Kategori
- Jurnal (2)
- Laporan Penelitian (8)
- Majalah Ilmiah (13)
Arsip Blog
Entri Populer
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 2 No. 3, 1 September 2011 Hal : 89-103 Lisda Rahmasari Fakultas Ekonomi, Universita...
-
Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM (ISSN : 1412-6828) Volume X, Nomor 1 September 20011 (Halaman 1-11) Lisda Rahmasari SE,MM Staf Pe...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 2 No. 1, 1 Januari 2011 Hal : 57-67 Lisda Rahmasari Fakultas Ekonomi Universitas AKI...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 2 No. 3, 1 September 2011 Mariana Kristiyanti Fakultas Ekonomi, Universitas AKI Abs...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 1 No. 3, 1 September 2010 Hal : 1-16 Mariana Kristiyanti Fakultas Ilmu Komputer Univer...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 2 No. 2, 1 Mei 2011 Hal : 65-74 Lisda Rahmasari Fakultas Ekonomi Universitas AKI Ab...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 1 No. 3, 1 September 2010 Hal : 56-68 Lisda Rahmasari Fakultas Ekonomi Universitas ...
-
Ana Wahyuni Fakultas Ilmu Komputer Universitas AKI Abstract Cryptosystem is a cryptographic system, that is science and art to maintain th...
-
Jutono Gondohanindijo Fakultas Ilmu Komputer Universitas AKI Abstract RFID is a compact wireless technology that utilizes radio frequency ...
-
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413) Volume 2 No. 1, 1 Januari 2011 Hal 1-13 Mariana Kristiyanti Fakultas Ilmu Komputer, Univers...
User Login
|
Kamis, 01 September 2011
Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir
Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM (ISSN : 1412-6828)
Volume X, Nomor 1 September 20011 (Halaman 1-11)
Baca Selanjutnya - Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir
Volume X, Nomor 1 September 20011 (Halaman 1-11)
Lisda Rahmasari SE,MM
Staf Pengajar UNAKI Semarang
ABSTRAK
Pemanasan global yang terjadi menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya laut dan pesisir .Penulisan ini bertujuan untuk mengembangkan strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global . Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Dari beberapa literature hasil penelitian dan hasil wawancara secara mendalam dengan masyarakat pesisir menunjukkan bahwa strategi adaptasi sangat efektif untuk mengurangi masalah yang terjadi pada masyarakat pesisir akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi tersebut meliputi strategi adaptasi fisik, , adaptasi sosial ekonomi dan adaptasi sumberdaya manusia baik secara proaktif dan reaktif.
Kata Kunci : Strategi Adaptasi fisik ,Adaptasi Sosial Ekonomi dan Adaptasi Sumberdaya Manusia
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dampak perubahan iklim global (global climate change) terhadap planet bumi dan kehidupan manusia sebenarnya sudah mulai nampak sejak lima puluh tahun terakhir. Berdasarkan data 1970 – 2004 yang dikumpulkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, bahwa suhu bumi mengalami peningkatan rata-rata 0,20 C per tahun. Periode tahun 2001 – 2010 tercatat sebagai periode sepuluh tahun terpanas sejak pertama kali pencatatan cuaca dilakukan pada 1850. Demikian juga halnya dengan suhu lautan yang turut memanas sejak pertengahan abad-20, sehingga menyebabkan mencairnya raksasa gunung es secara masif di Lautan Artik (Kutub Utara) dan di Lautan Antartika (Kutub Selatan), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan permukaan laut dari -20 cm pada 1950 menjadi +5 cm pada tahun 2000. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kenaikan permukaan air laut memperlihatkan bahwa aspek mata pencaharian (infrastruktur) masyarakat merupakan hal yang akan terpengaruh oleh perubahan lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah pengaruh dari perubahan muka air laut terhadap aspek tempat tinggal/hunian masyarakat. Selain naiknya permukaan air laut, kerusakan yang terjadi akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan (Chen, 2008).
Perubahan iklim juga menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir (Miller, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas melaut para nelayan, bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir. Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi masyarakatnya.
Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
1.2 Perumusan Masalah
Dampak perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) . Pada kondisi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh masyarakat (khususnya yang tinggal di kawasan pantai) agar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kondisi lingkungan yang baru, akan menjadi issue penting lain yang harus dicermati dengan baik sehingga mereka dapat memperbaiki kondisi ekonominya.
II. PEMBAHASAN
2.1 Masyarakat Pesisir
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah–daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Syarif ,2008).
Secara umum, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai terdiri atas kelompok masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya secara langsung atau tidak langsung dari sumber daya pantai/laut dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai. Pada kelompok yang menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya laut/pantai, berdasarkan lokasi kegiatannya, dapat dibedakan dua kelompok yaitu kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di laut lepas (off-shore) dan di laut dengan jarak relatif dekat dari pantai (in-shore) atau di kawasan pantai itu sendiri (“daratan”). Berdasarkan kegiatannya, dapat dibedakan antara kelompok yang melakukan kegiatan penangkapan ikan (fish capture) dan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture). Sedangkan kelompok yang tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut/pantai adalah kelompok masyarakat yang tinggal di desa pantai , yang melakukan penangkapan ikan di kawasan Danau Pulau Besar dan Danau bawah yang terdapat di hulu Sungai Rawa. Data mengenai mata pencaharian masyarakat pesisir di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Sumber : Data diolah dari kementerian Kelautan dan Perikanan 2010
Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Mereka mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Dari tabel 2.1 jumlah nelayan dari sub sektor perikanan tangkap mengalami kenaikan 1.5 %
Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010
Masyarakat nelayan budidaya / tambak yaitu masyarakat nelayan yang melakukan usaha budi daya (marine/fish culture) / pengolah.. Dari tabel 2.2 jumlah pembudidaya mengalami kenaikan 3.5 %
Sumber : Data diolah dari kementerian kelautan dan Perikanan 2010
Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan buruh yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Mereka sebagai tenaga kerja yang membantu pengolahan/produksi dan pemasaran . Dari tabel 2.3 jumlah tenaga kerja pengolahan dan pemasaran hasil perikanan mengalami kenaikan 10.85 %
2.2 Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir
Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Kerugian yang diderita nelayan tradisional akibat kegagalan negara menjalankan agenda adaptasi dan mitigasi mencapai lebih dari 73 triliun per tahun, fakta tersebut menunjukkan bahwa produktivitas tangkapan nelayan makin menurun dan menjadikan nelayan semakin jauh menangkap ikan.
Dalam ringkasan teknisnya, Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan deskripsi pengaruh perubahan iklim terhadap wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :
Gambar 2.1. Deskripsi pengaruh peubahan iklim terhadap wilayah pesisir (IPCC, 2007).
Secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam kemungkinan dampak perubahan iklim bagi masyarakat pesisir antara lain :
- Dampak fisik; peningkatan kerusakan karena banjir dan gelombang pasang, erosi pantai dan peningkatan sedimentasi, perubahan kecepatan aliran sungai,meningkatnya gelombang laut, dan meningkatnya keamblesan (subsidence) tanah.Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan.Data dari KIARA di Sibolga, Pantai Barat Sumatera, Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Tarakan, Kalimantan Timur bagian Utara, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kendal, Jawa Tengah, Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan Teluk Manado, Sulawesi Utara, ditemukan banyak fakta merugikan antara lain :
- Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240 – 300 hari , menjadi hanya 160 – 180 hari per tahun.
- Sedikitnya 68 orang nelayan tradisional Indonesia dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ektrem.
- Pendapatan nelayan tradisional turun pada kisaran: 50 – 70% (Rp 0 – Rp 40 ribu).
- Kerugian di sektor perikanan tradisional berkisar antara Rp 56 Triliun – Rp 73 Triliun, dengan total jumlah nelayan tangkap tradisional per 2009 sejumlah 2,752,490 jiwa.
- Dampak ekologis; hilang/mengurangnya wilayah genangan (wetland) di wilayah pesisir, intrusi air laut, evaporasi kolam garam, hilang/mengurangnya tanaman pesisir, hilangnya habitat pesisir, berkurangnya lahan yang dapat ditanami, dan hilangnya biomassa non-perdagangan. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
- Dampak sosio-ekonomis; terpengaruhnya lingkungan permukiman, kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :
- Gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera.
- Genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua.
- Hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buruk apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.
2.3 Strategi Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi menurut Hardesty (1997) adalah “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland 1995).
Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sedangkan, adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif).
Kerangka konsep adaptasi, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa masyarakat akan selalu merespon perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi sebagai perwujudan adaptasinya terhadap lingkungan. Strategi adaptasi perubahan iklim yang nantinya juga bergantung pada jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan akibat perubahan lingkungan yang terjadi.
2.4 Strategi Adaptasi Fisik
Adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya antisipatif (preventif) maupun reaktif (kuratif). Pada dasarnya, ada dua strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatip perubahan iklim global antara lain :
- Pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman (mangrove dan tumbuhan pantai lainnya) atau bangunan (pemecah gelombang, groin, pematang, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob. Untuk perlindungan, pilihan yang tampaknya paling meyakinkan adalah mendirikan bangunan yang kukuh seperti tanggul di laut, namun selain sangat mahal tindakan ini dapat memberikan efek samping seperti erosi dan sedimentasi. Karena itu, umumnya ada berbagai pilihan yang lebih ‘lunak’ seperti menciptakan atau memulihkan wilayah rawa pesisir dan menanam berbagai varietas mangrove dan vegetasi yang dapat mengatasi perubahan salinitas yang ekstrem.
- Pendekatan reaktif yaitu dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat nelayan yang memancing pola-pola adaptasi yang bersifat reaktif, antara lain :
- - Para nelayan melakukan strategi adaptasi yang biasa disebut dengan strategi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan apabila di wilayah perairan sekitarmengalami masa paceklik. Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertaiadaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksilokasi ikan. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situsresmi KKP. Peta ini dikeluarkan langsung oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan, Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan merupakan hasil dari analisis data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus permukaan laut,serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini dikeluarkan dengan tujuanmembantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu. Namun pada kenyataannya, hanya nelayan modern saja yang memanfaatkan informasi ini. Sementara nelayan tradisional masih memanfaatkan pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara ekstrim seperti saat ini ( Ratna , 2011 ).
- Pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong penduduk di kawasan pantai untuk merambah/membuka kawasan hutan , mangrove atau “menciptakan” lahan-lahan baru yang dapat digunakan sebagai lokasi permukiman dan, terutama, sebagai lahan usaha. Sebagai contoh, di beberapa tempat seperti di kawasan pantai Kabupaten Bekasi, masyarakat dengan sengaja membuat jebakan-jebakan sedimen lumpur di pantai untuk mendapatkan lahan baru atau memperluas lahan yang sudah ada untuk kepentingan kegiatan tambak. Sejalan dengan munculnya lahan-lahan baru (“tanah timbul”), mereka juga mengembangkan permukimannya. Upaya seperti ini dilakukan oleh masyarakat sebagai respon atas semakin terbatasnya lahan yang mereka miliki/kuasai.
- Pengelolaan terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem , potensi, tata ruang wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir melalui program pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai keberadaan terumbu karang, pemanfaatandan pengelolaan ekosistem terumbu karang , pengembangan penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang, pengklasifikasian dan pengelompokan seluruh gugusan terumbu karang kedalam beberapa jenis katagori pengelolaan, pembuatan program percontohan untuk tiap jenis katagori pengelolaan serta perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.
2.5 Strategi Adaptasi Sosial-Ekonomi
Terdapat dua strategi adaptasi sosial ekonomi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatif perubahan iklim global yaitu :
1. Strategi Proaktif
Strategi proaktif dapat dilakukan dengan penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman, misalnya dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan lain-lain. Pemerintah harus lebih promotif terhadap penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan sebagainya, dengan tujuan utama untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan masyarakat Indonesia.
2. Strategi Reaktif
Dengan pendekatan reaktif atau melakukan penyesuaian baik secara fisik maupun sosial-ekonomi dan budaya hidup. Contohnya adalah:
- Masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim, Salah satu contohnya adalah mencari kepiting bakau menggunakan perahu (sampan) atau jaring kepiting dan umpan tertentu. Pencarian kepiting di wilayah mangrove cenderung lebih aman, tidak terlalu tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar. Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove.
- Pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap kenaikan suhu, banjir, dan dampak perubahan iklim lainnya (misalnya melalui rekayasa genetik dan aklimatisasi). Pengembangan spesies budidaya tersebut antara lain :
- - Masyarakat yang tidak mampu menjelajah laut lepas, mereka dapat memilih berusaha budidaya rumput laut.Dewasa ini kegiatan budidaya laut yang sudah dikembangkan secara luas oleh masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Menurut pengakuan dari beberapa petani rumput laut, mereka mengemukakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut sudah banyak membatu dan memberikan hasil bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatan ekonominya. Produksi rumput laut tahun 2004 sebanyak 1.267 ton kering dengan nilai produksi sekitar Rp. 6.335.000.000,- (enam milyard tiga ratus tiga puluh lima juta rupiah). Namun demikian terdapat fenomena lain yang timbul pada masyarakat di wilayah pesisir yang berkaitan dengan semakin maraknya perkembangan usaha budidaya rumput laut adalah klaim masyarakat terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Fenomena ini tidak hanya terjadi antara sesama petani rumput laut, melainkan juga antara nelayan-nelayan tangkap dengan petani rumput laut ( Syarif, 2008 ). Perahu-perahu para nelayan tangkapan mengalami kesulitan dalam mobilisasi keluar masuk karena kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem long line. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari belum adanya rencana tata ruang wilayah pesisir bersama zona-zona pemanfaatannya. Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas yang mengarah kepada konflik horisontal terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diharapkan Pemerintah baik eksekutif maupun legislatis dengan otoritas dan kewenangan yang dimiliki dapat segera membuat perangkat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dari fenomena tersebut diatas dapat diantisipasi sedini mungkin.
- Budidaya pembesaran kerapu dengan sistem jaring keramba apung (JKA) dan menggunakan benih alamiah. Kegiatan budidaya ini agak membutuhkan teknologi dan keterampilan serta investasi modal yang cukup sehingga belum banyak nelayan yang berorientasi kekegiatan ini. Namun menurut pengamatan kegiatan ini harus melalui pendampingan dan menurut pengakuan mereka bahwa kegiatan semacam ini akan sangat membantu mereka dalam mengembangkan dan meningkatkan pendapatannya terutama ketika mereka tidak melaut, apalagi harga komoditas ini cukup menjanjikan.
- Sedangkan alternatif lainnya adalah budidaya kerang mutiara yang sudah ada sejak tahun 1999.
3. Pengembangan teknologi produksi (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya)
Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Bagi nelayan tangkap yang usaha menangkap ikan di laut lepas armada penangkapan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pada tahun 2003 dan 2004 terjadi peningkatan jenis armada penangkapan motor tempel. Kondisi ini terjadi karena ketika itu munculnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sehingga banyak kelompok nelayan terbentuk, akibatnya banyak nelayan yang kurang memiliki dukungan modal beralih dan terlibat pada program ini. Selain itu, pada tahun 2003 dan 2004 di NTT terdapat Program GEMALA (Gerakan Masuk Laut)yang dicanangkan oleh pemerintah NTT, maka banyak masyarakat pesisir yang sudah mulai berorientasi ke laut. Sama halnya dengan armada penangkapan, jenis dan alat tangkap juga merupakan faktor penting bagi nelayan tangkap dalam menentukan hasil usaha penangkapan. Ada beberapa alat tangkap yang dapat digunakan antara lain purse siene. Gill Net, Bagan, Pancing ( peralatan ini merupakan peralatan yang hampir dimiliki oleh semua nelayan dan merupakan peralatan yang jumlahnya paling banyak disamping gill net ), Bubu dan Rumpon ( merupakan alat bantu penangkapan yang cukup banyak dimiliki oleh para nelayan, menempati urutan kedua setelah purse siene).
2.6 Strategi Adaptasi Sumberdaya Manusia
Perkembangan jumlah sumberdaya manusia nelayan sampai pada tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan, namun kondisi ini belum secara signifikan mempengaruhi besarnya hasil upaya penangkapan maupun kegiatan budidaya perikanan. Penambahan jumlah nelayan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas keterampilan nelayan maupun armada dan jenis peralatan tangkap. Strategi adaptasi perubahan iklim meliputi :
1. Manajemen pasca panen
Sarana, prasarana dan tingkat keterampilan nelayan dalan pengelolaan pasca panen perikanan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas dan standart mutu hasil pengolahan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan melalui wawancara dengan para nelayan, maupun pihak-pihak terkait dalam pengelolaan perikanan di peroleh informasi bahwa dari produksi perikanan tangkap yang dihasil oleh para nelayan, sebagian dipasarkan dalam bentuk ikan segar, dikonsumsi dan lainnya diolah dengan cara dikeringkan dengan cara yang relatif masih sederhana dan tradisional. Penanganan perikanan yang baik harus memperhatikan mulai dari penangkapan ikan di atas kapal atau perahu sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan ( Syarif, 2008 ). Kapal-kapal ikan yang beroperasi umumnya terdiri atas duakelompok yakni :
- Kelompok pertama adalah kapal milik nelayan tradisonal yang menangkap dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya. Kelompok kapal jenis iniumumnya belum memiliki palka penyimpanan dan persediaan es sehingga lama waktu operasi hanya satu hari saja (only one day fishing) yakni berangkat sore dan pulang pagi hari. Kapal atau perahu-perahu jenis ini, ikan hasil tangkapan biasanya tidak disortir terlebih dahulu menurut ukuran dan jenisnya dan disimpan saja di dalam perahu yang tidakdiberi es, sehingga para nelayan berusaha untuk segera mendaratkan ikan hasil tangkapannya di sepanjang pantai terdekat dengan pemukiman penduduk atau desa tempat tinggal mereka. Selanjutnya hasil penangkapan tersebut umumnya nelayan menjualnya di pasar tradisional (pasar desa) dengan cara tunai maupun dengancara barter. Proses pengeringan masih sangat tradisional, sehingga belum menghasilkan hasil pengolahan yang berkualitas dan hygienis. Keadaan ini terlebih pada saat puncak musim ikan, dimana penanganan pasca panen hanya dilakukan dengan cara menjemur langsung diatas pasir yang sangat bergantung pada ada tidaknya sinar matahari.
- Kelompok kedua adalah jenis kapal yang sudah memadai dan memenuhi standart mutu yakni kapal penangkap ikan tuna dan cakalang dengan alat tangkap (pole and line). Kapal-kapal jenis inimemiliki kapasitas penangkapan kurang lebih 4 sampai 5 ton dan kesegaran ikan tetapdipertahankan karena memiliki palka berinsulasi sebanyak 2 buah dengan membawa essebanyak 1.600 kg atau 40 balok es (@ 40 kg/balok). Dengan demikian teknik penanaganan ikan di atas kapal sudah memenuhi persyaratan dan standart mutu sehingga kualitas dan kesegaran ikan tetap terpelihara sampai ikan tersebut didaratkan. Selain itu, harus diakui bahwa pemantauan terhadap kualitas produk pengolahan hasil perikanan belum ada karena institusi yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pengolahan sebagai lembaga penjamin mutu belum dimiliki oleh Dinas Perikanandan Kelautan. Meskipun masih terdapat keterbatasan baik sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarana pengolahan, namun sudah terdapat beberapa jenis produk olahan yang dapat diproduksi dan dapat dipasarkan di beberapa tempat di Indonesia dengan kapasitas produksi yang dapat menjawab permintaan.
2. Pola Nafkah Ganda
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga nelayan serta pengembangan pola nafkah ganda. sehingga perekonomian rumah tangga nelayan tidak hanya bergantung dari hasil penangkapan saja. Anak-anak nelayan selama ini berperan dalam mendukung kegiatan melaut nelayan, yaitu sebagai pembuat jaring. Pembuatan jaring ini dilakukan disela-sela kegiatan melaut nelayan tersebut. Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan lainnya ( Iqbal,2004 ) . Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha-usaha lainnya. Para istri nelayan dapatmelakukan usaha ekonomi melalui pengolahan kerang totok menjadi sate kerang untuk kemudian dijual. Selain itu, ketika musim paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan.
3. Tani – Nelayan
Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut sehingga memicu nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan. Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani.Selain sebagai buruh pada lahan padi sawah, sebagian nelayan juga menggarap lahan miliknya sendiri. Lahan ini biasanya adalah kebun. Salah satuyang cukup potensial adalah kebun jati dan sengon. Beberapa nelayan yang telah memahami dengan baik kondisi kehidupan pencarian ikan di lautan yang penuh dengan ketidakpastian telah mempersiapkan investasi sejak awal untuk hutang kepada tengkulak ketika tiba musim paceklik yang berkepanjangan. Investasi ini berupa tanaman kayu yaitu jati dan sengon. Ketika tiba musim paceklik, ataupun dibutuhkan biaya yang secara mendadak, nelayan yang telah memiliki investasi ini akan menjual beberapa pohon di kebunnya. Satu buah pohon sengon berusia lima tahun dapat dijual dengan harga mencapai dua juta rupiah.
4. Jasa Pengangkutan
Perahu yang mereka miliki merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk melakukan usaha-usaha ekonomi. Ketika musim paceklik tiba, beberapa nelayan yang tidak memiliki investasi serta kemampuan yang memadai sebagai modal pencarian nafkah tambahan, hanya bisa mengandalkan jasa perahu yang mereka miliki.
5. Kegiatan diluar Perikanan
Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi sasaran alih profesi ini. Pertama, pekerjaan sebagai buruh. Walaupun gaji yang diperoleh cenderung rendah, pekerjaan ini diminati karena dirasa ada jaminan atau kepastian penghasilan yang dapat diperoleh. Berbeda dengan kegiatan melaut yang penuh dengan ketidakpastian. Kedua adalah petani.
2.7 Peranan Pemerintah dalam Strategi Adaptasi Perubahan Iklim
Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Insentif dalam upaya penanggulangan abrasi pantai atau erosi dapat diberikan pemerintah kepada para pengelola pariwisata, hotel dan resor-resor di wilayah pesisir pantai ( Dahuri, 2003 ). Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat. Tidak ketinggalan, Lembaga Swadaya Masyarakat didorong untuk terus melakukan identifikasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut.
III. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain :
- Perubahan iklim memberikan beberapa dampak bagi masyarakat pesisir berupa dampak fisik , dampak sosial ekonomis dan dampak ekologis.
- Strategi adaptasi fisik dapat dilakukan dengan pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob dan pendekatan reaktif yaitu dengan mengejar musim dan pengelolan terumbu karang. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situs resmi KKP. Peta ini dikeluarkan dengan tujuan membantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu.
- Strategi adaptasi sosial ekonomi dengan pendekatan proaktif melalui penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir dan pendekatan reaktif yaitu masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim.
- Strategi adaptasi sumber daya manusia dapat dilakukan dengan cara manajemen pasca panen yaitu dengan memperhatikan penangkapan ikan di atas kapal sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan , pola nafkah ganda yang bertujuan mendaptkan pendapatan alternatif dan melakukan kegiatan usaha diluar perikanan.
- Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan keahlian mereka mewujudkan strategi tersebut. Fasilitas dan prasarana yang mendukung setiap upaya penyelamatan pantai dengan bantuan teknis, pengelolaan dan bantuan lain, dapat menjadi dorongan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
- Alland, A. Jr. 1995. “Adaptation”. Annual Review of Anthropology, 4:59-73.
- Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheriesfor Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress(K.Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser,Eds.). Tokyo: TERRAPUB
- Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: aset pembangunanberkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati PerubahanIklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. SaranaKomunikasi Utama.
- Hawley, Amos H. 1996. Human Ecology a Theoretical Essay. Chicago, The University of Chicago.
- Iqbal, Moch. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis.Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
- Miller, Elmer S. Dan Charles A. Weitz. An Introduction to Anthropology. Englewood Cliffs. New York: Prentice-Hall, Inc. 2009.
- Moran, Emilio F. 1982. Human adaptability An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
- Ratna Patriana , 2011, Pola adaptasi nelayan terhadap peubahan iklim, Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB
- Syarif Moeis , 20008, .Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Baratsuatu analisa kebudayaan, UPI , Bandung
Label:
Jurnal
|
0
komentar
Pengaruh Supply Chain Management Terhadap Kinerja Perusahaan dan Keunggulan Bersaing (Studi Kasus pada Industri Kreatif di Provinsi Jawa Tengah)
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011 Hal : 89-103
Baca Selanjutnya - Pengaruh Supply Chain Management Terhadap Kinerja Perusahaan dan Keunggulan Bersaing (Studi Kasus pada Industri Kreatif di Provinsi Jawa Tengah)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011 Hal : 89-103
Lisda Rahmasari
Fakultas Ekonomi, Universitas AKI
Abstract
The objective of the study is to determine the influence of supply chain management and its impact to increase the company performance and competitive advantage. Purposive samplings were taken from 105 companies of creative industry in Central Java and data analysis used AMOS 5. The result of the analysis shows that supply chain management has positive influence which is significant toward company performance and competitive advantage. This empirical result indicates that in order to increase company performance of creative industry in Central Java, the company should focus on implementation of supply chain management because those factors have been shown to affect toward degree of company performance.
Key words: Supply chain management, company performance and competitive advantage
Pendahuluan
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dengan lahan yang subur ditunjang alam yang indah dan dihiasi berbagai spesies langka flora dan fauna. Keanekaragaman suku, tradisi, budaya dan bahasa semakin melengkapi potensi tumbuhnya industri kreatif yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp 104,6 triliun. Indonesia perlu terus mengembangkan industri kreatif. Alasannya, industri kreatif memberikan kontribusi ekonomi yang signifikasi. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun citra serta identitas bangsa. Di sisi lain, industri kreatif berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif.
Dalam kurun waktu antara tahun 2002-2006, rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia mencapai 6,3 persen dari total PDB Nasional. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun, berkontribusi sebesar Rp 9,13 persen terhadap total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja (Studi Industri Kreatif Indonesia, 2008). Sumbangan industri kreatif yang cukup signifikan terhadap pendapatan domestik bruto nasional, semakin menguatkan perlunya kekuatan daya saing yang akan memberikan competitive advantage pada keberadaan industri tersebut. Untuk meningkatkan daya saing pada industri kreatif, diperlukan adanya pengelolaan, baik secara internal ataupun eksternal perusahaan. Hubungan antara supplier, customer, dan perusahaan itu sendiri, harus dikelola dengan baik. Bagaimana agar supplier ikut bertanggungjawab terhadap kualitas produk, hubungan yang baik dan jangka panjang dengan supplier dan customer, serta agar distribusi produk dari hulu ke hilir tepat pada waktunya sampai ke pengguna akhir. Disinilah pengelolaan perlu dilakukan. Terjadi sebuah kesalahan pada distribusi barang dan jasa akan membuat kualitas barang dan jasa menurun. Dan ini berakibat daya saing melemah. Untuk meningkatkan distribusi barang dan jasa, serta sharing informasi dan financial dari hulu ke hilir pada sektor industri kreatif, maka diperlukan pengelolaan secara komprehensif. Penerapan dan praktek supply chain management untuk penyediaan barang dan jasa inilah yang sangat diperlukan bagi sektor industri kreatif, dalam rangka meningkatkan daya saing industri yang akan memberikan dampak pada kinerja usaha.
Rumusan Masalah
Supply chain management merupakan sesuatu yang sangat kompleks sekali, dimana banyak hambatan yang dihadapi dalam implementasinya, sehingga dalam implementasinya memang membutuhkan tahapan mulai tahap perancangan sampai tahap evaluasi dan continuous improvement. Selain itu implementasi supply chain management membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mulai dari internal dalam hal ini seluruh manajemen puncak dan eksternal, dalam hal ini seluruh partner yang ada. Saat ini konsumen seakan dimanjakan oleh produsen, hal ini kita lihat semakin beragamnya jenis produk yang ada di pasaran. Hal ini juga kita lihat strategi perusahan yang selalu berfokus pada customer (customer oriented). Jika dahulu produsen melakukan strategi dengan melakukan pembagian segment pada customer, maka sekarang konsumen lebih dimanjakan lagi dengan pelemparan produk menurut keinginan setiap individu bukan menurut keinginan segment tertentu. Banyaknya jenis produk dan jumlah dari yang tidak menentu dari masing-masing produk membuat produsen semakin kewalahan dalam memuaskan keinginan dari konsumen. Globalisasi membuat supply chain semakin rumit dan kompleks karena pihak-pihak yang terlibat dalam supply chain tersebut mencakup pihak-pihak di berbagai negara yang mungkin mempunyai lokasi diberbagai pelosok dunia.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah mengungkapkan serta mencari tahu bagaimana praktek supply chain untuk penyediaan barang dan jasa yang dijalankan oleh para pelaku industri kreatif di Jawa Tengah serta dampak yang nyata bagi peningkatan kinerja usaha. Secara rinci uraian tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:
- Menguji pengaruh antara praktek supply chain management penyediaan barang dan jasa dengan competitive advantage serta peningkatan kinerja usaha sektor industri kreatif.
- Memberikan masukan kepada para pengusaha kecil berbasis industri kreatif di Jawa Tengah mengenai hasil penelitian ini sebagai dasar pengelolaan supply chain penyediaan barang dan jasa dalam rangka peningkatan daya saing industri serta kinerja usaha.
Pelaku industri mulai sadar bahwa untuk menyediakan produk yang murah, berkualitas dan cepat, perbaikan di internal perusahaan manufaktur maupun jasa adalah tidak cukup. Peran serta supplier, perusahaan transportasi dan jaringan distributor adalah dibutuhkan. Kesadaran akan adanya produk yang murah, cepat dan berkualitas inilah yang melahirkan konsep baru tahun 1990-an yaitu Supply Chain Manajement (SCM). Jaringan perusahaan secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir inilah yang disebut supply chain atau rantai pasokan. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk supplier, pabrik, distributor, toko atau ritel, sertu perusahaan pendukung seperti jasa logistik. Pendekatan yang ditekankan dalam Supply Chain Management adalah terintegrasi dengan semangat kolaborasi. Supply chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal melainkan juga eksternal perusahaan yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Melalui pendekatan supply chain management ini para pelaku usaha kecil menengah terutama yang berbasis industri kreatif, dapat menggunakan pendekatan ini untuk meningkatkan daya saing industrinya. Karena pendekatan ini cukup strategis dalam memenangkan persaingan, dengan berfokus pada pengadaan logistiknya. Pengintegrasian secara efisien antara pemasok (suppliers), pabrik (manufactures), gudang (warehouses), dan penyimpanan (stores), sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dengan kuantitas yang benar, untuk lokasi yang benar dan waktu yang benar. Peningkatan hubungan yang baik antara perusahaan, supplier dan customer akan mencapai efisiensi dan kepercayaan. Oleh karena itu melalui pendekatan praktek supply chain management ini para pelaku industri kreatif akan mendapatkan keunggulan bersaing yang berdampak pada meningkatnya kinerja perusahaan.
Tinjauan Pustaka
Industri kreatif
Pemerintah melalui departemen perdagangan telah mengidentifikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, yaitu:
- Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan meliputi; proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan.
- Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari level makro sampai level mikro.
- Pasar barang seni: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet. Misal: alat musik, percetakan, kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan
- Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi produk yang dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya.
- Desain: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, serta produksi kemasan dan jasa pengepakan
- Fesyen : kegiatan kreatif yang berkaitan dengan desain pakaian, alas kaki dan aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesoris lainnya serta distribusi produk fesyen.
- Video, Film dan Fotografi : kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi. Juga penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron dan eksibisi film.
- Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan proses kreasi, produksi dan distribusi dari permainan komputer dan video.
- Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan, reproduksi dan distribusi dari rekaman suara.
- Seni pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukan kontemporer (misal: drama, musik tradisional, musik teater, opera, tur musik etnik), desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung dan tata pencahayaan.
- Penerbitan dan percetakan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan penerbitan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita.
- Layanan komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan pengembangan teknologi informasi termasuk layanan jasa komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem.
- Televisi dan radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi, penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio.
- Riset dan pengembangan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha inovasi yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang memenuhi kebutuhan pasar.
Supply Chain Management
Supply Chain Management adalah seperangkat pendekatan untuk mengefisienkan integrasi supplier, manufaktur, gudang dan penyimpanan, sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, waktu yang tepat, untuk meminimasi biaya dan memberikan kepuasan layanan terhadap konsumen (simchi-levi,2003). Definisi oleh the Council of Logistics Management: "Supply Chain Mangement is the systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual company and the supply chain as a whole". Menurut Kalakota (2000) Supply Chain Management adalah sebuah ‘proses payung’ di mana produk diciptakan dan disampaikan kepada konsumen dari sudut struktural. Sebuah supply chain merujuk kepada jaringan yang rumit dari hubungan di mana organisasi mempertahankan dengan rekan bisnisnya untuk mendapatkan sumber produksi dalam menyampaikan kepada konsumen. Tujuan yang hendak dicapai dari setiap supply chain adalah untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan secara keseluruhan (Chopra, 2001). Supply chain yang terintegrasi akan meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh supply chain tersebut.
Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Ukuran performansi Supply Chain Management, meliputi:
- Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, ketepatan pengiriman).
- Waktu (total replenishment time, business cycle time).
- Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah).
- Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi) Supply Chain Management juga bisa diartikan jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu (upstream) dan ke hilir (downstream), dalam proses yang berbeda dan menghasilkan nilai dalam bentuk barang/jasa di tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user).
Competitive Advantage
Keunggulan bersaing (competitive advantage) menurut (Goyal, 2001) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk meraih keuntungan ekonomis di atas laba yang mampu diraih oleh pesaing di pasar dalam industri yang sama. Perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif senantiasa memiliki kemampuan dalam memahami perubahan struktur pasar dan mampu memilih strategi pemasaran yang efektif. Strategi bersaing dimaksudkan untuk mempertahankan tingkat keuntungan dan posisi yang langgeng ketika menghadapi persaingan. Keunggulan bersaing berkembang dari nilai yang mampu diciptakan oleh perusahaan bagi pelanggan atau pembeli. Suhong li (2006) menggunakan dimensi pengukuran competitive advantage dalam penelitiannya antara lain menggunakan delivery dependability, inovasi produk dan time to market.
Delivery Dependability
Saling ketergantungan antara partner dalam jaringan supply chain akan menguatkan delivery product dan jasa dari hulu ke hilir. Delivery dependability juga akan menciptakan hubungan jangka panjang yang saling membutuhkan. Sehingga ketersediaan produk dan ketepatan waktu pengiriman akan dapat tercapai.
Inovasi produk
Kreativitas yang tinggi dalam menciptakan keunikan produk yang lebih menarik, aman dan nyaman lebih diminati oleh konsumen dibandingkan dengan produk pesaing lainnya. Keunggulan bersaing yang berkesinambungan adalah kemampuan suatu perusahaan untuk enciptakan suatu produk yang pada saat pesaing berusaha untuk menirunya akan selalu mengalami kegagalan secara signifikan. Pada saat perusahaan menerapkan strategi tersebut dan perusahaan pesaing tidak secara berkesinambungan menerapkannya serta perusahaan lain tidak mampu meniru keunggulan strategi tersebut maka perusahaan tersebut dikatakan memiliki keunggulan bersaing yang berkesinambungan.
Time to market
Beberapa hal yang menyangkut time to market adalah sebagai berikut: perusahaan mampu memperkenalkan produk lebih cepat dibandingkan competitor, pengiriman produk ke pasar lebih cepat, waktu pengenalan produk lebih cepat dibandingkan rata-rata industri dan pengembangan produk lebih cepat.
Kinerja Usaha
Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Goyal ( 2001 ) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut: “Performance is: (1) the process or manner of performing, (2) a notable action or achievement, (3) the performing of a playor other entertainment”.
Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Kinerja usaha mengacu pada seberapa baik suatu perusahaan berorientasi pada pasar serta tujuan financialnya.
Sistem penilaian kinerja yang efektif sebaiknya mengandung indikator kinerja, yaitu: (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan. Penilaian kinerja mengandung tugas-tugas untuk mengukur berbagai aktivitas tingkat organisasi sehingga menghasilkan informasi umpan balik untuk melakukan perbaikan organisasi. Perbaikan organisasi mengandung makna perbaikan manajemen organisasi yang meliputi: (a) perbaikan perencanaan, (b) perbaikan proses, dan (c) perbaikan evaluasi. Penilaian kinerja perusahaan dapat diukur dengan ukuran keuangan dan non keuangan. Ukuran keuangan untuk mengetahui hasil tindakan yang telah dilakukan dimasa lalu dan ukuran keuangan tersebut dilengkapi dengan ukuran non keuangan tentang kepuasan customerdan cost effectiveness proses bisnis/intern serta produktivitas.
Setelah pengelolaan dilakukan terhadap suatu usaha diharapkan kinerja usaha tersebut akan membaik. Pada penelitian ini pengelolaan dilakukan terhadap supply chain untuk penyediaan barang dan jasa. Dimulai dari pemesanan bahan baku sampai pada produk akhir yang digunakan oleh konsumen, diharapkan pendistribusian barang, penyampaian informasi, ketepatan waktu akan berjalan lancar. Pada dasarnya proses pada supply chain telah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, utamanya disini adalah sektor industri kreatif. Hanya saja supply chain penyediaan barang dan jasa tersebut belum terintegrasi dan kolaboratif.
Metode Penelitian
Bagan Alir Penelitian
Bagan alir penelitian merupakan suatu bagan yang menggambarkan garis besar penelitian yang akan dilakukan. Tahapan Penelitian dibuat untuk dua periode waktu yang berbeda. Tahun pertama identifikasi supply chain untuk penyediaan barang dan jasa dalam meningkatkan daya saing pada industri kreatif. Tahun kedua, pengujian model. Berdasar pada latar belakang dan landasan teori pada bab terdahulu, maka dapat disajikan bagan alir penelitian seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Hasil dari integrasi berbagai kegiatan tersebut diharapkan akan memberikan kemampuan daya saing yang kuat pada pelaku usaha kecil menengah dengan basis industri kreatif. Kekuatan daya saing diharapkan akan memberikan dampak yang baik pada kinerja usaha serta akan menghasilkan kemampuan bersaing yang menguntungkan (competitive advantage).
Populasi dan Sampel
Populasi merupakan kumpulan individu dengan kualitas serta ciri ciri yang telah ditetapkan (Ferdinand, 2006 ). Populasi juga merupakan keseluruhan individu untuk siapa kenyataan yang diperoleh akan digeneralisasikan (Ferdinand, 2006). Sedangkan sampel adalah sebagian populasi yang karakteristiknya hendak diteliti dan dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi. Populasi penelitian ini adalah seluruh usaha kecil menengah berbasis industri kreatif di Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dua tahap. Metode purposive sampling diterapkan karena pada penelitian ini diperlukan interaksi intensif dengan subyek penelitian, sehingga subyek penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan (judgment) peneliti mengenai lokasi subyek dan kesediaan subyek untuk terlibat dalam penelitian ini. Tahap pertama pengambilan sampel adalah pengambilan sampel kabupaten yang ada di wilayah Propinsi Jawa Tengah sesuai tujuan dan kepentingan penelitian. Kabupaten-kabupaten yang dipilih sebagai sampel adalah kabupaten yang di wilayahnya banyak terdapat industri kreatif, yaitu Kabupaten semarang, Kabupaten Surakarta, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Banyumas. Tahap kedua adalah pengambilan sampel pengusaha-pengusaha kecil menengah berbasis industri kreatif di wilayah kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai sampel. Dari hasil pemilihan sampel usaha kecil menengah berbasis industri kreatif jumlah respondennya adalah 105 responden.
Metode Analisis Data
Analisis Data dilakukan dengan analisis diskriminan, yaitu untuk menentukan mana prediktor yang paling dominan pada Supply Chain Management. Pengujian Model yang diusulkan dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan two step approach. Dalam two-step Aprroach to SEM dengan program AMOS 5, model pengukuran (measurement model) terlebih dahulu dirumuskan dan dievaluasi secara terpisah dan kemudian ditetapkan langkah kedua ketika model struktural diestimasi (Ferdinand . 2006).
Definisi Operasional dan Pengukuran variabel
Praktek supply chain management
Variabel | Ukuran |
---|---|
Pengembangan Produk | Melakukan riset pasar, merancang produk baru, melibatkan supplier dalam perancangan produk baru |
Strategic supplier partnership | Memilih supplier mengevaluasi kinerja supplier, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan supplier |
Perencanaan dan Pengendalian | Demand planning, peramalan permintaan, perencanaan kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan |
Produksi | Eksekusi produksi, pengendalian kualitas |
Distribusi | Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman, memonitor service level di riap pusat distribusi |
Kualitas Informasi | Akurasi, ketepatan waktu, kecukupan waktu, pertukaran informasi yang kredibel |
Customer relationship | Mengelola customer complaint, meningkatkan kepuasan customer, membangun hubungan jangka panjang dengan customer |
Pembelian | Syarat pembelian, kehlian negosiasi, kemampuan untuk menerjemahkan strategis perusahaan ke dalam system pemilihan dan evaluasi supplier. |
Competitive advantage
Competitive advantage atau keunggulan bersaing kemampuan suatu perusahaan untuk meraih keuntungan ekonomis di atas laba yang mampu diraih oleh pesaing di pasar dalam industri yang sama . Dalam penelitian ini variabel competitive advantage diukur dengan delivery dependability, produk inovatif dan time to market. Pengukuran ini seperti yang telah digunakan dalam penelitian Suhong li, et al (2006).
Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan merupakan hasil pelaksanaan suatu usaha baik yang bersifat fisik maupun nonfisik dengan indikator pencapaian hasil kerja dibandingkan target yang telah ditentukan. Pengukuran variable kinerja usaha menggunakan pengukuran yang telah digunakan oleh Goyal ( 2001 ) dan Suhong li (2006), yaitu produktivitas, pertumbuhan penjualan, serta pangsa pasar.
Pembahasan
Sumber : Data primer yang diolah, 2011
Gambar 2
Analisis Full Model
Sumber : Data primer yang diolah, 2011
Tabel 4.1
Hasil Pengujian Kelayakan Full Model
Sumber : Data primer yang diolah, 2011
Tabel 4.2
Regression Weight
C.R. | P | |||
---|---|---|---|---|
Kinerja Perusahaan | <--- | Praktek SCM | 2.2 | .0 |
Keunggulan Bersaing | <--- | Praktek SCM | 3.5 | .0 |
Kinerja Perusahan | <--- | Keunggulan Bersaing | 2.3 | .0 |
X3 | <--- | Perencanaan dan Pengendalian | 10.3 | .0 |
X2 | <--- | Strategic supplier partnership | 12.3 | .0 |
X1 | <--- | Pengembangan Produk | 11.9 | .0 |
X4 | <--- | Produksi | 11.3 | .0 |
X5 | <--- | Distribusi | 12.2 | .0 |
X6 | <--- | Kualitas Informasi | 15.0 | .0 |
X7 | <--- | Customer relationship | 14.2 | .0 |
X8 | <--- | Pembelian | 11.1 | .0 |
X9 | <--- | Produktivitas | 12.4 | .0 |
X12 | <--- | delivery dependability | 11.2 | .0 |
X11 | <--- | Pangsa Pasar | 11.3 | .0 |
X10 | <--- | Pertumbuhan pelanggan | 11.1 | .0 |
X13 | <--- | Produk inovatif | 11.2 | .0 |
X14 | <--- | Time to Market | 11.1 | .0 |
Sumber : Data primer yang diolah dengan AMOS 5
Hasil Uji Hipotesis
- Pengujian secara parsial variabel X1 ( praktek Supply Chain Management) memiliki memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR > 1,96 yang menunjukkan bahwa variabel praktek Supply Chain Management memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan . Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif praktek Supply Chain Management terhadap kinerja perusahaan.
- Pengujian secara parsial variabel X2 ( praktek Supply Chain Management) memiliki probablitas dibawah 005 dan CR > 1,96 yang menunjukkan bahwa variable praktek Supply Chain Management memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keunggulan bersaing.
- Pengujian secara parsial keunggulan bersaing memiliki probablitas dibawah 0.05 dan CR > 1,96 yang menunjukkan bahwa variable keunggulan bersaing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan . Arah koefisien regresi positif menunjukkan adanya pengaruh positif keunggulan bersaing terhadap kinerja perusahaan.
Kesimpulan
- Praktek Supply Chain Management berpengaruh positif dan signifikan keunggulan bersaing . Indikator dari Supply Chain Management meliputi pengem-bangan produk, strategic supplier partnership ,perencanaan dan pengendalian, produksi, distribusi, kualitas informasi, customer relationship dan pembelian.
- Praktek Supply Chain Management berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Indikator dari kinerja perusahaan meliputi produktivitas, pertumbuhan penjualan, serta pangsa pasar.
- Keunggulan bersaing berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Indikator dari keunggulan bersaing delivery dependability, produk inovatif dan time to market.
- Hasil-hasil dalam penelitian ini dan keterbatasan-keterbatasan yang ditemukan agar dapat dijadikan sumber ide dan masukan bagi pengembangan penelitian ini dimasa yang akan datang, maka perluasan yang disarankan dari penelitian ini antara lain adalah: menambah variabel independen yang mempengaruhi praktek Supply Chain Management. Selain itu indikator penelitian yang digunakan dalam penelitian ini hendaknya diperinci untuk dapat menggambarkan bagaimana strategi yang dijalankan dan target yang ditetapkan perusahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
- Meskipun Supply Chain Management memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem produksi dan operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan disikapi oleh perusahaan apabila akan menerapkannya. Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan makro dan juga lingkungan eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang menunjukkan adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu juga kecenderungan konsumen perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan banyak menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola informasi yang bergerak sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk.
Daftar Pustaka
- Chopra, Sunil and Meindl , Peter, 2001, Supply Chain Management: Strategy, Planning and Operating, Prentice-hall.
- Ferdinand, Augusty T. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Edisi II. Semarang: Bp Undip.
- Goyal, S.K., dan Nebebe, F. 2000. Determination of economic production-shipment policy for single-vendor–single-buyer system. European Journal of Operational Research. 121:175-178.
- Goyal, S.K., dan Cardenas-Barrron, L.E. 2001. Note on: ‘An optimal batch size for a production system operating under a just-in-time delivery system’. International Journal of Produciton Economics 72:99.
- Porter, ME, 2006, Competitive advantage: creating and sustaining superior performance. New York. The Free Press productivity-technology dilemma. Boston, MA: The Harvard Business School Press; 1985. p. 63–110.
- Roth A, Miller J. Manufacturing strategy, manufacturing strength, managerial success, and economic outcomes. In: Ettlie J, Burstein M, Fiegehaum A., editors. Manufacturing strategy. Norwell, MA: Kluwer Academic Publishers; 1990.
- Simchi levi, david, 2003, Designing and managing the supply chain, Mac Grawhill.
- Skinner W. The taming of the lions: how manufacturing leadership involved, 1780–1984. In: Clark KB, Hayes R, Lorenz C., editors. The uneasyalliance: managing the.
- Stock GN, Greis NP, Kasarda JD. Enterprise logistics and supplychain structure: the role of fit. Journal of Operations Management 2000;18(5):531–47.
- Studi Industri Kreatif Indonesia, 2008, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025, Departemen Perdagangan RI.
- Suhong Li, Bhanu Ragu-Nathanb, T.S. Ragu-Nathanb, S. Subba Raob, 2006, The impact of supply chain management practices on competitive, The International Journal Management Science.
- TraceyM, Vonderembse MA, Lim JS. Manufacturing technologyand strategyformulation: keys to enhancing competitiveness and improving performance. Journal of Operations Management 2001 ;17(4):411–28.
- VickeryS, Calantone R, Droge C. Supplychain flexibility:an empirical study. Journal of Supply Chain Management 2001 . 9;35(3):16–24.
- Zhang, QY. Technologyinfusion enabled value chain flexibility: a learning and capability-based perspective. Doctoral dissertation, Universityof Toledo, Toledo, OH.
Label:
Majalah Ilmiah
|
3
komentar
Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia
Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011
Baca Selanjutnya - Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia
Volume 2 No. 3, 1 September 2011
Mariana Kristiyanti
Fakultas Ekonomi, Universitas AKI
Abstract
One dimension of business quality in accordance with national production is productivity that can be measured by output dimension of each business unit. Crisis not only leads to the decrease of number of companies, but also affects directly toward company’s output. One of strategic steps to recover decreased economic condition is to make efficient use of Small and Medium Business through the development of business centers facilitated by both financial and non-financial (by forming BDS) reinforcement programs.
Key words: Indonesian Economy, Micro Business, Small and Middle Business
Pendahuluan
Sejak sebelum kemerdekaan ekono-mi Indonesia telah dilihat sebagai suatu perekonomian yang dualistik sebagaimana diungkapkan oleh Boeke. Penjajahan Belanda yang panjang telah mengukuhkan keadaan tersebut dengan dualisme pende-katan pembangunan yang memperkenalkan kegiatan onderneming yang dipisahkan dari perekonomian rakyat sehingga enclave economy hadir, dari perkebunan kemudian meluas sampai pada perusahaan perminyakan dan mastchapai lainnya. Setelah kemerdekaan kita mengenal kegiatan perekonomian rakyat, usaha milik Negara dan usaha swasta dengan keinginan kuat mengembangkan koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai untuk menjadi wadah perekonomian rakyat.
Ketika isu modernisasi mengede-pan dan keterbukaan mulai merasuk ke dalam perekonomian kita, maka perkembangan internasional yang relevan mulai berkembang dalam perjalanan perekonomian kita. Pada awal Repelita III isu usaha formal dan informal mulai berkembang disertai nuansa pembelaan pada produksi dalam negeri dan pengusaha golongan ekonomi lemah. Pada periode berikutnya sejak 1990an tuntutan untuk melepaskan dari karakteristik lemah muncul, sehingga lahir pemikiran tentang usaha kecil. Pemihakan kepada usaha kecil berkembang dan menjadi salah satu perhatian pemerintah hingga datangnya krisis yang meneguhkan lagi kekuatan usaha kecil dan menengah. Indonesia telah menikmati masa pertumbuhan ekononomi yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang, hingga datangnya krisis nilai tukar tereskalasi menjadi krisis multi dimensi yang dimulai akhir tahun 1997. Setelah lima tahun lebih krisis tersebut berlangsung dan hingga akhir 2002 tingkat output agregatpun belum kembali pada tingkat sebelum krisis. Hal ini tentu menimbulkan suatu tanda tanya besar.
Pada awal krisis ketika hampir sebagian besar sistem distribusi dan perdagangan macet memang usaha kecil dan koperasi berhasil digerakkan mengisi kegiatan yang ditinggalkan tersebut. Bahkan kemudian diikuti oleh meningkatnya aktivitas sektor pertanian non-konvensional oleh para pengusaha baru dari mereka yang tergusur dari sektor formal karena terkena pemutusan hubungan kerja. Perkembangan ini sempat memunculkan harapan baru bahwa sektor ekonomi rakyat, usaha kecil dan kegiatan koperasi akan tumbuh lebih cepat karena lingkungan politik dan dukungan yang menguntungkan serta ketersediaan tenaga profesional yang memadai. Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan di beberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi. Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumberdaya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi.
Harapan ini menjadi semakin kuat ketika muncul keberanian untuk mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan UKM. Pergeseran sesaat dalam kontribusi UKM terhadap PDB pada saat krisis yang belum berhasil dipertahankan menyisakan pertanyaan tentang faktor dominan apa yang membuat harapan tersebut tidak terwujud. Berbicara mengenai UKM di Indonesia menganut cakupan pengertian yang luas pada seluruh sektor ekonomi termasuk pertanian, serta menggunakan kreteria aset dan nilai penjualan sebagai ukuran pengelompokan sesuai UU Nomor 9/1995 tentang usaha kecil dan Inpres Nomor 10/1999 tentang pembinaan usaha menengah.
Semangat baru dunia yang menggeluti usaha kecil dan menengah (SME) juga telah berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa depan. Pernyataan ini paling tidak telah menjadi kesadaran baru bagi kalangan pelaku UKM di kawasan Asia Pacific sebagai mana mereka kemukakan di depan para Menteri yang membidangi UKM forum APEC yang bertemu di kota Christchurch New Zealand tahun 1999. Pengalaman, keyakinan dan harapan inilah yang kemudian menggelora menjadi semangat yang terus didengungkan hingga saat ini.
Kendala UKM untuk Menjadi Mesin Pertumbuhan
Memperhatikan analisis pada bagian sebelumnya dapat kita catat bahwa kita belum berhasil mengidentifikasi potensi usaha kecil sebagai motor pertumbuhan ekonomi bagi pemulihan krisis ekonomi. Untuk dapat mencerna secara tepat faktor-faktor yang menjadi kendala bagi ekspansi usaha kecil maka diperlukan pendalaman dengan membuat disagregrasi kelompok usaha kecil. Sebagaimana diketahui sesuai hasil pengolahan data tahun 1995 dari sektor usaha kecil sekitar 97% terdiri dari usaha kecil-kecil (mikro) dengan omset dibawah Rp. 50 juta,-. Dengan demikian mayoritas usaha kecil adalah usaha mikro dan sebagian terbesar berada di sektor pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran.
Masalah mendasar yang membatasi ekspansi usaha kecil adalah realitas bahwa produktivitasnya rendah sebagaimana diperlihatkan oleh nilai tambah/tenaga kerja. Secara keseluruhan perbandingan nilai tambah/tenaga kerja untuk usaha kecil hanya sekitar seperduaratus (1/200) kali nilai tambah/tenaga kerja untuk usaha besar. Jika dilihat periode sebelum krisis dan keadaan pada saat ini ketika mulai ada upaya ke arah pemulihan ekonomi. Pada tahun 2001, mengecil menjadi 0,55. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk menutup gap antara produktivitas UK dan UB malah menjadi semakin tipis, atau jurang perbedaan produktivitas (nilai tambah/tenaga kerja) akan tetap besar.
Sudah menjadi pengertian umum bahwa produktivitas sektor industri, terutama industry pengolahan seharusnya mempunyai nilai tambah yang lebih besar. Sebenarnya sektor pertanian memiliki produktivitas terendah dalam pembentukan nilai tambah terutama di kelompok usaha kecil yang hanya merupakan sekitar tiga perempat produktivitas usaha kecil secara keseluruhan yang didominasi oleh usaha pertanian. Namun pengalaman Indonesia di masa krisis menunjukan, bahwa yang terjadi sebaliknya dengan demikian dalam suasana krisis masih sangat sulit mengharapkan sektor industri kecil kita untuk diharapkan menjadi motor pertumbuhan untuk pemulihan ekonomi. Pembentukan nilai tambah/tenaga kerja untuk kelompok usaha yang sama (usaha kecil) di berbagai sektor dapat menggambarkan potensi peningkatan produktivitas melalui transformasi dari sektor tradisional ke sektor modern misalnya dari sektor pertanian ke sektor industri dan perdagangan. Rasio nilai tambah/TK untuk UK-pertanian dibanding UK-Industri pengolahan mengalami peningkatan dari 0,74 pada tahun 1997 menjadi 0,82 Memahami karakteristik usaha yang ada di Indonesia maka strategi terhadap kelompok usaha yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kinerja penyediaan lapangan kerja adalah antara lain melalui perbaikan produktivitas perusahaan. Prioritas penanganan perbaikan produktivitas perusahaan pada usaha kecil dan menengah dapat diarahkan dengan tiga fokus utama yaitu:
- Sektor industri pengolahan;
- Sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
- Sektor pertanian terutama sub sektor peternakan, perkebunan budidaya laut dan sub sektor hortikultura.
Dilihat dari struktur pelaku usaha menurut skala kegiatan dan karakteristiknya Pemerintah Indonesia harus memilih strategi yang jelas antara orientasi pengembangan usaha kecil-menengah untuk tujuan peningkatan daya saing dan ekspor dan orientasi pengembangan usaha mikro-kecil untuk orientasi penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan yang dapat ditempuh untuk penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskian harus bersifat menyeluruh melalui penguatan dan perluasan lembaga keuangan mikro, LKM-pra koperasi, koperasi simpan pinjam dan BPR. LKM memiliki karakter pendampingan yang memadai sebagai salah satu cara pengamanan kredit, sehingga lebih dekat dengan nasabah dibanding bank-komersial biasa. Untuk meningkatkan kemampuan usaha mikro pada dasarnya dapat dilaksanakan oleh para petugas lapangan lembaga keuangan yang melayanani mereka. Untuk itu peningkatan kapasitas bagi petugas LKM di lapangan dalam hal pembinaan usaha bagi usaha mikro menjadi sangat penting.
Model Struktural Pelaku Ekonomi Indonesia
Seperti lazimnya pengertian pelaku ekonomi dalam pengertian yang telah diterima secara luas adalah produsen, konsumen dan pemerintah. Dalam suatu perekonomian yang terbuka sudah barang tentu lalu lintas barang dan jasa akan menentukan jumlah peredaran barang dan jasa. Oleh karena itu ekspor dan impor yang dilakukan akan turut menentukan tingkat produksi dan penyediaannya. Apalagi bagi perekonomian kita yang lebih dari separuh produksi kita disediakan melalui perdagangan luar negeri (ekspor-impor).
Sejak dilaksanakannya Sensus Ekonomi 1996 upaya untuk melihat produksi nasional secara lebih rinci terus dilakukan. Bahkan sejak 1998 telah berhasil dilakukan perhitungan produk domestik bruto menurut pelaku berdasarkan skala usaha yaitu usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar mengikuti pengelompokan UU 9/1995 dan Impres 10/1999, perhitungan itu dimungkinkan karena adanya kerjasama antara BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM sejak 1999. Meskipun pengelompokan lebih lanjut diperlukan, terutama pemisahan usaha mikro dan UKM, namun perkembangan perhitungan tersebut telah membantu menyadarkan semua pihak akan arti penting dari keberadaan UKM atau sektor ekonomi kecil dalam menopang perekonomian nasional.
Sisi lain yang belum banyak dikembangkan adalah melihat secara lebih rinci dalam sisi komsumsi agregat. Pengenalan pembagian pembentukan model domestik untuk UKM sudah dilakukan secara parsial, dan hal ini menjadi penjelas penting mengapa output dikuasai oleh usaha besar, karena sekitar 51% investasi di tangan perusahaan besar. Kita juga memiliki informasi yang cukup mengenai distribusi rumah tangga berdasarkan pengeluaran, sehingga cukup mampu menyusun pengelompokan pengeluaran oleh masing-masing strata pengeluaran. Upaya semacam ini akan mampu melengkapi analisa struktural perekonomian Indonesia baik dari sisi produksi maupun konsumsi.
Perkembangan Pemikiran Sistem Perekonomian Indonesia
Dalam berbagai model makro untuk merumuskan tujuan perjalanan suatu perekonomian pada dasarnya ditujukan pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pencapaian kesempatan kerja penuh (full employment) dan inflasi yang terkendali. Tiga tujuan kebijakan makro ini pernah menjadi Trilogi Pembangunan pada saat Repelita I (1969-1974) dengan rumusan pertumbuhan, kesempatan kerja dan stabilitas. Kemudian formulasi berikutnya sudah lebih jelas sebagai rumusan politik perekonomian dengan tekanan pada pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan.
Jika dalam realitas kehidupan perekonomian ada dinamika dari waktu kewaktu. Dalam model pertumbuhan kita mengenal jalur pertumbuhan optimal yang mengantar pada masa keemasan atau “golden age”9. Di dalam pencarian tingkat pertumbuhan optimal sendiri sering kita berhadapan dengan persoalan jalur cepat yang menjadikan ekonomi over heated dan mungkin juga pengharapan yang berlebihan. Pelajaran penting yang harus kita petik terhadap teori pertumbuhan ekonomi optimal itu apa ? Jawabnya ternyata teori ini mengajarkan bahwa masa kejayaan atau golden age itu terwujud apabila pertumbuhan itu dapat diusahakan pada tingkat optimal hingga tercapai tingkat konsumsi perkapita yang maksimal sebagai suatu tujuan yang tepat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi sendiri bukan tujuan akhir tetapi indikator pencapian tujuan pada setiap titik dan harus diarahkan agar golden rule ditaati, sehingga tidak mudah terjadi kecelakaan. Dan pertimbangan lain yang lebih penting lagi ada jaminan yang perlu ditegaskan, bahwa tidak ada mereka yang harus hidup di bawah garis kemiskinan kecuali mereka yang dapat dipelihara oleh Negara.
Jika dilihat sejarah perekonomian kita sejak kemerdekaan terlihat adanya pola siklus tujuh tahunan yang menurut berbagai ahli seperti Emil Salim, Franseda, dan Mubyarto sendiri yang mengutip pendapat keduanya dapat dijadikan dasar periodisasi perkembangan perekonomian Indonesia. Sampai dengan akhir 1990an telah dapat dikenali 8 periode perkembangan perekonomian Indonesia yang mencerminkan gerakan pendulum mencari bentuk ke arah bentuk perekonomian yang ideal.
Periodisasi tersebut sekaligus menujukan bahwa sejak awal 1990an kita sudah mulai sadar akan bahaya konsentrasi dan konglomerasi. Dan datangnya krisis pada akhir 1997 memperkuat kesadaran baru untuk membangun ekonomi rakyat. Sehingga periode ini (1994-2001) oleh Mubyarto dinamakan masa Menuju Ekonomi Kerakyatan dan memang benar akhirnya lahir Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat yang mengatur dan memberi pengertian mengenai Sistem Ekonomi Kerakyatan.
Daya Saing Perekonomian Indonesia
Untuk melihat kemampuan suatu negara dalam memenangkan persaingan pada kehidupan pasar global dapat diperhatikan dari indikator makro dan mikro. Secara makro daya saing suatu negara dapat digambarkan oleh tiga macam indek, yaitu: Indek Kemampuan Teknologi; Indek Kelembagaan Publik; dan Indek Lingkungan Makro Ekonomi. Sementara itu pada indikator mikronya dapat dilihat dari Urutan Strategi dan Operasi Perusahaan; dan Urutan Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional. Dalam laporan yang dikutip oleh Adiningsih tersebut memang dibandingkan negara ASEAN lainnya, terutama ASEAN-6, Indonesia berada pada posisi ekstrim di bawah. Hal ini karena baik kinerja makro maupun mikro yang kurang kompetitif antar Negara, sehingga Indonesia tidak kompetitif untuk menarik investasi dari luar negeri. Namun demikian disadari bahwa ekspor Indonesia yang masih terus berlangsung menunjukkan adanya segmen tertentu yang sangat kompetitif dalam persaingan pasar di luar negeri. Untuk melihat keunggulan komperatif dan kompetitif dapat dilihat lebih akurat pada level produk, sehingga perbandingan ini memberikan justifikasi akan perlu tidaknya suatu produk dikembangkan. Namun hal ini merupakan faktor yang tidak dapat ditampung oleh indek kompetitif agregatif dan perlu dilihat dari persfektif kinerja perusahaan sebagai terlihat dalam bagian sebelumnya. Ada tiga faktor penting untuk memperbaiki daya saing yang kesemuanya berada kekuatan internal perusahaan dan berhubungan dengan produktivitas karena pada dasarnya perbaikan daya saing salah satu kuncinya adalah penurunan ongkos. Ketiga faktor dimaksud adalah (i). adanya inovasi dan perbaikan teknologi yang terus menerus menuju penurunan biaya; (ii). pengembangan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk meningkatkan produktivitas dan penghematan waktu; dan (iii). pemanfaatan jaringan kerjasama untuk pengembangan pasar secara meluas. Ketiga instrumen ini menjadi penting untuk meningkatkan akses kepada sumberdaya produktif dan harus dimiliki oleh sebuah perusahaan yang modern meskipun skala kecil. Di samping itu akan mampu mengembangkan pemecahan alternatif karena semakin banyaknya informasi yang dapat dikuasai oleh UKM. Dalam struktur skala perusahaan yang ada di Indonesia maka peran ini pada tahap awal tidak perlu dikerjakan oleh setiap UKM tetapi dapat disediakan oleh lembaga pengembangan usaha dan UKM Maju.
Produktivitas Usaha dan Tenaga Kerja
Salah satu ukuran kualitas kelompok usaha dalam sumbangannya terhadap produksi nasional adalah produktivitas yang dapat diukur dengan ukuran output per unit usaha. Krisis bukan hanya menyebabkan surutnya jumlah perusahaan, namun juga membawa akibat langsung berupa penurunan output perusahaan. Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan secara menyeluruh ini masih terjadi hingga tahun 1999, baru kemudian tumbuh kembali selama tiga tahun terakhir. Demikian juga dengan produktivitas usaha kecil yang terlihat semakin tidak menentu karena dalam tahun 2002 kembali terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan kembali produktivitas perusahaan pertanian, pertambangan dan galian, listrik dan gas, bangunan dan jasa-jasa. Sementara sektor jasa keuangan yang semula terus menurun mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang positif. Salah satu jawaban terhadap perkembangan yang tidak menggembirakan ini adalah karena unit usaha baru yang tumbuh umumnya berskala mikro dan berada di sektor dengan produktivitas rendah. Adalah menarik jika diperhatikan sektor yang memiliki produktivitas tertinggi untuk perusahaan skala kecil adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang nilainya delapanpuluh kali produktivitas usaha kecil sektor pertanian atau empatpuluh kali rata-rata produktivitas usaha kecil secara keseluruhan. Gambaran ini menggambarkan dua hal : (i). sektor pertanian kurang berorientasi nilai tambah tetapi lebih menekankan produktivitas fisik sehingga menjadi ekstrim rendah; dan (ii). sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling produktif dan paling memberikan sumbangan positif bagi pengembangan UKM terutama usaha kecil mikro. Secara empiris cukup banyak bukti yang menunjukkan pentingnya jasa keuangan dan jasa perusahaan yang efisien sebagai faktor penting bagi dukungan pengembangan usaha lebih lanjut.
Gambaran produktivitas usaha pada perusahaan skala menengah sungguh sangat berbeda di mana sektor pertanian memiliki produktivitas usaha yang paling produktif, bahkan hampir empat kali rata-rata produktivitas perusahaan skala menengah secara keseluruhan. pada kelompok ini yang kurang produktif adalah sektor jasa-jasa yang memang umumnya belum mapan benar. Agak berbeda dengan kelompok usaha kecil pada kelompok usaha menengah ini peningkatan produktivitas terasa amat berat kecuali sektor pertanian yang masih tumbuh positif secara konsisten selama empat tahun terakhir. Jika kita amati kinerja produktivitas usaha pada kedua kelompok ini mengisyaratkan perlunya restrukturisasi perusahaan pertanian menuju skala menengah. Hal ini sejalan dengan pemikiran tentang perlunya peningkatan kepadatan investasi pertanian untuk mengejar keuntungan usaha pertanian yang sesuai dengan biaya oportunitas dari tanah pertanian yang harganya semakin meningkat.
Pada perusahaan skala menengah sektor jasa keuangan tidak menempati tempat teratas, namun masih menempati tempat ketiga setelah sektor angkutan dengan yang masih jauh diatas rata-rata keseluruhan sektor. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan jasa keuangan pada dasarnya tidak selalu dapat memanfaatkan keuntungan karena skalanya yang lebih besar, terutama antara skala usaha kecil dan skala usaha menengah. Gambaran ini akan lebih lengkap lagi jika kita kaitkan dengan produktivitas tenaga kerja yang mengindikasikan kemampuan untuk mendukung jaminan hidup yang layak bagi pihak yang terlibat dalam kegiatan dimaksud.
Pendekatan Klaster UKM untuk Peningkatan Daya Saing
Untuk penciptaan basis UKM yang kokoh pendekatan pengembangan Klaster Bisnis/Industri perlu ditumbuh kembangkan. Kehadiran klaster yang senergik dari kegiatan hulu ke hilir, atau antara kegiatan inti (pokok) dengan kegiatan pendukung, penyediaan bahan baku dan outlet pemasaran akan mempercepat dinamika usaha di dalam klaster tersebut, termasuk interaksi dengan usaha besar yang ada di kawasan tersebut atau terkait. Pendekatan klaster ini pada dasarnya untuk mengefektifkan pola pengembangan dengan menjadikannya sebagai titik pertumbuhan bagi bisnis UKM. Inti dari strategi penciptaan klaster yang terpadu dan kokoh adalah membangun suatu sinergi untuk mencapai suatu “broad base economic growth” atau pertumbuhan ekonomi dengan basis yang luas.
Dari sisi dukungan yang diperlukan maka prasyarat utama adalah bahwa dalam semangat otonomi setiap pemerintah daerah harus memberikan dukungan administratif dan lingkungan kondusif bagi berkembangnya bisnis UKM. Ini menjadi mutlak karena dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengaturan pemerintahan dan pembangunan secara lokal berada di daerah. Kebijakan makro dan moneter secara nasional hanya bersifat memberikan arah dan sinyal alokasi sumberdaya dan kesepakatan internasional terhadap dunia bisnis di daerah.
Dukungan lain yang penting adalah dukungan non finansial dalam pengembangan bisnis UKM. Sejumlah praktek terbaik dalam persuasi UKM melalui inkubator, kawasan berikat, konsultasi bisnis maupun hubungan bisnis antar pengusaha dalam klaster harus dijadikan pelajaran untuk mencari kesesuaian dengan jenis kegiatan atau industri dan kultur masyarakat pengusaha, termasuk didalamya pengalaman kegagalan lingkungan industri yang mencoba memindahkan lokasi untuk penciptaan klaster. Klaster yang inovatif akan tumbuh dengan perkembangan kultur yang mendukung. Dukungan pengembangan bisnis semacam ini harus ditumbuhkan menjadi suatu bisnis yang berorientasi komersial. Dan akhirnya dukungan finansial yang meluas harus didasarkan pada prinsip intermediasi yang efesien. Berbagai lembaga pembiayaan yang sesuai harus ditumbuhkan dan menjangkau klaster-klaster yang telah berkembang, sehingga pilar bagi tumbuhnya bisnis UKM yang didukung oleh kesatuan sistem produksi dan keberadaan bisnis jasa pengembangan bisnis serta keuangan menjadi benar-benar hadir di kawasan klaster di maksud. Lembaga pembiayaan dimaksud dapat berupa bank, lembaga keuangan bukan bank dan lembaga-lembaga keuangan masyarakat sendiri (lokal). Dengan dua basis pendekatan tadi akan tercipta lapisan pengusaha yang dapat menjadi lokomotif penarik bagi kemajuan masing-masing lapisan pengusaha. Sasarannya jelas memperbanyak pengusaha mikro yang dapat segera lepas dari tiap usaha mikro dan selanjutnya menjadikan klaster sebagai satuan bisnis yang layak dan mampu berkembang (Viable). Persyaratan ini yang harus dipenuhi untuk menjadikan usaha kecil sebagai fotor pertumbuhan.
Usaha kecil dalam keadaannya yang ada tidak mungkin dijadikan motor pertumbuhan karena populasi terbesar adalah usaha mikro yang pada intinya hanya bersifat subsisten, kecuali mereka yang sudah tumbuh di dalam suatu klaster. Untuk keluar dari jebakan ini maka strategi dasar adalah membebaskan diri untuk keluar dari usaha mikro secara meluas. Untuk pengembangan usaha kecil yang berdaya saing maka pendekatan klaster bisnis usaha kecil/industri kecil dapat dijadikan dasar penciptaan dinamika yang luas bagi penciptaan basis pertumbuhan yang luas (broad base economic growth). Salah satu langkah strategis yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan UKM adalah melalui pengembangan sentra-sentra bisnis, yang difasilitiasi dengan program-program perkuatan baik non financial (pembentukan BDS) maupun financial seperti melalui perguliran dana MAP. Inilah yang menjadi alasan dilalui hanya program perkuatan sentra bisnis UKM melalui pendekatan klaster oleh BPS-KPKM sejak tahun 2001 dan dilanjutkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM mulai tahun 2002 hingga kini yang jumlahnya sudah menjangkau 1000 sentra.
Kewirausahaan : Perbaikan dan Penumbuhan
Persfektif kebutuhan wirausahawan baru yang mendesak selain dilihat dari kenyataan rendahnya pendirian perusahaan baru dibandingkan dengan besarnya ekonomi dan jumlah penduduk, juga didasari atas kenyataan bahwa lebih 97% unit usaha yang ada adalah usaha skala mikro. Ini berarti usaha yang ada di Indonesia dikelola oleh pengusaha dengan kemampuan pengelolaan yang rendah. Sehingga persoalan kebutuhan wirausaha bagi Indonesia mempunyai sasaran yakni mengisi kebutuhan perluasan perusahaan yang ada dan kebutuhan untuk mengembangkan wirausaha baru untuk membuat ekonomi Indonesia lebih kompetitif.
Refleksi di atas terlihat jelas dari kinerja produktivitas perusahaan maupun tenaga kerja di mana sektor keuangan dan jasa perusahaan menampilkan kinerja produktivitas yang tinggi. Faktor penting lain yang menjadi salah satu sebabnya adalah perusahaan yang bergerak di dalam sektor tersebut, terutama jasa keuangan dan jasa perusahaan, dipersyaratkan dalam bentuk badan usaha terutama yang berbadan hukum bagi lembaga keuangan. Mungkin ini relevan dengan kebijakam yamg diambil oleh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra yang terkenal dengan menjadikan sektor informal menjadi formal dalam rangka penciptaan asset. Wirausaha tidak hanya dilahirkan dan ditunggu kelahirannya, oleh karena itu juga dapat di didik dan dilatih untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri setiap orang dalam memecahkan masalah hidupnya. Oleh karena itu aspek pengembangan kecakapan hidup atau lifeskill sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dan dalam mengembangkan wirausaha baru aspek sikap mental menjadi faktor dominan, karena hanya dengan mengembangkan sikap mental maka keberanian dan kesabaran serta kesanggupan untuk menghadapi resiko menjadi lebih tinggi. Faktor yang demikian akan akan meningkatkan kemungkinan untuk berhasil bagi seorang wirausaha baru.
Dari berbagai praktek terbaik yang mengmbangkan wirausaha baru memang dapat bermacam-macam cara sesuai dengan sektor kegiatan yang ditekuni dan lingkungan pasar di mana wira usaha baru ingin dikembangkan. Kasus industri elektronik di Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan peran lembaga inkubasi bisnis sangat dominan, sementara pengalaman pengem Silicon Valley yang melahirkan Bill Gate dan proses pengembangan IT di India dikenal peran Venture Capital Company sangat penting. Sementara Singapura dan Malaysia memperlihatkan kisah sukses yang lain dengan menampilkan peran lembaga Mentor untuk membantu IKM yang ingin masuk ke dalam venture bisnis baru terutama IT. Kesemuanya itu ternyata sangat berhubungan dengan pilihan model kegiatan yang diperkenalkan, sehingga bagi Indonesia yang memberikan pengertian UKM mencakup sektor yang luas instrumen yang berhasil menjadi praktek terbaik tersebut harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.
Secara garis besar ada enam rambu-rambu dalam mengembangkan wirausaha baru berdasarkan praktek terbaik yang teruji secara internasional sebagai berikut (UNCTAD, 2002). Pertama, pembentukan kerangka kondisi dan lingkungan bisnis yang baik bagi tumbuhnya wirausaha baru; Kedua, sistem insentif yang dirancang dengan baik; Ketiga,intervensi pemerintah yang seminimal mungkin tetapi efektif; Keempat, adanya kerjasama yang baik dengan dunia perguruan tinggi; dan Kelima, membangun perusahaan swasta untuk mengembangkan dan mengasuh wirausaha baru atau development of private business to foster entrepreneurship. Dari kelima praktek terbaik dalam pembangunan kewirausahaan tiga diantaranya adalah bersifat kebijakan umum yang harus digariskan.
Kerjasama yang ideal dalam menumbuhkan wirausaha adalah perlunya kerjasama yang erat antara perguruan tinggi dan perusahaan swasta, mengingat ke dua lembaga tersebut mempunyai dua karakter yang saling melengkapi yang diperlukan untuk membentuk karakter wirausaha. Kombinasi antara ciri mengejar keuntungan dan kepuasan untuk mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat untuk kemajuan. Kombinasi ke dua lembaga dengan orientasi yang berbeda dalam pengalaman dapat menghasilkan sinergi yang maksimal. Khusus dalam hal pengembangan wirausaha melalui cara inkubasi bisnis kerjasama tiga pihak dalam hal ini didukung oleh intervensi pemerintah yang tepat juga menjadi model terbaik di berbagai negara.
Hal yang baru yang menjadi kepedulian para ahli UNCTAD adalah peran swasta untuk menumbuhkan wirausaha baru. Karena hal ini sangat penting dan sesuai dengan kondisi Indonesia di mana perusahaan swasta yang sukses pada dasarnya dapat membuka diri bertindak sebagai inkubator atau mentor bagi pengusaha baru. Hal ini sekaligus dapat dilaksanakan dalam kaitannya untuk memecahkan masalah hubungan perbankan dan jaminan pasar selain sebagai tempat magang dalam hal ketrampilan teknik berproduksi dan kemampuan manajerial. Oleh karena itu dorongan kepada perusahaan swasta yang berhasil untuk dapat menjadi lembaga pengembangan wirausaha baru. Dorongan untuk memanfaatkan perusahaan swasta yang berhasil bagi penumbuhan wirausaha baru diduga juga berkaitan dengan semakin kuatnya temuan dan pengalaman praktis yang menyebutkan sumber pembiayaan bagi usaha kecil yang baru di luar modal sendiri dan keluaraga berasal dari apa yang disebut dengan angle capital yang berhasil diadakan atau diatur oleh pihak tertentu (UNCTAD, 2002). Sehingga apabila perusahaan swasta bersedia menjadi orangtua asuh bagi pengusaha baru dapat memainkan peran penyedian modal serupa dan melalukan pemindahan ke dalam portofolio pembiayaan bank karena mereka telah mendapat kepercayaan.
Akhirnya segenap praktek terbaik yang telah digambarkan di muka dalam menumbuhkan wirausaha baru diperlukan komitmen untuk melaksanakannya. Jika sasaran kebutuhan wirausaha baru telah menjadi kebutuhan kita, maka yang diperlukan program aksi pada tingkat daerah. Program aksi dimaksud dapat diterjemahkan dalam tingkat yang paling bawah bahwa setiap enam orang penduduk perlu memiliki seorang pengusaha yang bergerak di luar kegiatan pertanian dalam arti sempit (kurang berorientasi komersial). Atau setiap desa harus melahirkan pengusaha baru seorang sebulan, bukankah ini tantangan yang berat? Ke depan Indonesia menghadapi persoalan mendesak dalam menumbuhkan usaha baru untuk memungkinkan dukungan bagi pemulihan ekonomi dan keikutsertaan dalam pasaran global. Salah satu elemen terpenting bagi tumbuhnya usaha baru yang produktif adalah tersedianya wirausaha baru yang cukup banyak. Hal ini dimungkinkan apabila terdapat lingkungan yang kondusif, intervensi pemerintah yang tepat dan sistem insentif yang sesuai. Namun yang lebih penting adalah menumbuhkan kerjasama perguruan tinggi dan perusahaan dalam pengembangan wirausaha serta kesediaan perusahaan swasta menjadi orang tua asuh bagi wirausaha baru dalam skema jasa pengembangan bisnis. Sektor jasa keuangan dan jasa perusahaan mempunyai posisi strategis untuk didorong pengembangannya sejalan dengan semangat desentralisasi.
Posisi Strategis Sub-Sektor Jasa Perusahaan
Pengalaman perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan skala kecil dan menengah selama krisis memberikan dukungan terhadap pilihan strategi yang pernah dirumuskan oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) pada tahun 2001 yang menekankan pada perkuatan dukungan pengembangan (development supports) pada titik-titik pertumbuhan UKM (sme-clusters)dengan konsep pasar. Karena sektor yang produktif dan menyediakan jasa bagi pengembangan usaha untuk para pengusaha kecil dan menengah akan menjadi pendorong bagi perbaikan produktivitas UKM di sektor yang telah berhubungan dengannya. Secara khusus dukungan pengembangan yang diidentifikasi oleh BPS-KPKM adalah jasa pengembangan usaha yang terdiri dari jasa konsultan teknologi, manajemen dan pemasaran oleh lembaga penyedia BDS (Business Development Services) serta jasa perusahaan lainnya yang diperkuat oleh lembaga keuangan mikro untuk menjembatani menuju pelayanan lembaga keuangan/perbankan modern. Bahkan ketika itupun referensi secara internasional baru menempatkan klaster sebagai pengalaman pengembangan industri yang baik untuk dipertimbangkan (UNCTAD, 1999).
Kunci penggerak untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dalam melaksanakan strategi dimaksud adalah sub-sektor jasa perusahaan yang tergabung di dalam sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan. Sub-sektor ini mempunyai sumbangan yang penting dalam pembentukan PDB (1,30-2,00%) dan kualitas nilai tambah. Kinerja ini menonjol karena kandungan IPTEK dan Good Corporate Governance yang tinggi dibanding sektor lain kecuali sub-sektor jasa keuangan. Sub-sektor jasa perusahaan memang masih jauh dari perhatian kita dalam pengembangan UKM. Padahal produk jasa yang dihasilkan adalah vital bagi kemajuan perusahaan dan pengembangan hubungan bisnis baik lokal maupun internasional.
Kegiatan yang termasuk dalam sub-sektor jasa perusahaan antara lain : Jasa Konsultasi Piranti Keras; Jasa Konsultasi Piranti Lunak; Pengolahan Data; Perawatan Reparasi Mesin Kantor, Komputer, dll; Penelitian dan Pengembangan; Rekayasa Teknologi; Jasa Hukum; Jasa Akuntansi dan Perpajakan; Jasa Riset Pemasaran; Jasa Konsultasi Bisnis dan Manajemen; Jasa Konsultasi Enginering Dll; Analisis dan Testing; Jasa Periklanan; Seleksi Tenaga Kerja; Fotocopy dll.
Posisi penting sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan untuk peningkatan produktivitas dapat dilihat dari berbagai persfektif. Ciri-ciri yang dimiliki oleh kegiatan yang ada di dalam sub-sektor ini yaitu :
- Harus memenuhi persyaratan legal (badan hukum, ijin, persyaratan teknis);
- Di kelola oleh kelompok profesional;
- Interaksi dengan dunia bisnis yang luas;
- Kandungan IPTEK tinggi;
- Terbiasa dengan hubungan kontraktual yang lugas;
- Relatif lebih transparan di banding kelompok lain;
- Adanya pengawasan dari luar yang kuat baik oleh sistem pengawasan intern dan ekstern maupun oleh pengguna jasa.
Kebijakan Pembiayaan dan Perbankan
Modal adalah penting tetapi bukan segalanya! Itulah ungkapan yang selalu dinasehatkan oleh para ahli yang meneliti pembiayaan bagi para pengusaha. Sebaiknya setiap kali kita melakukan interview kepada pengusaha terutama pengusaha kecil jawabnya pasti kekurangan modal, sehingga usahanya tidak maju. Gambaran menjadi lain pula ketika membaca berita di media masa bahwa dana sedang berada di perbankan sangat besar dan penyediaan kredit bagi pengembangan usaha tersedia. Jika dari biasanya yang sebenarnya terjadi? Untuk memahami persoalan ini kita perlu melihat pembiayaan usaha bagi para pengusaha. Pada dasarnya pemberdayaan usaha oleh pelaku ekonomi lapis bawah memang bertumpuh pada kemandirian dan kekerabatan, kemudian pada tahap berikutnya secara kelembagaan yang masih bersifat lokal dan imformal. Namun di masa lalu juga terdapat lembaga formal pada tingkat desa yang merupakan bagian penting dari pemberdayaan bagi ekonomi lapis bawah di pedesaan yang melekat pada pemerintahan di desa. Kemudian pada tahap berikutnya masuklah pasar keuangan pedesaan melalui koperasi, program pemerintah dan perbankan.
Mengutip laporan BPS Dibyo Prabowo menegaskan kembali bahwa 35,10% UKM menyatakan kesulitan permodalan, kemudian diikuti oleh kepastian pasar 25,9% dan kesulitan bahan baku 15,4%. Jika kita ikuti jawaban tersebut sebenarnya kesulitan permodalan adalah resultante dari kesulitan mendapatkan kepastian pasar karena ketidakmampuan menjamin kepastian produksi. Oleh karena itu pemecahan masalah pembiayaan UKM tidak sebatas masalah kekurangan modal, sehingga diperlukan pemecahan yang komprehensif. Hal yang mungkin agak kurang dipahami adalah praktek terbaik dimanapun pembiayaan usaha, terutama pemula, selalu didahului dengan sumber modal sendiri atau modal keluarga atau jika tidak bersumber dari angle Capital18 yang dasarnya adalah kepercayaan dan kegigihan si pelaku. Dalam hal demikian sebenarnya yang harus juga menjadi perhatian kita adalah usaha yang menyediaakan jasa untuk memecahkan pembiayaan usaha kecil hingga sampai pada perbankan. Pembiayaan bagi UKM di negara berkembang pada umumnya masih diharapakan dari perbankan.
Di sisi lain perubahan paradigma pemberian dukungan pembiayaan UKM dari kredit program kepada mekanisme pasar jasa keuangan akibat perubahan UU 23/1999 tentang Bank Indonesia dan berbagai rencana program pemulihan ekonomi yang tercantum dalam nota kesepakatan dengan IMF telah memberikan pelajaran baru. Sejak akhir 1999 semua kredit program dihentikan, sehingga Pemerintah mengubah dukungannya dari memberikan subsidi dan penjaminan pada kredit program sektoral perbankan (seperti BIMAS, KKPA dll.) menjadi dukungan perkuatan LKM terutama KSP/USP sejak tahun 2002 sebagai mekanisme fiskal biasa. Hal ini diharapkan relatif tidak menimbulkan distorsi pasar keuangan mikro kecuali hanya memperkuat para pelaku untuk semakin kompetitif dan memperluas jangkauan Meskipun stimulan fiskal untuk LKM ini baru menjangkau sekitar 15-20 persen LKM, namun telah mendorong tumbuh kembangnya kekuatan kredit mikro non bank. Sebagai pelaku mereka termasuk dalam sektor keuangan. Apabila perkembangan ini menjadi instrumen perkuatan yang efisien, maka instrumen fiskal untuk perkuatan LKM akan terbukti lebih efektif disertai dengan tingkat distorsi yang rendah sehingga dapat menjadi pilihan baru bentuk intervensi yang ramah pasar.
Secara garis besar, kebijakan perbankan terdiri dari: (1) program penyehatan perbankan, meliputi penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan; (2) pemantapan ketahanan sistem perbankan yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan good corporate governance dan penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank; (3) upaya pengembangan UMKM dalam rangka pemulihan fungsi intermediasi perbankan.
Berdasarkan Laporan Perekonomian Bank Indonesia tahun 2003, peran Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu: (1) kebijakan kredit perbankan; (2) pengembangan kelembagaan; dan (3) pemberian bantuan teknis. Keterbatasan UMKM dalam memperoleh pelayanan kepada sektor perbankan merupakan salah satu kendala belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Menyikapai hal tersebut, selama tahun 2003, upaya yang ditempuh Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM lebih ditekankan pada upaya peningkatan akses UMKM kepada sektor perbankan. Melalui pendekatan kebijakan kredit, upaya yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan senantiasa mendorong bank umum dan BPR untuk meningkatkan penyaluran kredit UMKM sesuai dengan rencana bisnis masing-masing bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Pada pendekatan kelembagaan, salah satu upaya BI dalam mencari solusi bagi peningkatan fungsi intermediasi perbankan dan pemulihan sektor riil dilakukan dengan menyelenggarakan Forum Dialogis Kawasan Barat Indonesia (FD-KBI) pada 21-23 Pebruari 2003 di Sumatera Barat. Forum tersebut merupakan pertemuan tripartit antara pemerintah, perbankan dan pelaku usaha, serta merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada 8-11 November 2002 di Sulawesi Selatan.
Salah satu rekomendasi dan solusi yang dihasilkan dalam FD-KBI adalah upaya pemanfaatan dan pengembangan lembaga penjaminan kredit untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi nasabah UMKM yang relatif tidak atau kurang bankable, meskipun memiliki usaha yang layak. Kemudian di ikuti dengan seminar dan diskusi terfokus mengenai lembaga penjamin kredit, dan dihasilkan rumusan penting yaitu ”pemberdayaan dan penguatan lembaga penjamin kredit yang telah ada, yang didukung oleh perangkat hukum yang memadai.
Disamping itu, Bank Indonesia juga terus menyelenggarakan bazar intermediasi yang bertujuan untuk mempertemukan bank dengan UKM. Untuk mendukung pengembangan UMK, BI memperluas perannya dalam pemberian bantuan teknis yang selama ini hanya diberikan kepada bank. Upaya tersebut dirumuskan dalam PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang pemberian bantuan teknis dalam rangka pengembangan UMK yang menekankan pada upaya mengatasi keterbatasan kemampuan aksesabilitas UMK ke lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Lembaga Keuangan Mikro
Selama ini berbagai upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat. Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak.
Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga hanya 12 % UKM akses terhadap kredit bank karena :
- Produk bank komersial tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM.
- Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM.
- Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi.
- Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal, dll).
- Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity.
- Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien.
- Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UKM mahal.
- Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya. Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya akan ragam model pembiayaan mikro. Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga pelaksananya, bahkan juga sejarah pengenalannya kepada masyarakat. Oleh karena itu kekayaan ini tidak bakal dibiarkan begitu saja dan disia-siakan untuk tidak diberikan tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi.
Memang disadari bahwa pengertian kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Demikian latar belakang program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan kecil.
Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.
Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu juga kaitan dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh para pelaku usaha. Ciri pasar kredit mikro adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro.
Berdasarkan nilai kredit maka besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah dapat digolongkan kedalam kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US $ 1000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative (BAAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath 100.000/nasabah atau setara dengan US $ 2.500,-. Dengan demikian kredit mikro pada dasarnya menjangkau pada pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha dengan perputaran yang cepat.
Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar yakni Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang Kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga baik pemerintah seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa :
- Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM).
- Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM).
- Mandiri dan mengakar di masyarakat.
- Jumlah cukup banyak dan penyebaran nya meluas.
- Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat.
- Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya (tanpa agunan).
- Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin.
- Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders).
- Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan;
- LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan pelayanannya sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak ada memerlukan subsidi. Disamping itu secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan lebih penting dan mengenal orang dan memahami nasabah serta cash flow sebagai pengganti kollateral phisik. Pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran.
Lembaga keuangan mikro lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.
Bentuk lain kredit mikro yang diakui keberhasilannya oleh dunia adalah pola Grameen Bank yang dirancang untuk memecahkan Perkreditan bagi keluarga miskin. Modal ini terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin di Bangladesh, sehingga dianggap sangat sesuai untuk memecahkan penyediaan modal bagi penciptaan kegiatan produktif untuk penduduk miskin. Mat Syukur (2001) dalam hasil studinya mengemukakan bahwa Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan reflikasi gremeen bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran, namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit mikro lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model yang tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.
Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the world, maka Grameen Bank adalah The Best Social Banking System, perbedaannya terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha secara komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan BRI-Unit. Sementara Grameen Bank terletak pada kemampuannya untuk menjangkau masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa serta memanfaatkan mekanisme perbankan yang biasa, meskipun akhirnya juga dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar kedua setelah BRI-Unit, struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, oleh karena itu daya dobraknya tidak dapat kelihatan meluas dan terkesan kurang produktif. Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup luas karena :
- Usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada;
- LKM berada di tengah masyarakat;
- Ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi didaerah, terutama di pedesaan;
- Dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank :
- Tidak memiliki persyaratan yang memadai;
- Tidak memiliki agunan yang cukup;
- Biaya transaksinya mahal/tinggi;
- Lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya.
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar kelompok usaha mikro belum dapat dilayani oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha produktif masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja.
Arah dan Strategi Pengembangan LKM
Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui :
- Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
- Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
- Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Laur Negeri, dll);
- Optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
- Peningkatan Capacity Building LKM;
- Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
- Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
- BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring :
- Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
- Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.
Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada tiga langka yang harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjaman dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan efektif; Ketiga, perlu dikembangkan sistem asuransi tabungan anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga keuangan pendukung lainnya. Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman dalam hal ini bank akan memperkuat kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.
Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan permodalan : P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan Subsidi BBM, MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus diupayakan, pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan, penilaian kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan, pengembangan pola dan lembaga penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK di masa lalu (track record). Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan :
- Mengatasi status legal agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
- Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
- Pengembangan jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.
Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas akan membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), serta model Baitul Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi Pondok Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu’awanah dan Lembaga Pengelolah Zakat yang mengembangkan program ekonomi produktif bagi penerima zakat ini akan berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri.
Posisi LKM dalam pemberdayaan UKM, terutama usaha mikro sangat strategis karena 97% usaha kecil adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Perkuatan LKM selain menyangkut dengan lemahnya SDM juga tidak adanya jaringan yang memungkinkan terjadinya inter lending. Disamping itu pengembangan UKM memerlukan kehadiran lembaga pendukung agar posisi LKM, penabung dan peminjam terlindungi dari berbagai resiko. Lembaga keuangan mikro dapat didudukkan sebagai energi pemberdayaan UKM, terutama untuk pembentukan proses nilai tambah dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.
Lembaga Keuangan Syariah
Pada dasarnya perbuatan muamalat yang ditujukan untuk kebaikan hubungan berekonomi sesama manusia harus mengandung ciri untuk kemaslahatan umum. Oleh karena itu seharusnya kita melihat kehadiran sistem syariah dalam transaksi antar individu dan lembaga harus kita tempatkan dalam kontek pasar, yaitu karena adanya kebutuhan dan ketersediaan serta dipilih atas dasar pertimbangan rasional dan moral untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Karena perekonomian syariah dilandasi atas prinsip kesempurnaan kehidupan diantara kebutuhan lahiriah dan rohaniah dalam bertransaksi sesama hamba Allah maupun lembaga yang mereka buat, maka kerelaan atau “ridho” menjadi fundamen dasar setiap transaksi dua pihak atau lebih.
Perdebatan ekonomi syariah sering dipersempit dalam konteks pada “bunga bank” sebagai riba atau bukan, sementara dimensi lain selain “riba” kurang diberikan pembahasan secara seimbang. Selain “riba” terdapat dua aspek penting yakni unsur ada tidaknya judi atau “maisir” yang sangat berkaitan dengan aspek resiko dan ketidakpastian serta ada tidaknya unsur kecohan (tipuan) yang dikenal sebagai hal yang mengandung unsur “gharar”. Ketiga unsur yang menjadi dasar perbuatan transaksi atau “baia” mempunyai arti yang penting untuk menilai subtansi suatu transaksi dapat digolongkan memenuhi syarat syariah atau tidak.
Pengkajian ekonomi syariah secara umum masih didominasi oleh kupasan dari dimensi “fiqih” dan ”administrasi pembangunan” bukan kupasan ilmu ekonomi dan nilai subtansi ajaran islam dalam menjelaskan perilaku individu muslim sebagai pelaku ekonomi. Padahal beberapa kajian empiris oleh para ahli ekonomi juga telah banyak menemukan adanya perbedaan perilaku masyarakat muslim yang tercermin dalam tingkah laku ekonominya (Metwali). Tantangan besar bagi para ekonom adalah terus mengkaji kedudukan moral ekonomi islam atau sistem ekonomi syariah dan bagaimana interaksi dengan sistem yang lain dalam dunia global.
Apabila kita simak secara mendalam ajaran berekonomi dalam Al-qur’an dilandasi oleh suatu sikap bahwa tiada pemisahan antara ekonomi dan keberagamaan seseorang. Mencari nafkah adalah bagian dari ibadah dan tiada pemisahan antara agama dan kehidupan dunia. Dari titik tolak ini akan melahirkan dua konsekuensi yaitu : pertama, perlunya pembentukan sikap oleh seorang individu akan penguatan hidup dan pencarian kebaikan di dunia atau dalam hubungannya dengan bumi dan alam; kedua, soal pemilihan pribadi, sampai dimana batas dan tujuannya. Konsekuensi dasar pertama memerlukan pada sikap keharusan hidup bersahaja yang menjadi dasar hidup seorang muslim untuk menghindari sikap hidup yang boros dan bermewah-mewahan. Dengan demikian prinsip kemanfaatan didasarkan atas pemenuhan kesejahteraan lahiriyah dan rohhaniah.
Jika prinsip ekonomi syariah sebagai dasar muamalat, maka seharusnya kita jangan buru-buru terpaku pada institusi. Institusi dengan berbagai karakter dan prinsip yang mengawal.
Kesimpulan
Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan secara menyeluruh membawa akibat secara langsung berupa penurunan output perusahaan Demikian juga dengan produktivitas usaha kecil yang terlihat semakin tidak menentu karena dalam tahun 2002 untuk kesekian kalinya kembali terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan adalah produktivitas perusahaan pertanian, pertambangan dan galian, listrik dan gas, bangunan dan jasa-jasa. Kondisi tersebut telah menggerakkan pengembangan KSP dan LKM yang diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan peningkatan produktivitas usaha. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan.
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar kelompok usaha mikro belum dapat dilayani oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha produktif masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas diharapkan dapat membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan.
Daftar Pustaka
- A.R. Karseno Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Pengaruh 3 Pranata (Institusi) pada penerapan teori economic Neo-klasik, tanggal 7 Pebruari 2004.
- Dibyo Prabowo : Developent of Small and Medium-sized Enterprise, makalah pada seminar The Tokyo seminar on Indonesia 25-26 Agustus 2004 di Tokyo Jepang.
- Stillman, Robert D ; Equity Financing for Technology, makalah pada Expert meeting on improving the competitiveness of SME through enhancing productive capacity : financing for technology 28-30 october 2002.
- Lian, Daniel, Capital Creation-The Next Step Up ?, dalam Thailand Economics, Januari 16, 2003.
- Soetrisno, Noer : Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial, STEKPI, Jakarta, Indonesia 2003.
- Adiningsih, Sri, The Indonesia Business Rop in AFTA, Indonesia Business Perspective, Volume V, No. 3, PT. Harvest International Indonesia, March, 2003, hal 20.
- Mubyarto, Pemberdayaan ekonomi rakyat dan peranan ilmu-ilmu sosial, BPFE, Yogyakarta 2001 hal 31.
- Neher, Philip A : Economic Growth and Development : A Mathematical Introduction, John Wiley & Sons, Inc, New York, Hal 207-255.
- Hadi Soesastro , M. N Haidi A. Pasay dan Julius A. Mulyadi : Pertumbuhan Ekonomi, Perubahan Struktural dan Perilaku Konsumen, Jurnal Ekonomi Indonesia, Agustus 1996.
Label:
Majalah Ilmiah
|
1 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)