahkan  memainkan  fungsi  penyelamatan  di beberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan  kebutuhan  pokok  rakyat  melalui  produksi  dan  normalisasi  distribusi.  Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai  sebagian  kecil  sumberdaya  akan  kemampuannya  untuk  menjadi  motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. 

Harapan  ini  menjadi  semakin  kuat  ketika  muncul  keberanian  untuk  mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan  UKM. Pergeseran sesaat dalam  kontribusi UKM terhadap PDB pada saat krisis yang belum berhasil dipertahankan menyisakan pertanyaan tentang  faktor  dominan  apa  yang  membuat  harapan  tersebut  tidak  terwujud.  Berbicara mengenai UKM di Indonesia menganut cakupan pengertian yang luas pada seluruh sektor ekonomi termasuk pertanian, serta menggunakan kreteria aset dan nilai penjualan sebagai ukuran pengelompokan sesuai UU Nomor 9/1995 tentang usaha kecil dan Inpres Nomor 10/1999 tentang pembinaan usaha menengah.

Semangat  baru  dunia  yang  menggeluti  usaha  kecil  dan  menengah  (SME)  juga  telah berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa depan.  Pernyataan  ini  paling  tidak  telah  menjadi  kesadaran  baru  bagi  kalangan  pelaku UKM di kawasan Asia Pacific sebagai mana mereka kemukakan di depan para Menteri yang membidangi UKM forum APEC  yang bertemu di kota Christchurch New Zealand tahun  1999.  Pengalaman, keyakinan dan harapan inilah yang kemudian menggelora menjadi semangat yang terus didengungkan hingga saat ini.

Kendala UKM untuk Menjadi Mesin Pertumbuhan

Memperhatikan  analisis  pada  bagian  sebelumnya  dapat  kita  catat  bahwa  kita  belum berhasil  mengidentifikasi  potensi  usaha  kecil  sebagai  motor  pertumbuhan  ekonomi  bagi pemulihan krisis ekonomi. Untuk dapat mencerna secara tepat faktor-faktor yang menjadi kendala  bagi  ekspansi  usaha  kecil  maka  diperlukan  pendalaman  dengan  membuat disagregrasi kelompok usaha kecil. Sebagaimana diketahui sesuai hasil pengolahan data tahun  1995  dari  sektor  usaha  kecil  sekitar  97%  terdiri  dari  usaha  kecil-kecil  (mikro) dengan omset dibawah Rp. 50 juta,-. Dengan demikian mayoritas usaha kecil adalah usaha mikro  dan  sebagian  terbesar  berada  di  sektor  pertanian  dan  perdagangan,  hotel  dan restoran. 

Masalah  mendasar  yang  membatasi  ekspansi  usaha  kecil  adalah  realitas  bahwa produktivitasnya rendah sebagaimana diperlihatkan oleh nilai tambah/tenaga kerja. Secara keseluruhan  perbandingan  nilai  tambah/tenaga  kerja  untuk  usaha  kecil  hanya  sekitar seperduaratus  (1/200)  kali  nilai  tambah/tenaga  kerja  untuk  usaha  besar.  Jika  dilihat periode  sebelum  krisis  dan  keadaan  pada  saat  ini  ketika  mulai  ada  upaya  ke  arah pemulihan  ekonomi.  Pada  tahun  2001,  mengecil  menjadi  0,55.  Hal  ini  menunjukkan bahwa  potensi  untuk  menutup  gap  antara  produktivitas  UK  dan  UB  malah  menjadi semakin tipis, atau jurang perbedaan produktivitas (nilai tambah/tenaga kerja) akan tetap besar.

Sudah  menjadi  pengertian  umum  bahwa  produktivitas  sektor  industri,  terutama  industry pengolahan  seharusnya  mempunyai  nilai  tambah  yang  lebih  besar.  Sebenarnya  sektor pertanian  memiliki  produktivitas  terendah  dalam  pembentukan  nilai  tambah  terutama  di kelompok  usaha  kecil  yang  hanya  merupakan  sekitar  tiga  perempat  produktivitas  usaha kecil  secara  keseluruhan  yang  didominasi  oleh  usaha  pertanian.  Namun  pengalaman Indonesia  di  masa  krisis  menunjukan,  bahwa  yang  terjadi  sebaliknya  dengan  demikian dalam  suasana  krisis  masih  sangat  sulit  mengharapkan  sektor  industri  kecil  kita  untuk diharapkan menjadi motor pertumbuhan untuk pemulihan ekonomi. Pembentukan nilai tambah/tenaga kerja untuk kelompok usaha yang sama (usaha kecil) di berbagai  sektor  dapat  menggambarkan  potensi  peningkatan  produktivitas  melalui transformasi  dari  sektor  tradisional  ke  sektor  modern  misalnya  dari  sektor  pertanian  ke sektor  industri  dan  perdagangan.  Rasio  nilai  tambah/TK  untuk  UK-pertanian  dibanding UK-Industri pengolahan mengalami peningkatan dari 0,74 pada tahun 1997 menjadi 0,82 Memahami  karakteristik  usaha  yang  ada  di  Indonesia  maka  strategi  terhadap  kelompok usaha yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kinerja penyediaan lapangan kerja adalah antara  lain  melalui  perbaikan  produktivitas  perusahaan.  Prioritas  penanganan  perbaikan produktivitas  perusahaan  pada  usaha  kecil  dan  menengah  dapat  diarahkan  dengan  tiga fokus utama yaitu: 
  1. Sektor industri pengolahan;
  2. Sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
  3. Sektor  pertanian  terutama  sub  sektor  peternakan,  perkebunan  budidaya  laut  dan  sub sektor hortikultura.
Dilihat dari struktur pelaku usaha menurut skala kegiatan dan karakteristiknya Pemerintah Indonesia harus memilih strategi  yang jelas  antara orientasi pengembangan usaha kecil-menengah untuk tujuan peningkatan daya saing dan ekspor dan orientasi pengembangan usaha  mikro-kecil  untuk  orientasi  penciptaan  lapangan  kerja  dan  penanggulangan kemiskinan.  Kebijakan  yang  dapat  ditempuh  untuk  penciptaan  lapangan  kerja  dan penanggulangan  kemiskian  harus  bersifat menyeluruh  melalui  penguatan  dan  perluasan lembaga  keuangan  mikro,  LKM-pra  koperasi,  koperasi  simpan  pinjam  dan  BPR.  LKM memiliki  karakter  pendampingan  yang  memadai  sebagai  salah  satu  cara  pengamanan kredit,  sehingga  lebih  dekat  dengan  nasabah  dibanding  bank-komersial  biasa.  Untuk meningkatkan  kemampuan  usaha  mikro  pada  dasarnya  dapat  dilaksanakan  oleh  para petugas  lapangan  lembaga  keuangan  yang  melayanani  mereka.  Untuk  itu  peningkatan kapasitas  bagi  petugas  LKM  di  lapangan  dalam  hal  pembinaan  usaha  bagi  usaha  mikro menjadi sangat penting.

Model Struktural Pelaku Ekonomi Indonesia

Seperti lazimnya pengertian pelaku ekonomi dalam pengertian yang telah diterima secara luas  adalah  produsen,  konsumen  dan  pemerintah.  Dalam  suatu  perekonomian  yang terbuka sudah barang tentu lalu lintas barang dan jasa akan menentukan jumlah peredaran barang dan jasa. Oleh karena itu ekspor dan impor yang dilakukan akan turut menentukan tingkat  produksi  dan  penyediaannya.  Apalagi  bagi  perekonomian  kita  yang  lebih  dari separuh produksi kita disediakan melalui perdagangan luar negeri (ekspor-impor). 

Sejak  dilaksanakannya  Sensus  Ekonomi  1996  upaya  untuk  melihat  produksi  nasional secara lebih rinci terus dilakukan. Bahkan sejak 1998 telah berhasil dilakukan perhitungan produk domestik bruto  menurut pelaku berdasarkan skala usaha yaitu usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar mengikuti pengelompokan UU 9/1995 dan  Impres 10/1999, perhitungan  itu  dimungkinkan  karena  adanya  kerjasama  antara  BPS  dan  Kementerian Koperasi dan UKM sejak 1999. Meskipun pengelompokan lebih lanjut diperlukan, terutama pemisahan usaha mikro dan UKM,  namun  perkembangan  perhitungan  tersebut  telah  membantu  menyadarkan  semua pihak akan arti penting dari keberadaan UKM atau sektor ekonomi kecil dalam menopang perekonomian nasional. 

Sisi  lain  yang  belum  banyak  dikembangkan  adalah  melihat  secara  lebih  rinci  dalam  sisi komsumsi  agregat.  Pengenalan  pembagian  pembentukan  model  domestik  untuk  UKM sudah  dilakukan  secara  parsial,  dan  hal  ini  menjadi  penjelas  penting  mengapa  output dikuasai  oleh  usaha  besar,  karena  sekitar  51%  investasi  di  tangan  perusahaan  besar.  Kita juga  memiliki  informasi  yang  cukup  mengenai  distribusi  rumah  tangga  berdasarkan pengeluaran, sehingga cukup mampu menyusun pengelompokan pengeluaran oleh masing-masing strata pengeluaran. Upaya semacam ini akan mampu melengkapi analisa struktural perekonomian Indonesia baik dari sisi produksi maupun konsumsi.

Perkembangan Pemikiran Sistem Perekonomian Indonesia  

Dalam berbagai model makro untuk merumuskan tujuan perjalanan suatu perekonomian pada  dasarnya  ditujukan  pada  upaya  mencapai  pertumbuhan  ekonomi  yang  tinggi, pencapaian  kesempatan  kerja  penuh  (full  employment)  dan  inflasi  yang  terkendali.  Tiga tujuan  kebijakan  makro  ini  pernah  menjadi  Trilogi  Pembangunan  pada  saat  Repelita  I (1969-1974)  dengan  rumusan  pertumbuhan,  kesempatan  kerja  dan  stabilitas.  Kemudian formulasi  berikutnya  sudah  lebih  jelas  sebagai  rumusan  politik  perekonomian  dengan tekanan pada pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan.

Jika  dalam  realitas  kehidupan  perekonomian  ada  dinamika  dari  waktu  kewaktu.  Dalam model pertumbuhan kita mengenal jalur pertumbuhan optimal yang mengantar pada masa keemasan atau  “golden  age”9. Di dalam pencarian tingkat pertumbuhan optimal sendiri sering  kita  berhadapan  dengan  persoalan  jalur  cepat  yang  menjadikan  ekonomi  over heated dan mungkin juga pengharapan yang berlebihan. Pelajaran penting yang harus kita petik terhadap teori pertumbuhan ekonomi optimal itu apa ? Jawabnya ternyata teori ini mengajarkan bahwa masa kejayaan atau golden age itu terwujud apabila pertumbuhan itu dapat diusahakan pada tingkat optimal hingga tercapai tingkat  konsumsi  perkapita  yang  maksimal  sebagai  suatu  tujuan  yang  tepat.  Dengan demikian  pertumbuhan  ekonomi  sendiri  bukan  tujuan  akhir  tetapi  indikator  pencapian tujuan pada setiap titik dan harus diarahkan agar golden rule ditaati, sehingga tidak mudah terjadi kecelakaan. Dan pertimbangan lain yang lebih penting lagi ada jaminan yang perlu ditegaskan, bahwa tidak ada mereka yang harus hidup di bawah garis kemiskinan kecuali mereka yang dapat dipelihara oleh Negara.

Jika dilihat sejarah perekonomian kita sejak kemerdekaan terlihat adanya pola siklus tujuh tahunan yang menurut berbagai ahli seperti Emil Salim, Franseda, dan Mubyarto sendiri yang  mengutip  pendapat  keduanya  dapat  dijadikan  dasar  periodisasi  perkembangan perekonomian  Indonesia.  Sampai  dengan  akhir  1990an  telah  dapat  dikenali  8  periode perkembangan perekonomian Indonesia  yang mencerminkan gerakan pendulum mencari bentuk ke arah bentuk perekonomian yang ideal. 

Periodisasi tersebut sekaligus menujukan bahwa sejak awal 1990an kita sudah mulai sadar akan  bahaya  konsentrasi  dan  konglomerasi.  Dan  datangnya  krisis  pada  akhir  1997 memperkuat  kesadaran  baru  untuk  membangun  ekonomi  rakyat.  Sehingga  periode  ini (1994-2001) oleh Mubyarto dinamakan masa Menuju Ekonomi Kerakyatan dan memang benar  akhirnya  lahir  Ketetapan  Mejelis  Permusyawaratan  Rakyat  yang  mengatur  dan memberi pengertian mengenai Sistem Ekonomi Kerakyatan.

Daya Saing Perekonomian Indonesia 

Untuk melihat kemampuan suatu negara dalam memenangkan persaingan pada kehidupan pasar global dapat diperhatikan dari indikator makro dan mikro. Secara makro daya saing suatu  negara  dapat  digambarkan  oleh  tiga  macam  indek,  yaitu:  Indek  Kemampuan Teknologi; Indek Kelembagaan Publik; dan Indek Lingkungan Makro Ekonomi. Sementara itu pada indikator mikronya dapat dilihat dari Urutan Strategi dan Operasi Perusahaan; dan Urutan Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional. Dalam laporan yang dikutip oleh Adiningsih tersebut  memang  dibandingkan  negara  ASEAN  lainnya,  terutama  ASEAN-6,  Indonesia berada pada posisi ekstrim di bawah. Hal ini karena baik kinerja makro maupun mikro yang kurang  kompetitif  antar  Negara,  sehingga  Indonesia  tidak  kompetitif  untuk  menarik investasi  dari  luar  negeri.  Namun  demikian  disadari  bahwa  ekspor  Indonesia  yang  masih terus  berlangsung  menunjukkan  adanya  segmen  tertentu  yang  sangat  kompetitif  dalam persaingan pasar di luar negeri. Untuk melihat keunggulan komperatif dan kompetitif dapat dilihat  lebih  akurat  pada  level  produk,  sehingga  perbandingan  ini  memberikan  justifikasi akan  perlu  tidaknya  suatu  produk  dikembangkan.  Namun  hal  ini  merupakan  faktor  yang tidak  dapat  ditampung  oleh  indek  kompetitif  agregatif  dan  perlu  dilihat  dari  persfektif kinerja perusahaan sebagai terlihat dalam bagian sebelumnya. Ada tiga faktor penting untuk memperbaiki daya saing yang kesemuanya berada kekuatan internal  perusahaan  dan  berhubungan  dengan  produktivitas  karena  pada  dasarnya perbaikan  daya  saing  salah  satu  kuncinya  adalah  penurunan  ongkos.  Ketiga  faktor dimaksud adalah (i). adanya inovasi dan perbaikan teknologi yang terus menerus menuju penurunan  biaya;  (ii).  pengembangan  pemanfaatan  teknologi  komunikasi  dan  informasi untuk  meningkatkan  produktivitas  dan  penghematan  waktu;  dan  (iii).  pemanfaatan jaringan  kerjasama  untuk  pengembangan  pasar    secara  meluas.  Ketiga  instrumen  ini menjadi  penting  untuk  meningkatkan  akses  kepada  sumberdaya  produktif  dan  harus dimiliki oleh sebuah perusahaan yang modern meskipun skala kecil. Di samping itu akan mampu mengembangkan pemecahan alternatif karena semakin banyaknya informasi yang dapat dikuasai oleh UKM. Dalam struktur skala perusahaan yang ada di Indonesia maka peran ini pada tahap awal tidak perlu dikerjakan oleh setiap UKM tetapi dapat disediakan oleh lembaga pengembangan usaha dan UKM Maju.

Produktivitas Usaha dan Tenaga Kerja 

Salah  satu  ukuran  kualitas  kelompok  usaha  dalam  sumbangannya  terhadap  produksi nasional  adalah  produktivitas  yang  dapat  diukur  dengan  ukuran  output  per  unit  usaha. Krisis  bukan  hanya  menyebabkan  surutnya  jumlah  perusahaan,  namun  juga  membawa akibat langsung berupa penurunan output perusahaan. Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan  secara  menyeluruh  ini  masih  terjadi  hingga  tahun  1999,  baru  kemudian tumbuh  kembali  selama  tiga  tahun  terakhir.  Demikian  juga  dengan  produktivitas  usaha kecil  yang  terlihat  semakin  tidak  menentu  karena  dalam  tahun  2002  kembali  terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan kembali produktivitas perusahaan pertanian,  pertambangan  dan  galian,  listrik  dan  gas,  bangunan  dan  jasa-jasa.  Sementara sektor  jasa  keuangan  yang  semula  terus  menurun  mulai  menunjukkan  tanda-tanda perkembangan  yang  positif.  Salah  satu  jawaban  terhadap  perkembangan  yang  tidak menggembirakan  ini  adalah  karena  unit  usaha  baru  yang  tumbuh  umumnya  berskala mikro dan berada di sektor dengan produktivitas rendah. Adalah  menarik  jika  diperhatikan  sektor  yang  memiliki  produktivitas  tertinggi  untuk perusahaan  skala  kecil  adalah  sektor  keuangan,  persewaan  dan  jasa  perusahaan yang nilainya delapanpuluh kali produktivitas usaha kecil sektor pertanian atau empatpuluh kali rata-rata produktivitas usaha kecil secara keseluruhan. Gambaran ini menggambarkan dua hal  :  (i).  sektor  pertanian  kurang  berorientasi  nilai  tambah  tetapi  lebih  menekankan produktivitas  fisik  sehingga  menjadi  ekstrim  rendah;  dan  (ii).  sektor  jasa  keuangan, persewaan  dan  jasa  perusahaan  merupakan  sektor  yang  paling  produktif  dan  paling memberikan  sumbangan  positif  bagi  pengembangan  UKM  terutama  usaha  kecil  mikro. Secara empiris cukup banyak bukti yang menunjukkan pentingnya jasa keuangan dan jasa perusahaan yang efisien sebagai faktor penting bagi dukungan pengembangan usaha lebih lanjut.  

Gambaran produktivitas usaha pada perusahaan skala menengah sungguh sangat berbeda di  mana  sektor  pertanian  memiliki  produktivitas  usaha  yang  paling  produktif,  bahkan hampir empat kali rata-rata produktivitas perusahaan skala menengah secara keseluruhan. pada kelompok ini yang kurang produktif adalah sektor jasa-jasa yang memang umumnya belum mapan benar. Agak berbeda dengan kelompok usaha kecil pada  kelompok usaha menengah ini peningkatan produktivitas terasa amat berat kecuali sektor pertanian  yang masih tumbuh positif secara konsisten selama empat tahun terakhir. Jika kita amati kinerja produktivitas  usaha  pada  kedua  kelompok  ini  mengisyaratkan  perlunya  restrukturisasi perusahaan pertanian menuju skala menengah. Hal ini sejalan dengan pemikiran tentang perlunya  peningkatan  kepadatan  investasi  pertanian  untuk  mengejar  keuntungan  usaha pertanian  yang  sesuai  dengan  biaya  oportunitas  dari  tanah  pertanian  yang  harganya semakin meningkat.

Pada  perusahaan  skala  menengah  sektor  jasa  keuangan  tidak  menempati  tempat  teratas, namun masih menempati tempat ketiga setelah sektor angkutan dengan yang masih jauh diatas rata-rata keseluruhan sektor. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan jasa keuangan pada dasarnya tidak selalu dapat memanfaatkan  keuntungan karena skalanya  yang lebih besar, terutama antara skala usaha kecil dan skala usaha menengah. Gambaran ini  akan lebih  lengkap  lagi  jika  kita  kaitkan  dengan  produktivitas  tenaga  kerja  yang mengindikasikan  kemampuan  untuk  mendukung  jaminan  hidup  yang  layak  bagi  pihak yang terlibat dalam kegiatan dimaksud.

Pendekatan Klaster UKM untuk Peningkatan Daya Saing 

Untuk  penciptaan  basis  UKM  yang  kokoh  pendekatan  pengembangan  Klaster Bisnis/Industri  perlu  ditumbuh  kembangkan.  Kehadiran  klaster  yang  senergik  dari kegiatan  hulu  ke  hilir,  atau  antara  kegiatan  inti  (pokok)  dengan  kegiatan  pendukung, penyediaan bahan baku dan outlet pemasaran akan mempercepat dinamika usaha di dalam klaster tersebut, termasuk interaksi dengan usaha besar yang ada di kawasan tersebut atau terkait.  Pendekatan  klaster  ini  pada  dasarnya  untuk  mengefektifkan  pola  pengembangan dengan  menjadikannya  sebagai  titik  pertumbuhan  bagi  bisnis  UKM.  Inti  dari  strategi penciptaan  klaster  yang  terpadu  dan  kokoh  adalah  membangun  suatu  sinergi  untuk mencapai suatu “broad base economic growth” atau pertumbuhan ekonomi dengan basis yang luas.

Dari sisi dukungan yang diperlukan maka prasyarat utama adalah bahwa dalam semangat otonomi  setiap  pemerintah  daerah  harus  memberikan  dukungan  administratif  dan lingkungan kondusif bagi berkembangnya bisnis UKM. Ini menjadi mutlak karena dengan otonomi  daerah,  maka  kewenangan  pengaturan  pemerintahan  dan  pembangunan  secara lokal  berada  di  daerah.  Kebijakan  makro  dan  moneter  secara  nasional  hanya  bersifat memberikan arah dan sinyal alokasi sumberdaya dan kesepakatan internasional terhadap dunia bisnis di daerah. 

Dukungan lain yang penting adalah dukungan non finansial dalam pengembangan bisnis UKM. Sejumlah praktek terbaik dalam persuasi UKM melalui inkubator, kawasan berikat, konsultasi bisnis maupun hubungan bisnis antar pengusaha dalam klaster harus dijadikan pelajaran  untuk  mencari  kesesuaian  dengan  jenis  kegiatan  atau  industri  dan  kultur masyarakat  pengusaha,  termasuk  didalamya  pengalaman  kegagalan  lingkungan  industri yang mencoba memindahkan lokasi untuk penciptaan klaster. Klaster yang inovatif akan tumbuh dengan perkembangan kultur yang mendukung. Dukungan pengembangan bisnis semacam ini harus ditumbuhkan menjadi suatu bisnis yang berorientasi komersial. Dan akhirnya dukungan finansial yang meluas harus didasarkan pada prinsip intermediasi yang  efesien.  Berbagai  lembaga  pembiayaan  yang  sesuai  harus    ditumbuhkan  dan menjangkau klaster-klaster yang telah berkembang, sehingga pilar bagi tumbuhnya bisnis UKM  yang  didukung  oleh  kesatuan  sistem  produksi  dan  keberadaan  bisnis  jasa pengembangan  bisnis  serta  keuangan  menjadi  benar-benar  hadir  di  kawasan  klaster  di maksud.  Lembaga  pembiayaan  dimaksud  dapat  berupa  bank,  lembaga  keuangan  bukan bank dan lembaga-lembaga keuangan masyarakat sendiri (lokal). Dengan  dua  basis  pendekatan  tadi  akan  tercipta  lapisan  pengusaha  yang  dapat  menjadi lokomotif  penarik  bagi  kemajuan  masing-masing  lapisan  pengusaha.  Sasarannya  jelas memperbanyak  pengusaha  mikro  yang  dapat  segera  lepas  dari  tiap  usaha  mikro dan selanjutnya menjadikan klaster sebagai satuan bisnis yang layak dan mampu berkembang (Viable). Persyaratan ini yang harus dipenuhi untuk menjadikan usaha kecil sebagai fotor pertumbuhan. 

Usaha  kecil  dalam  keadaannya  yang  ada  tidak  mungkin  dijadikan  motor  pertumbuhan karena populasi terbesar adalah usaha mikro yang pada intinya hanya bersifat subsisten, kecuali mereka yang sudah tumbuh di dalam suatu klaster. Untuk keluar dari jebakan ini maka  strategi  dasar  adalah  membebaskan  diri  untuk  keluar  dari  usaha  mikro  secara  meluas.  Untuk  pengembangan  usaha  kecil  yang  berdaya  saing  maka  pendekatan  klaster bisnis  usaha  kecil/industri  kecil  dapat  dijadikan  dasar  penciptaan  dinamika  yang  luas bagi penciptaan basis pertumbuhan yang luas (broad base economic growth). Salah  satu  langkah  strategis  yang  dilakukan  dalam  rangka  pemberdayaan  UKM  adalah melalui  pengembangan  sentra-sentra  bisnis,  yang  difasilitiasi  dengan  program-program perkuatan  baik  non  financial  (pembentukan  BDS)  maupun  financial  seperti  melalui perguliran dana MAP. Inilah yang menjadi alasan dilalui hanya program perkuatan sentra bisnis  UKM  melalui  pendekatan  klaster  oleh  BPS-KPKM  sejak  tahun  2001  dan dilanjutkan  oleh  Kementerian  Koperasi  dan  UKM  mulai  tahun  2002  hingga  kini  yang jumlahnya sudah menjangkau 1000 sentra. 

Kewirausahaan : Perbaikan dan Penumbuhan 

Persfektif  kebutuhan  wirausahawan  baru  yang  mendesak  selain  dilihat  dari  kenyataan rendahnya pendirian perusahaan baru dibandingkan dengan besarnya ekonomi dan jumlah penduduk,  juga  didasari  atas  kenyataan  bahwa  lebih  97%  unit  usaha  yang  ada  adalah usaha skala mikro. Ini berarti usaha yang ada di Indonesia dikelola oleh pengusaha dengan kemampuan  pengelolaan  yang  rendah.  Sehingga  persoalan  kebutuhan  wirausaha  bagi Indonesia  mempunyai  sasaran  yakni  mengisi  kebutuhan  perluasan  perusahaan  yang  ada dan kebutuhan untuk mengembangkan wirausaha baru untuk membuat ekonomi Indonesia lebih kompetitif. 

Refleksi di atas terlihat jelas dari kinerja produktivitas perusahaan maupun tenaga kerja di mana sektor keuangan dan jasa perusahaan menampilkan kinerja produktivitas yang tinggi. Faktor penting lain yang menjadi salah satu sebabnya adalah perusahaan yang bergerak di dalam sektor tersebut, terutama jasa keuangan dan jasa perusahaan, dipersyaratkan dalam bentuk badan usaha terutama yang berbadan hukum bagi lembaga keuangan. Mungkin ini relevan  dengan  kebijakam  yamg  diambil  oleh  Perdana  Menteri  Thailand  Thaksin Shinawatra  yang  terkenal  dengan  menjadikan  sektor  informal  menjadi  formal  dalam rangka penciptaan asset. Wirausaha tidak hanya dilahirkan dan ditunggu kelahirannya, oleh karena itu juga dapat di didik  dan  dilatih  untuk  mengembangkan  kemampuan  yang  ada  pada  diri  setiap  orang dalam memecahkan masalah hidupnya. Oleh karena itu aspek pengembangan kecakapan hidup  atau lifeskill  sama  pentingnya  dengan  ilmu  pengetahuan  dan  dalam mengembangkan  wirausaha  baru  aspek  sikap  mental  menjadi  faktor  dominan,  karena hanya  dengan  mengembangkan  sikap  mental  maka  keberanian  dan  kesabaran  serta kesanggupan untuk menghadapi resiko menjadi lebih tinggi. Faktor yang demikian akan akan meningkatkan kemungkinan untuk berhasil bagi seorang wirausaha baru.

Dari  berbagai  praktek  terbaik  yang  mengmbangkan  wirausaha  baru  memang  dapat bermacam-macam cara sesuai dengan sektor kegiatan yang ditekuni dan lingkungan pasar di mana wira usaha baru ingin dikembangkan. Kasus industri elektronik di Korea Selatan dan  Taiwan  menunjukkan  peran  lembaga  inkubasi  bisnis  sangat  dominan,  sementara pengalaman pengem Silicon Valley yang melahirkan Bill Gate dan proses pengembangan IT di India dikenal peran Venture Capital Company sangat penting. Sementara Singapura dan Malaysia memperlihatkan kisah sukses yang lain dengan menampilkan peran lembaga Mentor untuk membantu IKM yang ingin masuk ke dalam venture bisnis baru terutama IT. Kesemuanya  itu  ternyata  sangat  berhubungan  dengan  pilihan  model  kegiatan  yang diperkenalkan,  sehingga  bagi  Indonesia  yang  memberikan  pengertian  UKM  mencakup sektor  yang  luas  instrumen  yang  berhasil  menjadi  praktek  terbaik  tersebut  harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.

Secara  garis  besar  ada  enam  rambu-rambu  dalam  mengembangkan  wirausaha  baru berdasarkan  praktek  terbaik  yang  teruji  secara  internasional  sebagai  berikut  (UNCTAD, 2002). Pertama, pembentukan kerangka kondisi dan lingkungan bisnis  yang baik bagi tumbuhnya wirausaha baru;  Kedua, sistem insentif yang dirancang dengan baik;  Ketiga,intervensi pemerintah yang seminimal mungkin tetapi efektif; Keempat, adanya kerjasama yang  baik  dengan  dunia  perguruan  tinggi;  dan  Kelima,  membangun  perusahaan  swasta untuk  mengembangkan  dan  mengasuh  wirausaha  baru  atau  development  of  private business  to  foster  entrepreneurship.  Dari  kelima  praktek  terbaik  dalam  pembangunan kewirausahaan  tiga  diantaranya  adalah  bersifat  kebijakan  umum  yang  harus  digariskan.

Kerjasama  yang  ideal  dalam  menumbuhkan  wirausaha  adalah  perlunya  kerjasama  yang erat antara perguruan tinggi dan perusahaan swasta, mengingat ke dua lembaga tersebut mempunyai  dua  karakter  yang  saling  melengkapi  yang  diperlukan  untuk  membentuk karakter  wirausaha.  Kombinasi  antara  ciri  mengejar  keuntungan  dan  kepuasan  untuk mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat untuk kemajuan. Kombinasi ke dua lembaga dengan  orientasi  yang  berbeda  dalam  pengalaman  dapat  menghasilkan  sinergi  yang maksimal.  Khusus  dalam  hal  pengembangan  wirausaha  melalui  cara  inkubasi  bisnis kerjasama tiga pihak dalam hal ini didukung oleh intervensi pemerintah yang tepat juga menjadi model terbaik di berbagai negara. 

Hal  yang baru  yang menjadi kepedulian para ahli UNCTAD adalah peran swasta untuk menumbuhkan wirausaha baru. Karena hal ini sangat penting dan sesuai dengan kondisi Indonesia  di  mana  perusahaan  swasta  yang  sukses  pada  dasarnya  dapat  membuka  diri bertindak  sebagai  inkubator  atau  mentor  bagi  pengusaha  baru.  Hal  ini  sekaligus  dapat dilaksanakan  dalam  kaitannya  untuk  memecahkan  masalah  hubungan  perbankan  dan jaminan  pasar  selain  sebagai  tempat  magang  dalam  hal  ketrampilan  teknik  berproduksi dan  kemampuan  manajerial.  Oleh  karena  itu  dorongan  kepada  perusahaan  swasta  yang berhasil  untuk  dapat  menjadi  lembaga  pengembangan  wirausaha  baru.  Dorongan  untuk memanfaatkan perusahaan swasta yang berhasil bagi penumbuhan wirausaha baru diduga juga  berkaitan  dengan  semakin  kuatnya  temuan  dan  pengalaman  praktis  yang menyebutkan sumber pembiayaan bagi usaha kecil  yang baru di luar modal sendiri dan keluaraga berasal dari apa yang disebut dengan angle capital yang berhasil diadakan atau diatur oleh pihak tertentu (UNCTAD, 2002). Sehingga apabila perusahaan swasta bersedia menjadi  orangtua  asuh  bagi  pengusaha  baru  dapat  memainkan  peran  penyedian  modal serupa dan melalukan pemindahan ke dalam portofolio pembiayaan bank karena mereka telah mendapat kepercayaan.

Akhirnya segenap praktek terbaik yang telah digambarkan di muka dalam menumbuhkan wirausaha  baru  diperlukan  komitmen  untuk  melaksanakannya.  Jika  sasaran  kebutuhan wirausaha  baru  telah  menjadi  kebutuhan  kita,  maka  yang  diperlukan  program  aksi  pada tingkat  daerah.  Program  aksi  dimaksud  dapat  diterjemahkan  dalam  tingkat  yang  paling bawah  bahwa  setiap  enam  orang  penduduk  perlu  memiliki  seorang  pengusaha  yang bergerak  di  luar  kegiatan  pertanian  dalam  arti  sempit  (kurang  berorientasi  komersial). Atau  setiap  desa  harus  melahirkan  pengusaha  baru  seorang  sebulan,  bukankah  ini tantangan yang berat? Ke depan Indonesia menghadapi persoalan mendesak dalam menumbuhkan usaha baru untuk  memungkinkan  dukungan  bagi  pemulihan  ekonomi  dan  keikutsertaan  dalam pasaran global. Salah satu elemen terpenting bagi tumbuhnya usaha baru yang produktif adalah  tersedianya  wirausaha  baru  yang  cukup  banyak.  Hal  ini  dimungkinkan  apabila terdapat lingkungan yang kondusif, intervensi pemerintah yang tepat dan sistem insentif yang  sesuai.  Namun  yang  lebih  penting  adalah  menumbuhkan  kerjasama  perguruan tinggi  dan  perusahaan  dalam  pengembangan  wirausaha  serta  kesediaan  perusahaan swasta  menjadi  orang  tua  asuh  bagi  wirausaha  baru  dalam  skema  jasa  pengembangan bisnis.  Sektor  jasa  keuangan  dan  jasa  perusahaan  mempunyai  posisi  strategis  untuk didorong pengembangannya sejalan dengan semangat desentralisasi.

Posisi Strategis Sub-Sektor Jasa Perusahaan 

Pengalaman perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan skala kecil dan menengah selama krisis memberikan dukungan terhadap pilihan strategi yang pernah dirumuskan oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah  (BPS-KPKM)  pada  tahun  2001  yang  menekankan  pada  perkuatan  dukungan pengembangan  (development supports) pada titik-titik pertumbuhan UKM  (sme-clusters)dengan  konsep  pasar.  Karena  sektor  yang  produktif  dan  menyediakan  jasa  bagi pengembangan usaha untuk para pengusaha kecil dan menengah akan menjadi pendorong bagi perbaikan produktivitas UKM di sektor yang telah berhubungan dengannya. Secara khusus  dukungan  pengembangan  yang  diidentifikasi  oleh  BPS-KPKM  adalah  jasa pengembangan  usaha  yang  terdiri  dari  jasa  konsultan  teknologi,  manajemen  dan pemasaran  oleh  lembaga  penyedia  BDS  (Business  Development  Services)  serta  jasa perusahaan  lainnya  yang  diperkuat  oleh  lembaga  keuangan  mikro  untuk  menjembatani menuju pelayanan lembaga keuangan/perbankan modern. Bahkan ketika itupun referensi secara  internasional  baru  menempatkan  klaster  sebagai  pengalaman  pengembangan industri yang baik untuk dipertimbangkan (UNCTAD, 1999). 

Kunci penggerak untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dalam melaksanakan strategi  dimaksud  adalah  sub-sektor  jasa  perusahaan  yang  tergabung  di  dalam  sektor keuangan  persewaan  dan  jasa  perusahaan.  Sub-sektor  ini  mempunyai  sumbangan  yang penting  dalam  pembentukan  PDB  (1,30-2,00%)  dan  kualitas  nilai  tambah.  Kinerja  ini menonjol  karena  kandungan  IPTEK  dan Good  Corporate  Governance  yang  tinggi dibanding  sektor  lain  kecuali  sub-sektor  jasa  keuangan.  Sub-sektor  jasa  perusahaan memang masih jauh dari perhatian kita dalam pengembangan UKM. Padahal produk jasa yang  dihasilkan  adalah  vital  bagi  kemajuan  perusahaan  dan  pengembangan  hubungan bisnis baik lokal maupun internasional. 

Kegiatan yang termasuk dalam sub-sektor jasa perusahaan antara lain : Jasa Konsultasi Piranti Keras; Jasa Konsultasi Piranti Lunak; Pengolahan Data; Perawatan Reparasi Mesin Kantor, Komputer, dll; Penelitian dan Pengembangan; Rekayasa Teknologi; Jasa Hukum; Jasa Akuntansi dan Perpajakan; Jasa Riset Pemasaran; Jasa Konsultasi Bisnis dan Manajemen; Jasa Konsultasi Enginering Dll; Analisis dan Testing; Jasa Periklanan; Seleksi Tenaga Kerja; Fotocopy dll.  

Posisi  penting  sektor  jasa  keuangan,  persewaan  dan  jasa  perusahaan  untuk  peningkatan produktivitas  dapat  dilihat  dari  berbagai  persfektif.  Ciri-ciri  yang  dimiliki  oleh  kegiatan yang ada di dalam sub-sektor ini yaitu  : 

  1. Harus memenuhi persyaratan legal (badan hukum, ijin, persyaratan teknis); 
  2. Di kelola oleh kelompok profesional; 
  3. Interaksi dengan dunia bisnis yang luas; 
  4. Kandungan IPTEK tinggi; 
  5. Terbiasa dengan hubungan kontraktual yang lugas; 
  6. Relatif lebih transparan di banding kelompok lain; 
  7. Adanya  pengawasan  dari  luar  yang  kuat  baik  oleh  sistem  pengawasan  intern  dan ekstern maupun oleh pengguna jasa.
Kebijakan Pembiayaan dan Perbankan 

Modal adalah penting tetapi bukan segalanya! Itulah ungkapan yang selalu dinasehatkan oleh para ahli yang meneliti pembiayaan bagi para pengusaha. Sebaiknya setiap kali kita melakukan interview  kepada  pengusaha  terutama  pengusaha  kecil  jawabnya  pasti kekurangan  modal,  sehingga  usahanya  tidak  maju.  Gambaran  menjadi  lain  pula  ketika membaca berita di media masa bahwa dana sedang berada di perbankan sangat besar dan penyediaan kredit bagi pengembangan usaha tersedia. Jika dari biasanya yang sebenarnya terjadi? Untuk memahami persoalan ini kita perlu melihat pembiayaan usaha bagi para pengusaha. Pada dasarnya pemberdayaan usaha oleh pelaku ekonomi lapis bawah memang bertumpuh pada kemandirian dan kekerabatan, kemudian pada tahap berikutnya secara kelembagaan yang masih bersifat lokal dan imformal. Namun di masa lalu juga terdapat lembaga formal pada tingkat desa yang merupakan bagian penting dari pemberdayaan bagi ekonomi lapis bawah  di  pedesaan  yang  melekat  pada  pemerintahan  di  desa.  Kemudian  pada  tahap berikutnya masuklah pasar keuangan pedesaan melalui koperasi, program pemerintah dan perbankan.

Mengutip  laporan  BPS  Dibyo  Prabowo menegaskan  kembali  bahwa  35,10%  UKM menyatakan  kesulitan  permodalan,  kemudian  diikuti  oleh  kepastian  pasar  25,9%  dan kesulitan  bahan  baku  15,4%.  Jika  kita  ikuti  jawaban  tersebut  sebenarnya  kesulitan permodalan  adalah  resultante  dari  kesulitan  mendapatkan  kepastian  pasar  karena ketidakmampuan  menjamin  kepastian  produksi.  Oleh  karena  itu  pemecahan  masalah pembiayaan  UKM  tidak  sebatas  masalah  kekurangan  modal,  sehingga  diperlukan pemecahan yang komprehensif. Hal yang mungkin agak kurang dipahami adalah praktek terbaik dimanapun pembiayaan usaha, terutama pemula, selalu didahului dengan sumber modal  sendiri  atau  modal  keluarga  atau  jika  tidak  bersumber  dari  angle  Capital18 yang dasarnya  adalah  kepercayaan  dan  kegigihan  si  pelaku.  Dalam  hal  demikian  sebenarnya yang  harus  juga  menjadi  perhatian  kita  adalah  usaha  yang  menyediaakan  jasa  untuk memecahkan  pembiayaan  usaha  kecil  hingga  sampai  pada  perbankan.  Pembiayaan  bagi UKM di negara berkembang pada umumnya masih diharapakan dari perbankan.

Di  sisi  lain  perubahan  paradigma  pemberian  dukungan  pembiayaan  UKM  dari  kredit program  kepada  mekanisme  pasar  jasa  keuangan  akibat  perubahan  UU  23/1999  tentang Bank Indonesia dan berbagai rencana program pemulihan ekonomi yang tercantum dalam nota kesepakatan dengan IMF telah memberikan pelajaran baru. Sejak akhir 1999 semua kredit  program  dihentikan,  sehingga  Pemerintah  mengubah  dukungannya  dari memberikan  subsidi  dan  penjaminan  pada  kredit  program  sektoral  perbankan  (seperti BIMAS, KKPA dll.) menjadi dukungan perkuatan LKM terutama KSP/USP sejak tahun 2002  sebagai  mekanisme  fiskal  biasa.  Hal  ini  diharapkan  relatif  tidak  menimbulkan distorsi  pasar  keuangan  mikro  kecuali  hanya  memperkuat  para  pelaku  untuk  semakin kompetitif  dan  memperluas  jangkauan  Meskipun  stimulan  fiskal  untuk  LKM  ini  baru menjangkau  sekitar  15-20  persen  LKM,  namun  telah  mendorong  tumbuh  kembangnya kekuatan kredit mikro non bank. Sebagai pelaku mereka termasuk dalam sektor keuangan. Apabila  perkembangan  ini  menjadi  instrumen  perkuatan  yang  efisien,  maka  instrumen fiskal  untuk  perkuatan  LKM  akan  terbukti  lebih  efektif  disertai  dengan  tingkat  distorsi yang rendah sehingga dapat menjadi pilihan baru bentuk intervensi yang ramah pasar. 

Secara  garis  besar,  kebijakan  perbankan  terdiri  dari:  (1) program  penyehatan perbankan,  meliputi  penjaminan  pemerintah  bagi  bank  umum  dan  BPR,  rekapitalisasi bank  umum  dan  restrukturisasi  kredit  perbankan;  (2)  pemantapan  ketahanan  sistem perbankan  yang  meliputi  pengembangan  infrastruktur  perbankan,  peningkatan  good corporate  governance  dan  penyempurnaan  pengaturan  dan  pemantapan  sistem pengawasan  bank;  (3)  upaya  pengembangan  UMKM  dalam  rangka  pemulihan  fungsi intermediasi perbankan.

Berdasarkan  Laporan  Perekonomian  Bank  Indonesia  tahun  2003,  peran  Bank  Indonesia dalam  pengembangan  UMKM  dilakukan  dengan  tiga  pendekatan,  yaitu:  (1)  kebijakan kredit  perbankan;  (2)  pengembangan  kelembagaan;  dan  (3)  pemberian  bantuan  teknis. Keterbatasan UMKM dalam memperoleh pelayanan kepada sektor perbankan merupakan salah  satu  kendala  belum  optimalnya  fungsi  intermediasi  perbankan.  Menyikapai  hal tersebut, selama tahun 2003, upaya yang ditempuh Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM  lebih  ditekankan  pada  upaya  peningkatan  akses  UMKM    kepada  sektor perbankan.  Melalui  pendekatan  kebijakan  kredit,  upaya  yang  dilakukan  Bank  Indonesia antara  lain  dengan  senantiasa  mendorong  bank  umum  dan  BPR  untuk  meningkatkan penyaluran kredit UMKM sesuai dengan rencana bisnis masing-masing bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Pada pendekatan  kelembagaan,  salah  satu  upaya  BI  dalam  mencari  solusi  bagi peningkatan  fungsi  intermediasi  perbankan  dan  pemulihan  sektor  riil  dilakukan  dengan menyelenggarakan  Forum  Dialogis  Kawasan  Barat  Indonesia  (FD-KBI)  pada  21-23 Pebruari  2003  di  Sumatera  Barat.  Forum  tersebut  merupakan  pertemuan  tripartit  antara pemerintah,  perbankan  dan  pelaku  usaha,  serta  merupakan  rangkaian  kegiatan  yang diselenggarakan  di  Kawasan  Timur  Indonesia  (KTI)  pada  8-11  November  2002  di Sulawesi Selatan. 

Salah  satu  rekomendasi  dan  solusi  yang  dihasilkan  dalam  FD-KBI  adalah  upaya pemanfaatan  dan  pengembangan  lembaga  penjaminan  kredit  untuk  mengatasi permasalahan  yang  dihadapi  nasabah  UMKM  yang  relatif  tidak  atau  kurang  bankable, meskipun  memiliki  usaha  yang  layak.  Kemudian  di  ikuti  dengan  seminar  dan  diskusi terfokus  mengenai  lembaga  penjamin  kredit,  dan  dihasilkan  rumusan  penting yaitu  ”pemberdayaan  dan  penguatan  lembaga  penjamin  kredit  yang  telah  ada,  yang didukung oleh perangkat hukum yang memadai. 

Disamping  itu,  Bank  Indonesia  juga  terus  menyelenggarakan  bazar  intermediasi  yang bertujuan untuk mempertemukan bank dengan UKM. Untuk mendukung pengembangan UMK, BI memperluas perannya dalam pemberian bantuan teknis yang selama ini hanya diberikan kepada bank. Upaya tersebut dirumuskan dalam PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang pemberian  bantuan  teknis  dalam  rangka  pengembangan  UMK  yang  menekankan  pada upaya  mengatasi  keterbatasan  kemampuan  aksesabilitas  UMK  ke  lembaga  keuangan, khususnya perbankan. 

Lembaga Keuangan Mikro 

Selama  ini  berbagai  upaya  untuk  mendorong  produktivitas  oleh  kelompok  ini,  nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak  terlepas  dari  keberadaan  Lembaga  Keuangan  yang  hadir  ditengah  masyarakat. Lingkaran  setan  yang  melahirkan  jebakan  ketidak  berdayaan  inilah  yang  menjadikan alasan  penting  mengapa  lembaga  keuangan  mikro  yang  menyediakan  pembiayaan  bagi usaha  mikro  menempati  tempat  yang  sangat  strategis.  Oleh  karena  itu  kita  perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak. 

Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga hanya 12 %  UKM akses terhadap kredit bank karena :  
  1. Produk bank komersial tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM.
  2. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM.
  3. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi.
  4. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal, dll).
  5. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity.
  6. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien.
  7. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UKM mahal.
  8. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.
Secara  singkat  kredit  perbankan  diselenggarakan  atas  pertimbangan  komersial  membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya. Indonesia  memiliki  sejarah  panjang  dan  kaya  akan  ragam  model  pembiayaan  mikro. Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga pelaksananya,  bahkan  juga  sejarah  pengenalannya  kepada  masyarakat.  Oleh  karena  itu kekayaan  ini  tidak  bakal  dibiarkan  begitu  saja  dan  disia-siakan  untuk  tidak  diberikan tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi. 

Memang  disadari  bahwa  pengertian  kredit  mikro  dapat  diartikan  bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam  ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri  segmentasi pasar  yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan  bagi  penetapan  kebijakan  sesuai  kelompok  sasaran  yang  hendak  dituju. Demikian  latar  belakang  program  pengenalannya  juga  sangat  terkait  dengan  munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan kecil. 

Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai  kelompok  sasaran  berdasarkan  tingkat  pendapatan  dan  bahkan  dapat  sangat terkait  dengan  penggunaan  kredit.  Pendekatan  ini  sekaligus  untuk  memahami  dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.

Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan  kredit  konsumtif.  Untuk  melihat  sejauh  mana  sektor-sektor  ekonomi  produktif  memberikan  tanda  adanya  permintaan  pasar  yang  kuat  perlu  dikaji  struktur  ekonomi masing-masing  sektor  berdasarkan  atas  pelaku  usaha,  disamping  itu  juga  kaitan  dengan sasaran  ekspor  dan  tersedianya  dana  sendiri  oleh  para  pelaku  usaha.  Ciri  pasar  kredit mikro adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro. 

Berdasarkan  nilai  kredit  maka  besarnya  kredit  yang  tergolong  ke  dalam  kredit  mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah dapat digolongkan kedalam kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan  internasional  kredit  mikro  dapat  mencapai  maksimum  US  $  1000,-.  Di Thailand  baru  dalam  taraf  pilot  project  oleh  Bank  for  Agriculture  and  Agricultural Cooperative  (BAAC)  menetapkan  kredit  mikro  adalah  kredit  dengan  jumlah  maksimum Bath  100.000/nasabah  atau  setara  dengan  US  $  2.500,-.  Dengan  demikian  kredit  mikro pada  dasarnya  menjangkau  pada  pengusaha  kecil  lapis  bawah  yang  memiliki  usaha dengan perputaran yang cepat.

Lembaga  perkreditan  mikro  di  Indonesia  pada  dasarnya  ada  dua  kelompok  besar  yakni Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan  kelompok  yang  Kedua  adalah  koperasi,  baik  koperasi  simpan  pinjam  yang  khusus melayani  jasa  keuangan  maupun  unit  usaha  simpan  pinjam    dalam  berbagai  macam koperasi.  Disamping  itu  terdapat  LKM  lain  yang  diperkenalkan  oleh  berbagai  lembaga baik  pemerintah  seperti  Lembaga  Kredit  Desa,  Badan  Kredit  Kecamatan  dan  lain-lain, maupun  swasta/lembaga  non  pemerintah  seperti  yayasan,  LSM,  dan  LKM  lainnya termasuk lembaga keagamaan. 

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa : 
  1. Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM).
  2. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM).
  3. Mandiri dan mengakar di masyarakat.
  4. Jumlah cukup banyak dan penyebaran nya meluas.
  5. Berada  dekat  dengan  masyarakat,  dapat  menjangkau  (melayani)  anggota  dan masyarakat.
  6. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya (tanpa agunan).
  7. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin.
  8. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders).
  9. Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan;
  10. LKM  dimiliki  sendiri  oleh  masyarakat  sehingga  setiap  surplus  yang  dihasilkan  oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil karena merupakan sumber pembiayaan  yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan pelayanannya  sampai  ke  pelosok  tanah  air  dengan  tingkat  bunga  pasar  dan  tidak  ada memerlukan  subsidi.  Disamping  itu  secara  empiris  tingkat  pengembalian  baik,  mutu pelayanan  lebih  penting  dan  mengenal  orang  dan  memahami  nasabah  serta  cash  flow sebagai  pengganti  kollateral  phisik.  Pendekatan  kelompok  juga  terbukti  efektif  sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran. 

Lembaga  keuangan  mikro  lainnya  yang  akhir-akhir  ini  tumbuh  pesat  adalah  lembaga keuangan  syariah  yang  penyelenggaraannya  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  syariat  Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM) yang  dikembangkan  oleh  Baitul  Mal  Muhammadiyah  dan  Koperasi  Syirkah  Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang. 

Bentuk  lain  kredit  mikro  yang  diakui  keberhasilannya  oleh  dunia  adalah  pola  Grameen Bank  yang  dirancang  untuk  memecahkan  Perkreditan  bagi  keluarga  miskin.  Modal  ini terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin di  Bangladesh,  sehingga  dianggap  sangat  sesuai  untuk  memecahkan  penyediaan  modal bagi  penciptaan  kegiatan  produktif  untuk  penduduk  miskin.  Mat  Syukur  (2001)  dalam hasil  studinya  mengemukakan  bahwa  Karya  Usaha  Mandiri  (KUM)  yang  merupakan reflikasi gremeen bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran, namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit mikro lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model  yang tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.

Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the world,  maka  Grameen  Bank  adalah  The  Best  Social  Banking  System,  perbedaannya terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha secara komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan BRI-Unit.  Sementara  Grameen  Bank  terletak  pada  kemampuannya  untuk  menjangkau masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa serta  memanfaatkan  mekanisme  perbankan  yang  biasa,  meskipun  akhirnya  juga dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar kedua setelah BRI-Unit, struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, oleh karena itu daya dobraknya tidak  dapat  kelihatan  meluas  dan  terkesan  kurang  produktif. Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup luas karena : 
  1. Usaha  mikro  dan  kecil  belum  seluruhnya  dapat  dilayani  atau  dijangkau  oleh  LKM yang ada;
  2. LKM berada di tengah masyarakat;
  3. Ada  potensi  menabung  oleh  masyarakat  karena  rendahnya  penyerapan  investasi didaerah, terutama di pedesaan;
  4. Dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank :
  1. Tidak memiliki persyaratan yang memadai;
  2. Tidak memiliki agunan yang cukup;
  3. Biaya transaksinya mahal/tinggi;
  4. Lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya.
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan  segmennya  bermacam-macam.  Hal  ini  mengingat  sebagian  besar  kelompok  usaha mikro  belum  dapat  dilayani  oleh  bank.  Kelompok  peminjam  tersebut  meliputi  usaha produktif  masyarakat  yang  memiliki  perputaran  usaha  tinggi  dan  dipergunakan  untuk memenuhi kebutuhan modal kerja.

Arah dan Strategi Pengembangan LKM 

Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi  keterbatasan  sumberdaya  manusia,  manajemen  yang  belum  efektif  sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan  monitoring  yang  belum  efektif,  pengalaman  yang  lemah  serta  infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap  usaha  mikro  masih  belum  mampu  menjangkau  secara  luas,  sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui : 
  1. Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
  2. Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
  3. Penggalangan  partisipasi  berbagai  pihak  dalam  pembiayaan  UKMK  (Pemda,  Laur Negeri, dll);
  4. Optimalisasi  pendayagunaan  potensi  pembiayaan  UKMK  di  daerah  (Bagian  Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
  5. Peningkatan Capacity Building LKM;
  6. Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
  7. Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
  8. BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat,  kuat,  merata  dan  mampu  menyediakan  kebutuhan  pembiayaan  usaha  mikro  dan kecil  agar  mampu  menghadapi  tantangan  untuk  melaksanakan  otonomi  daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen),  meningkatkan  kompetensi  dan  profesionalisme  pengelola  KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota,  meningkatkan  jumlah  produk  keuangan  yang  didukung  dengan  pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring : 
  1. Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
  2. Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.
Dalam  memperkuat  USP/KSP  ke  depan  paling  tidak  ada  tiga  langka  yang  harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera  diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara  utuh, sehingga peminjaman dan  penyaluran  dana  antar  KSP  dapat  terjadi  dan  berjalan  efektif; Ketiga,  perlu dikembangkan  sistem  asuransi  tabungan  anggota,  asuransi  resiko  kredit  serta  lembaga keuangan  pendukung  lainnya.  Disamping  itu  mekanisme  pengawasan  yang  baik  dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.

Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan  Modern/berpengalaman  dalam  hal  ini  bank  akan  memperkuat  kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.  

Berbagai  dukungan  perkuatan  seperti  perkuatan  permodalan  :  P2KER  (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan  Subsidi  BBM,  MAP  (Modal  Awal  dan  Padanan)  akan  terus  diupayakan, pengendalian  (monitoring,  evaluasi,  pengawasan,  penilaian  kesehatan)  LKM  juga  akan terus  dikembangkan,  pengembangan  pola  dan  lembaga  penjaminan  lokal  serta pengembangan  biro  kredit,  informasi  kinerja  UMK  di  masa  lalu  (track  record). Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan : 
  1. Mengatasi status legal agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
  2. Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
  3. Pengembangan  jaringan  melalui  penumbuhan  lembaga  keuangan  sekunder,  jaringan on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal. 
Dengan demikian pelayanan  yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro  yang luas akan  membawa  pasar  keuangan  lebih  bersaing,  sehingga  ketergantungan  usaha  mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha  Kecil  (PINBUK),  serta  model  Baitul  Tamwil  Muhamadiyah  (BTM),  Koperasi Pondok  Pesantren,  Koperasi  Syirqoh  Mu’awanah  dan  Lembaga  Pengelolah  Zakat  yang mengembangkan  program  ekonomi  produktif  bagi  penerima  zakat  ini  akan  berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri. 

Posisi  LKM  dalam  pemberdayaan  UKM,  terutama  usaha  mikro  sangat  strategis  karena 97%  usaha  kecil  adalah  usaha  mikro  yang  belum  terjangkau  pelayanan  perbankan. Perkuatan  LKM  selain  menyangkut  dengan  lemahnya  SDM  juga  tidak  adanya  jaringan yang  memungkinkan  terjadinya  inter  lending.  Disamping  itu  pengembangan  UKM memerlukan  kehadiran  lembaga  pendukung  agar  posisi  LKM,  penabung  dan  peminjam terlindungi  dari  berbagai  resiko.  Lembaga  keuangan  mikro  dapat  didudukkan  sebagai energi  pemberdayaan  UKM,  terutama  untuk  pembentukan  proses  nilai  tambah  dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.

Lembaga Keuangan Syariah 

Pada dasarnya perbuatan muamalat yang ditujukan untuk kebaikan hubungan berekonomi sesama  manusia  harus  mengandung  ciri  untuk  kemaslahatan  umum.  Oleh  karena  itu seharusnya  kita  melihat  kehadiran  sistem  syariah  dalam  transaksi  antar  individu  dan lembaga  harus  kita  tempatkan  dalam  kontek  pasar,  yaitu  karena  adanya  kebutuhan  dan ketersediaan  serta  dipilih  atas  dasar  pertimbangan  rasional  dan  moral  untuk  mencapai kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Karena perekonomian syariah dilandasi atas prinsip  kesempurnaan  kehidupan  diantara  kebutuhan  lahiriah  dan  rohaniah  dalam bertransaksi sesama hamba Allah maupun lembaga yang mereka buat, maka kerelaan atau “ridho” menjadi fundamen dasar setiap transaksi dua pihak atau lebih. 

Perdebatan ekonomi syariah sering dipersempit dalam konteks pada “bunga bank” sebagai riba atau bukan, sementara dimensi lain selain “riba” kurang diberikan pembahasan secara seimbang.  Selain  “riba”  terdapat  dua  aspek  penting  yakni  unsur  ada  tidaknya  judi  atau “maisir” yang sangat berkaitan dengan aspek resiko dan ketidakpastian serta ada tidaknya unsur kecohan (tipuan) yang dikenal sebagai hal yang mengandung unsur “gharar”. Ketiga unsur  yang  menjadi  dasar  perbuatan  transaksi  atau  “baia”  mempunyai  arti  yang  penting untuk  menilai  subtansi  suatu  transaksi  dapat  digolongkan  memenuhi  syarat  syariah  atau tidak. 

Pengkajian  ekonomi  syariah  secara  umum  masih  didominasi  oleh  kupasan  dari  dimensi “fiqih”  dan  ”administrasi  pembangunan”  bukan  kupasan  ilmu  ekonomi  dan  nilai  subtansi ajaran islam dalam menjelaskan perilaku individu muslim sebagai pelaku ekonomi. Padahal beberapa  kajian  empiris  oleh  para  ahli  ekonomi  juga  telah  banyak  menemukan  adanya perbedaan  perilaku  masyarakat  muslim  yang  tercermin  dalam  tingkah  laku  ekonominya (Metwali).  Tantangan  besar  bagi  para  ekonom  adalah  terus  mengkaji  kedudukan  moral ekonomi islam  atau sistem ekonomi syariah dan  bagaimana interaksi dengan sistem  yang lain dalam dunia global.

Apabila  kita  simak  secara  mendalam  ajaran  berekonomi  dalam  Al-qur’an  dilandasi  oleh suatu sikap bahwa tiada pemisahan antara ekonomi dan keberagamaan seseorang. Mencari nafkah adalah bagian dari ibadah dan tiada pemisahan antara agama dan kehidupan dunia. Dari titik tolak ini akan melahirkan dua konsekuensi yaitu : pertama, perlunya pembentukan sikap oleh  seorang individu akan  penguatan  hidup dan  pencarian  kebaikan di dunia  atau dalam hubungannya dengan bumi dan alam; kedua, soal pemilihan pribadi, sampai dimana batas dan tujuannya. Konsekuensi dasar pertama memerlukan pada sikap keharusan hidup bersahaja  yang menjadi dasar hidup seorang muslim untuk menghindari sikap hidup yang boros  dan  bermewah-mewahan.  Dengan  demikian  prinsip  kemanfaatan  didasarkan  atas pemenuhan kesejahteraan lahiriyah dan rohhaniah.

Jika prinsip ekonomi syariah sebagai dasar muamalat, maka seharusnya kita jangan buru-buru terpaku pada institusi. Institusi dengan berbagai karakter dan prinsip yang mengawal.

Kesimpulan

Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan  secara  menyeluruh membawa akibat secara langsung berupa penurunan output perusahaan  Demikian  juga  dengan  produktivitas  usaha kecil  yang  terlihat  semakin  tidak  menentu  karena  dalam  tahun  2002  untuk kesekian kalinya kembali terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan adalah produktivitas perusahaan pertanian,  pertambangan  dan  galian,  listrik  dan  gas,  bangunan  dan  jasa-jasa. Kondisi tersebut telah menggerakkan pengembangan KSP dan LKM yang diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat,  kuat,  merata  dan  mampu  menyediakan  kebutuhan  pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi  tantangan  untuk  melaksanakan peningkatan produktivitas usaha. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme  pengelola  KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan.

Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan  segmennya  bermacam-macam.  Hal  ini  mengingat  sebagian  besar  kelompok  usaha mikro  belum  dapat  dilayani  oleh  bank.  Kelompok  peminjam  tersebut  meliputi  usaha produktif  masyarakat  yang  memiliki  perputaran  usaha  tinggi  dan  dipergunakan  untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Dengan demikian pelayanan  yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas diharapkan dapat membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga  ketergantungan  usaha  mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan.

Daftar Pustaka
  • A.R.  Karseno  Universitas Gadjah  Mada  yang  berjudul  “Pengaruh  3  Pranata  (Institusi)  pada  penerapan  teori  economic  Neo-klasik, tanggal 7 Pebruari 2004.
  • Dibyo Prabowo : Developent of Small and Medium-sized Enterprise, makalah pada seminar The Tokyo seminar on Indonesia 25-26 Agustus 2004 di Tokyo Jepang.
  • Stillman, Robert D ; Equity Financing for Technology, makalah pada Expert meeting on improving the competitiveness of SME through enhancing productive capacity : financing for technology 28-30 october 2002.
  • Lian, Daniel, Capital Creation-The Next Step Up ?, dalam Thailand Economics, Januari 16, 2003.
  • Soetrisno, Noer : Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial, STEKPI, Jakarta, Indonesia 2003.
  • Adiningsih, Sri, The Indonesia Business Rop in AFTA, Indonesia Business Perspective, Volume V,  No. 3, PT. Harvest International Indonesia, March, 2003, hal 20.
  • Mubyarto, Pemberdayaan ekonomi rakyat dan peranan ilmu-ilmu sosial, BPFE, Yogyakarta 2001 hal 31.
  • Neher, Philip A : Economic Growth and Development : A Mathematical Introduction, John Wiley & Sons, Inc, New York, Hal 207-255.
  • Hadi  Soesastro  ,  M.  N  Haidi  A.  Pasay  dan  Julius  A.  Mulyadi  :  Pertumbuhan  Ekonomi,  Perubahan Struktural dan Perilaku Konsumen, Jurnal Ekonomi Indonesia, Agustus 1996.
Baca Selanjutnya - Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia