Pengunjung

Kategori

Entri Populer

User Login


  • Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  • Mecetak Sumber Daya Manusia yang kompetitif di dunia kerja.
  • Unggul dalam Pengetahuan dan Teknologi.
  • Membangun manusia Indonesia yang tangguh.

Kamis, 01 September 2011

Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia

Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 2 No. 3, 1 September 2011

Mariana Kristiyanti
Fakultas Ekonomi, Universitas AKI

Abstract

One dimension of business quality in accordance with national production is productivity that can be measured by output dimension of each business unit. Crisis not only leads to the decrease of number of companies, but also affects directly toward company’s output. One of strategic steps to recover decreased economic condition is to make efficient use of Small and Medium Business through the development of business centers facilitated by both financial and non-financial (by forming BDS) reinforcement programs.

Key words: Indonesian Economy, Micro Business, Small and Middle Business 

Pendahuluan

Sejak sebelum kemerdekaan ekono-mi Indonesia telah dilihat sebagai suatu perekonomian yang dualistik sebagaimana diungkapkan oleh Boeke. Penjajahan Belanda yang panjang telah  mengukuhkan  keadaan  tersebut  dengan  dualisme  pende-katan  pembangunan  yang memperkenalkan  kegiatan onderneming  yang  dipisahkan  dari  perekonomian  rakyat sehingga enclave  economy  hadir,  dari  perkebunan  kemudian  meluas  sampai  pada perusahaan  perminyakan  dan  mastchapai    lainnya.  Setelah  kemerdekaan  kita  mengenal kegiatan  perekonomian  rakyat,  usaha  milik  Negara  dan  usaha  swasta  dengan  keinginan kuat  mengembangkan  koperasi  sebagai  bangun  perusahaan  yang  sesuai  untuk  menjadi wadah perekonomian rakyat. 

Ketika  isu  modernisasi  mengede-pan  dan  keterbukaan  mulai  merasuk  ke  dalam perekonomian  kita,  maka  perkembangan  internasional  yang  relevan  mulai  berkembang dalam perjalanan perekonomian kita. Pada awal Repelita III isu usaha formal dan informal mulai berkembang disertai nuansa pembelaan pada produksi dalam negeri dan pengusaha golongan  ekonomi  lemah.  Pada  periode  berikutnya  sejak  1990an  tuntutan  untuk melepaskan dari karakteristik lemah muncul, sehingga lahir pemikiran tentang usaha kecil. Pemihakan kepada usaha kecil berkembang dan menjadi salah satu perhatian pemerintah hingga datangnya krisis yang meneguhkan lagi kekuatan usaha kecil dan menengah. Indonesia telah menikmati masa pertumbuhan ekononomi yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang, hingga datangnya krisis nilai tukar tereskalasi menjadi krisis multi dimensi yang dimulai akhir tahun 1997. Setelah lima tahun lebih krisis tersebut berlangsung dan hingga akhir 2002 tingkat output agregatpun belum kembali pada tingkat sebelum krisis. Hal ini tentu menimbulkan suatu tanda tanya besar. 

Pada  awal  krisis  ketika  hampir  sebagian  besar  sistem  distribusi  dan  perdagangan  macet memang usaha kecil dan koperasi berhasil digerakkan mengisi kegiatan yang ditinggalkan tersebut.  Bahkan  kemudian  diikuti  oleh  meningkatnya  aktivitas  sektor  pertanian  non-konvensional  oleh  para  pengusaha  baru  dari  mereka  yang  tergusur  dari  sektor  formal karena  terkena  pemutusan  hubungan  kerja.  Perkembangan  ini  sempat  memunculkan harapan  baru  bahwa  sektor  ekonomi  rakyat,  usaha  kecil  dan  kegiatan  koperasi  akan tumbuh lebih cepat karena lingkungan politik dan dukungan  yang menguntungkan serta ketersediaan tenaga profesional yang memadai. Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan  kelangsungan  usahanya,  bahkan  memainkan  fungsi  penyelamatan  di beberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan  kebutuhan  pokok  rakyat  melalui  produksi  dan  normalisasi  distribusi.  Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai  sebagian  kecil  sumberdaya  akan  kemampuannya  untuk  menjadi  motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. 

Harapan  ini  menjadi  semakin  kuat  ketika  muncul  keberanian  untuk  mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan  UKM. Pergeseran sesaat dalam  kontribusi UKM terhadap PDB pada saat krisis yang belum berhasil dipertahankan menyisakan pertanyaan tentang  faktor  dominan  apa  yang  membuat  harapan  tersebut  tidak  terwujud.  Berbicara mengenai UKM di Indonesia menganut cakupan pengertian yang luas pada seluruh sektor ekonomi termasuk pertanian, serta menggunakan kreteria aset dan nilai penjualan sebagai ukuran pengelompokan sesuai UU Nomor 9/1995 tentang usaha kecil dan Inpres Nomor 10/1999 tentang pembinaan usaha menengah.

Semangat  baru  dunia  yang  menggeluti  usaha  kecil  dan  menengah  (SME)  juga  telah berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa depan.  Pernyataan  ini  paling  tidak  telah  menjadi  kesadaran  baru  bagi  kalangan  pelaku UKM di kawasan Asia Pacific sebagai mana mereka kemukakan di depan para Menteri yang membidangi UKM forum APEC  yang bertemu di kota Christchurch New Zealand tahun  1999.  Pengalaman, keyakinan dan harapan inilah yang kemudian menggelora menjadi semangat yang terus didengungkan hingga saat ini.

Kendala UKM untuk Menjadi Mesin Pertumbuhan

Memperhatikan  analisis  pada  bagian  sebelumnya  dapat  kita  catat  bahwa  kita  belum berhasil  mengidentifikasi  potensi  usaha  kecil  sebagai  motor  pertumbuhan  ekonomi  bagi pemulihan krisis ekonomi. Untuk dapat mencerna secara tepat faktor-faktor yang menjadi kendala  bagi  ekspansi  usaha  kecil  maka  diperlukan  pendalaman  dengan  membuat disagregrasi kelompok usaha kecil. Sebagaimana diketahui sesuai hasil pengolahan data tahun  1995  dari  sektor  usaha  kecil  sekitar  97%  terdiri  dari  usaha  kecil-kecil  (mikro) dengan omset dibawah Rp. 50 juta,-. Dengan demikian mayoritas usaha kecil adalah usaha mikro  dan  sebagian  terbesar  berada  di  sektor  pertanian  dan  perdagangan,  hotel  dan restoran. 

Masalah  mendasar  yang  membatasi  ekspansi  usaha  kecil  adalah  realitas  bahwa produktivitasnya rendah sebagaimana diperlihatkan oleh nilai tambah/tenaga kerja. Secara keseluruhan  perbandingan  nilai  tambah/tenaga  kerja  untuk  usaha  kecil  hanya  sekitar seperduaratus  (1/200)  kali  nilai  tambah/tenaga  kerja  untuk  usaha  besar.  Jika  dilihat periode  sebelum  krisis  dan  keadaan  pada  saat  ini  ketika  mulai  ada  upaya  ke  arah pemulihan  ekonomi.  Pada  tahun  2001,  mengecil  menjadi  0,55.  Hal  ini  menunjukkan bahwa  potensi  untuk  menutup  gap  antara  produktivitas  UK  dan  UB  malah  menjadi semakin tipis, atau jurang perbedaan produktivitas (nilai tambah/tenaga kerja) akan tetap besar.

Sudah  menjadi  pengertian  umum  bahwa  produktivitas  sektor  industri,  terutama  industry pengolahan  seharusnya  mempunyai  nilai  tambah  yang  lebih  besar.  Sebenarnya  sektor pertanian  memiliki  produktivitas  terendah  dalam  pembentukan  nilai  tambah  terutama  di kelompok  usaha  kecil  yang  hanya  merupakan  sekitar  tiga  perempat  produktivitas  usaha kecil  secara  keseluruhan  yang  didominasi  oleh  usaha  pertanian.  Namun  pengalaman Indonesia  di  masa  krisis  menunjukan,  bahwa  yang  terjadi  sebaliknya  dengan  demikian dalam  suasana  krisis  masih  sangat  sulit  mengharapkan  sektor  industri  kecil  kita  untuk diharapkan menjadi motor pertumbuhan untuk pemulihan ekonomi. Pembentukan nilai tambah/tenaga kerja untuk kelompok usaha yang sama (usaha kecil) di berbagai  sektor  dapat  menggambarkan  potensi  peningkatan  produktivitas  melalui transformasi  dari  sektor  tradisional  ke  sektor  modern  misalnya  dari  sektor  pertanian  ke sektor  industri  dan  perdagangan.  Rasio  nilai  tambah/TK  untuk  UK-pertanian  dibanding UK-Industri pengolahan mengalami peningkatan dari 0,74 pada tahun 1997 menjadi 0,82 Memahami  karakteristik  usaha  yang  ada  di  Indonesia  maka  strategi  terhadap  kelompok usaha yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kinerja penyediaan lapangan kerja adalah antara  lain  melalui  perbaikan  produktivitas  perusahaan.  Prioritas  penanganan  perbaikan produktivitas  perusahaan  pada  usaha  kecil  dan  menengah  dapat  diarahkan  dengan  tiga fokus utama yaitu: 
  1. Sektor industri pengolahan;
  2. Sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
  3. Sektor  pertanian  terutama  sub  sektor  peternakan,  perkebunan  budidaya  laut  dan  sub sektor hortikultura.
Dilihat dari struktur pelaku usaha menurut skala kegiatan dan karakteristiknya Pemerintah Indonesia harus memilih strategi  yang jelas  antara orientasi pengembangan usaha kecil-menengah untuk tujuan peningkatan daya saing dan ekspor dan orientasi pengembangan usaha  mikro-kecil  untuk  orientasi  penciptaan  lapangan  kerja  dan  penanggulangan kemiskinan.  Kebijakan  yang  dapat  ditempuh  untuk  penciptaan  lapangan  kerja  dan penanggulangan  kemiskian  harus  bersifat menyeluruh  melalui  penguatan  dan  perluasan lembaga  keuangan  mikro,  LKM-pra  koperasi,  koperasi  simpan  pinjam  dan  BPR.  LKM memiliki  karakter  pendampingan  yang  memadai  sebagai  salah  satu  cara  pengamanan kredit,  sehingga  lebih  dekat  dengan  nasabah  dibanding  bank-komersial  biasa.  Untuk meningkatkan  kemampuan  usaha  mikro  pada  dasarnya  dapat  dilaksanakan  oleh  para petugas  lapangan  lembaga  keuangan  yang  melayanani  mereka.  Untuk  itu  peningkatan kapasitas  bagi  petugas  LKM  di  lapangan  dalam  hal  pembinaan  usaha  bagi  usaha  mikro menjadi sangat penting.

Model Struktural Pelaku Ekonomi Indonesia

Seperti lazimnya pengertian pelaku ekonomi dalam pengertian yang telah diterima secara luas  adalah  produsen,  konsumen  dan  pemerintah.  Dalam  suatu  perekonomian  yang terbuka sudah barang tentu lalu lintas barang dan jasa akan menentukan jumlah peredaran barang dan jasa. Oleh karena itu ekspor dan impor yang dilakukan akan turut menentukan tingkat  produksi  dan  penyediaannya.  Apalagi  bagi  perekonomian  kita  yang  lebih  dari separuh produksi kita disediakan melalui perdagangan luar negeri (ekspor-impor). 

Sejak  dilaksanakannya  Sensus  Ekonomi  1996  upaya  untuk  melihat  produksi  nasional secara lebih rinci terus dilakukan. Bahkan sejak 1998 telah berhasil dilakukan perhitungan produk domestik bruto  menurut pelaku berdasarkan skala usaha yaitu usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar mengikuti pengelompokan UU 9/1995 dan  Impres 10/1999, perhitungan  itu  dimungkinkan  karena  adanya  kerjasama  antara  BPS  dan  Kementerian Koperasi dan UKM sejak 1999. Meskipun pengelompokan lebih lanjut diperlukan, terutama pemisahan usaha mikro dan UKM,  namun  perkembangan  perhitungan  tersebut  telah  membantu  menyadarkan  semua pihak akan arti penting dari keberadaan UKM atau sektor ekonomi kecil dalam menopang perekonomian nasional. 

Sisi  lain  yang  belum  banyak  dikembangkan  adalah  melihat  secara  lebih  rinci  dalam  sisi komsumsi  agregat.  Pengenalan  pembagian  pembentukan  model  domestik  untuk  UKM sudah  dilakukan  secara  parsial,  dan  hal  ini  menjadi  penjelas  penting  mengapa  output dikuasai  oleh  usaha  besar,  karena  sekitar  51%  investasi  di  tangan  perusahaan  besar.  Kita juga  memiliki  informasi  yang  cukup  mengenai  distribusi  rumah  tangga  berdasarkan pengeluaran, sehingga cukup mampu menyusun pengelompokan pengeluaran oleh masing-masing strata pengeluaran. Upaya semacam ini akan mampu melengkapi analisa struktural perekonomian Indonesia baik dari sisi produksi maupun konsumsi.

Perkembangan Pemikiran Sistem Perekonomian Indonesia  

Dalam berbagai model makro untuk merumuskan tujuan perjalanan suatu perekonomian pada  dasarnya  ditujukan  pada  upaya  mencapai  pertumbuhan  ekonomi  yang  tinggi, pencapaian  kesempatan  kerja  penuh  (full  employment)  dan  inflasi  yang  terkendali.  Tiga tujuan  kebijakan  makro  ini  pernah  menjadi  Trilogi  Pembangunan  pada  saat  Repelita  I (1969-1974)  dengan  rumusan  pertumbuhan,  kesempatan  kerja  dan  stabilitas.  Kemudian formulasi  berikutnya  sudah  lebih  jelas  sebagai  rumusan  politik  perekonomian  dengan tekanan pada pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan.

Jika  dalam  realitas  kehidupan  perekonomian  ada  dinamika  dari  waktu  kewaktu.  Dalam model pertumbuhan kita mengenal jalur pertumbuhan optimal yang mengantar pada masa keemasan atau  “golden  age”9. Di dalam pencarian tingkat pertumbuhan optimal sendiri sering  kita  berhadapan  dengan  persoalan  jalur  cepat  yang  menjadikan  ekonomi  over heated dan mungkin juga pengharapan yang berlebihan. Pelajaran penting yang harus kita petik terhadap teori pertumbuhan ekonomi optimal itu apa ? Jawabnya ternyata teori ini mengajarkan bahwa masa kejayaan atau golden age itu terwujud apabila pertumbuhan itu dapat diusahakan pada tingkat optimal hingga tercapai tingkat  konsumsi  perkapita  yang  maksimal  sebagai  suatu  tujuan  yang  tepat.  Dengan demikian  pertumbuhan  ekonomi  sendiri  bukan  tujuan  akhir  tetapi  indikator  pencapian tujuan pada setiap titik dan harus diarahkan agar golden rule ditaati, sehingga tidak mudah terjadi kecelakaan. Dan pertimbangan lain yang lebih penting lagi ada jaminan yang perlu ditegaskan, bahwa tidak ada mereka yang harus hidup di bawah garis kemiskinan kecuali mereka yang dapat dipelihara oleh Negara.

Jika dilihat sejarah perekonomian kita sejak kemerdekaan terlihat adanya pola siklus tujuh tahunan yang menurut berbagai ahli seperti Emil Salim, Franseda, dan Mubyarto sendiri yang  mengutip  pendapat  keduanya  dapat  dijadikan  dasar  periodisasi  perkembangan perekonomian  Indonesia.  Sampai  dengan  akhir  1990an  telah  dapat  dikenali  8  periode perkembangan perekonomian Indonesia  yang mencerminkan gerakan pendulum mencari bentuk ke arah bentuk perekonomian yang ideal. 

Periodisasi tersebut sekaligus menujukan bahwa sejak awal 1990an kita sudah mulai sadar akan  bahaya  konsentrasi  dan  konglomerasi.  Dan  datangnya  krisis  pada  akhir  1997 memperkuat  kesadaran  baru  untuk  membangun  ekonomi  rakyat.  Sehingga  periode  ini (1994-2001) oleh Mubyarto dinamakan masa Menuju Ekonomi Kerakyatan dan memang benar  akhirnya  lahir  Ketetapan  Mejelis  Permusyawaratan  Rakyat  yang  mengatur  dan memberi pengertian mengenai Sistem Ekonomi Kerakyatan.

Daya Saing Perekonomian Indonesia 

Untuk melihat kemampuan suatu negara dalam memenangkan persaingan pada kehidupan pasar global dapat diperhatikan dari indikator makro dan mikro. Secara makro daya saing suatu  negara  dapat  digambarkan  oleh  tiga  macam  indek,  yaitu:  Indek  Kemampuan Teknologi; Indek Kelembagaan Publik; dan Indek Lingkungan Makro Ekonomi. Sementara itu pada indikator mikronya dapat dilihat dari Urutan Strategi dan Operasi Perusahaan; dan Urutan Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional. Dalam laporan yang dikutip oleh Adiningsih tersebut  memang  dibandingkan  negara  ASEAN  lainnya,  terutama  ASEAN-6,  Indonesia berada pada posisi ekstrim di bawah. Hal ini karena baik kinerja makro maupun mikro yang kurang  kompetitif  antar  Negara,  sehingga  Indonesia  tidak  kompetitif  untuk  menarik investasi  dari  luar  negeri.  Namun  demikian  disadari  bahwa  ekspor  Indonesia  yang  masih terus  berlangsung  menunjukkan  adanya  segmen  tertentu  yang  sangat  kompetitif  dalam persaingan pasar di luar negeri. Untuk melihat keunggulan komperatif dan kompetitif dapat dilihat  lebih  akurat  pada  level  produk,  sehingga  perbandingan  ini  memberikan  justifikasi akan  perlu  tidaknya  suatu  produk  dikembangkan.  Namun  hal  ini  merupakan  faktor  yang tidak  dapat  ditampung  oleh  indek  kompetitif  agregatif  dan  perlu  dilihat  dari  persfektif kinerja perusahaan sebagai terlihat dalam bagian sebelumnya. Ada tiga faktor penting untuk memperbaiki daya saing yang kesemuanya berada kekuatan internal  perusahaan  dan  berhubungan  dengan  produktivitas  karena  pada  dasarnya perbaikan  daya  saing  salah  satu  kuncinya  adalah  penurunan  ongkos.  Ketiga  faktor dimaksud adalah (i). adanya inovasi dan perbaikan teknologi yang terus menerus menuju penurunan  biaya;  (ii).  pengembangan  pemanfaatan  teknologi  komunikasi  dan  informasi untuk  meningkatkan  produktivitas  dan  penghematan  waktu;  dan  (iii).  pemanfaatan jaringan  kerjasama  untuk  pengembangan  pasar    secara  meluas.  Ketiga  instrumen  ini menjadi  penting  untuk  meningkatkan  akses  kepada  sumberdaya  produktif  dan  harus dimiliki oleh sebuah perusahaan yang modern meskipun skala kecil. Di samping itu akan mampu mengembangkan pemecahan alternatif karena semakin banyaknya informasi yang dapat dikuasai oleh UKM. Dalam struktur skala perusahaan yang ada di Indonesia maka peran ini pada tahap awal tidak perlu dikerjakan oleh setiap UKM tetapi dapat disediakan oleh lembaga pengembangan usaha dan UKM Maju.

Produktivitas Usaha dan Tenaga Kerja 

Salah  satu  ukuran  kualitas  kelompok  usaha  dalam  sumbangannya  terhadap  produksi nasional  adalah  produktivitas  yang  dapat  diukur  dengan  ukuran  output  per  unit  usaha. Krisis  bukan  hanya  menyebabkan  surutnya  jumlah  perusahaan,  namun  juga  membawa akibat langsung berupa penurunan output perusahaan. Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan  secara  menyeluruh  ini  masih  terjadi  hingga  tahun  1999,  baru  kemudian tumbuh  kembali  selama  tiga  tahun  terakhir.  Demikian  juga  dengan  produktivitas  usaha kecil  yang  terlihat  semakin  tidak  menentu  karena  dalam  tahun  2002  kembali  terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan kembali produktivitas perusahaan pertanian,  pertambangan  dan  galian,  listrik  dan  gas,  bangunan  dan  jasa-jasa.  Sementara sektor  jasa  keuangan  yang  semula  terus  menurun  mulai  menunjukkan  tanda-tanda perkembangan  yang  positif.  Salah  satu  jawaban  terhadap  perkembangan  yang  tidak menggembirakan  ini  adalah  karena  unit  usaha  baru  yang  tumbuh  umumnya  berskala mikro dan berada di sektor dengan produktivitas rendah. Adalah  menarik  jika  diperhatikan  sektor  yang  memiliki  produktivitas  tertinggi  untuk perusahaan  skala  kecil  adalah  sektor  keuangan,  persewaan  dan  jasa  perusahaan yang nilainya delapanpuluh kali produktivitas usaha kecil sektor pertanian atau empatpuluh kali rata-rata produktivitas usaha kecil secara keseluruhan. Gambaran ini menggambarkan dua hal  :  (i).  sektor  pertanian  kurang  berorientasi  nilai  tambah  tetapi  lebih  menekankan produktivitas  fisik  sehingga  menjadi  ekstrim  rendah;  dan  (ii).  sektor  jasa  keuangan, persewaan  dan  jasa  perusahaan  merupakan  sektor  yang  paling  produktif  dan  paling memberikan  sumbangan  positif  bagi  pengembangan  UKM  terutama  usaha  kecil  mikro. Secara empiris cukup banyak bukti yang menunjukkan pentingnya jasa keuangan dan jasa perusahaan yang efisien sebagai faktor penting bagi dukungan pengembangan usaha lebih lanjut.  

Gambaran produktivitas usaha pada perusahaan skala menengah sungguh sangat berbeda di  mana  sektor  pertanian  memiliki  produktivitas  usaha  yang  paling  produktif,  bahkan hampir empat kali rata-rata produktivitas perusahaan skala menengah secara keseluruhan. pada kelompok ini yang kurang produktif adalah sektor jasa-jasa yang memang umumnya belum mapan benar. Agak berbeda dengan kelompok usaha kecil pada  kelompok usaha menengah ini peningkatan produktivitas terasa amat berat kecuali sektor pertanian  yang masih tumbuh positif secara konsisten selama empat tahun terakhir. Jika kita amati kinerja produktivitas  usaha  pada  kedua  kelompok  ini  mengisyaratkan  perlunya  restrukturisasi perusahaan pertanian menuju skala menengah. Hal ini sejalan dengan pemikiran tentang perlunya  peningkatan  kepadatan  investasi  pertanian  untuk  mengejar  keuntungan  usaha pertanian  yang  sesuai  dengan  biaya  oportunitas  dari  tanah  pertanian  yang  harganya semakin meningkat.

Pada  perusahaan  skala  menengah  sektor  jasa  keuangan  tidak  menempati  tempat  teratas, namun masih menempati tempat ketiga setelah sektor angkutan dengan yang masih jauh diatas rata-rata keseluruhan sektor. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan jasa keuangan pada dasarnya tidak selalu dapat memanfaatkan  keuntungan karena skalanya  yang lebih besar, terutama antara skala usaha kecil dan skala usaha menengah. Gambaran ini  akan lebih  lengkap  lagi  jika  kita  kaitkan  dengan  produktivitas  tenaga  kerja  yang mengindikasikan  kemampuan  untuk  mendukung  jaminan  hidup  yang  layak  bagi  pihak yang terlibat dalam kegiatan dimaksud.

Pendekatan Klaster UKM untuk Peningkatan Daya Saing 

Untuk  penciptaan  basis  UKM  yang  kokoh  pendekatan  pengembangan  Klaster Bisnis/Industri  perlu  ditumbuh  kembangkan.  Kehadiran  klaster  yang  senergik  dari kegiatan  hulu  ke  hilir,  atau  antara  kegiatan  inti  (pokok)  dengan  kegiatan  pendukung, penyediaan bahan baku dan outlet pemasaran akan mempercepat dinamika usaha di dalam klaster tersebut, termasuk interaksi dengan usaha besar yang ada di kawasan tersebut atau terkait.  Pendekatan  klaster  ini  pada  dasarnya  untuk  mengefektifkan  pola  pengembangan dengan  menjadikannya  sebagai  titik  pertumbuhan  bagi  bisnis  UKM.  Inti  dari  strategi penciptaan  klaster  yang  terpadu  dan  kokoh  adalah  membangun  suatu  sinergi  untuk mencapai suatu “broad base economic growth” atau pertumbuhan ekonomi dengan basis yang luas.

Dari sisi dukungan yang diperlukan maka prasyarat utama adalah bahwa dalam semangat otonomi  setiap  pemerintah  daerah  harus  memberikan  dukungan  administratif  dan lingkungan kondusif bagi berkembangnya bisnis UKM. Ini menjadi mutlak karena dengan otonomi  daerah,  maka  kewenangan  pengaturan  pemerintahan  dan  pembangunan  secara lokal  berada  di  daerah.  Kebijakan  makro  dan  moneter  secara  nasional  hanya  bersifat memberikan arah dan sinyal alokasi sumberdaya dan kesepakatan internasional terhadap dunia bisnis di daerah. 

Dukungan lain yang penting adalah dukungan non finansial dalam pengembangan bisnis UKM. Sejumlah praktek terbaik dalam persuasi UKM melalui inkubator, kawasan berikat, konsultasi bisnis maupun hubungan bisnis antar pengusaha dalam klaster harus dijadikan pelajaran  untuk  mencari  kesesuaian  dengan  jenis  kegiatan  atau  industri  dan  kultur masyarakat  pengusaha,  termasuk  didalamya  pengalaman  kegagalan  lingkungan  industri yang mencoba memindahkan lokasi untuk penciptaan klaster. Klaster yang inovatif akan tumbuh dengan perkembangan kultur yang mendukung. Dukungan pengembangan bisnis semacam ini harus ditumbuhkan menjadi suatu bisnis yang berorientasi komersial. Dan akhirnya dukungan finansial yang meluas harus didasarkan pada prinsip intermediasi yang  efesien.  Berbagai  lembaga  pembiayaan  yang  sesuai  harus    ditumbuhkan  dan menjangkau klaster-klaster yang telah berkembang, sehingga pilar bagi tumbuhnya bisnis UKM  yang  didukung  oleh  kesatuan  sistem  produksi  dan  keberadaan  bisnis  jasa pengembangan  bisnis  serta  keuangan  menjadi  benar-benar  hadir  di  kawasan  klaster  di maksud.  Lembaga  pembiayaan  dimaksud  dapat  berupa  bank,  lembaga  keuangan  bukan bank dan lembaga-lembaga keuangan masyarakat sendiri (lokal). Dengan  dua  basis  pendekatan  tadi  akan  tercipta  lapisan  pengusaha  yang  dapat  menjadi lokomotif  penarik  bagi  kemajuan  masing-masing  lapisan  pengusaha.  Sasarannya  jelas memperbanyak  pengusaha  mikro  yang  dapat  segera  lepas  dari  tiap  usaha  mikro dan selanjutnya menjadikan klaster sebagai satuan bisnis yang layak dan mampu berkembang (Viable). Persyaratan ini yang harus dipenuhi untuk menjadikan usaha kecil sebagai fotor pertumbuhan. 

Usaha  kecil  dalam  keadaannya  yang  ada  tidak  mungkin  dijadikan  motor  pertumbuhan karena populasi terbesar adalah usaha mikro yang pada intinya hanya bersifat subsisten, kecuali mereka yang sudah tumbuh di dalam suatu klaster. Untuk keluar dari jebakan ini maka  strategi  dasar  adalah  membebaskan  diri  untuk  keluar  dari  usaha  mikro  secara  meluas.  Untuk  pengembangan  usaha  kecil  yang  berdaya  saing  maka  pendekatan  klaster bisnis  usaha  kecil/industri  kecil  dapat  dijadikan  dasar  penciptaan  dinamika  yang  luas bagi penciptaan basis pertumbuhan yang luas (broad base economic growth). Salah  satu  langkah  strategis  yang  dilakukan  dalam  rangka  pemberdayaan  UKM  adalah melalui  pengembangan  sentra-sentra  bisnis,  yang  difasilitiasi  dengan  program-program perkuatan  baik  non  financial  (pembentukan  BDS)  maupun  financial  seperti  melalui perguliran dana MAP. Inilah yang menjadi alasan dilalui hanya program perkuatan sentra bisnis  UKM  melalui  pendekatan  klaster  oleh  BPS-KPKM  sejak  tahun  2001  dan dilanjutkan  oleh  Kementerian  Koperasi  dan  UKM  mulai  tahun  2002  hingga  kini  yang jumlahnya sudah menjangkau 1000 sentra. 

Kewirausahaan : Perbaikan dan Penumbuhan 

Persfektif  kebutuhan  wirausahawan  baru  yang  mendesak  selain  dilihat  dari  kenyataan rendahnya pendirian perusahaan baru dibandingkan dengan besarnya ekonomi dan jumlah penduduk,  juga  didasari  atas  kenyataan  bahwa  lebih  97%  unit  usaha  yang  ada  adalah usaha skala mikro. Ini berarti usaha yang ada di Indonesia dikelola oleh pengusaha dengan kemampuan  pengelolaan  yang  rendah.  Sehingga  persoalan  kebutuhan  wirausaha  bagi Indonesia  mempunyai  sasaran  yakni  mengisi  kebutuhan  perluasan  perusahaan  yang  ada dan kebutuhan untuk mengembangkan wirausaha baru untuk membuat ekonomi Indonesia lebih kompetitif. 

Refleksi di atas terlihat jelas dari kinerja produktivitas perusahaan maupun tenaga kerja di mana sektor keuangan dan jasa perusahaan menampilkan kinerja produktivitas yang tinggi. Faktor penting lain yang menjadi salah satu sebabnya adalah perusahaan yang bergerak di dalam sektor tersebut, terutama jasa keuangan dan jasa perusahaan, dipersyaratkan dalam bentuk badan usaha terutama yang berbadan hukum bagi lembaga keuangan. Mungkin ini relevan  dengan  kebijakam  yamg  diambil  oleh  Perdana  Menteri  Thailand  Thaksin Shinawatra  yang  terkenal  dengan  menjadikan  sektor  informal  menjadi  formal  dalam rangka penciptaan asset. Wirausaha tidak hanya dilahirkan dan ditunggu kelahirannya, oleh karena itu juga dapat di didik  dan  dilatih  untuk  mengembangkan  kemampuan  yang  ada  pada  diri  setiap  orang dalam memecahkan masalah hidupnya. Oleh karena itu aspek pengembangan kecakapan hidup  atau lifeskill  sama  pentingnya  dengan  ilmu  pengetahuan  dan  dalam mengembangkan  wirausaha  baru  aspek  sikap  mental  menjadi  faktor  dominan,  karena hanya  dengan  mengembangkan  sikap  mental  maka  keberanian  dan  kesabaran  serta kesanggupan untuk menghadapi resiko menjadi lebih tinggi. Faktor yang demikian akan akan meningkatkan kemungkinan untuk berhasil bagi seorang wirausaha baru.

Dari  berbagai  praktek  terbaik  yang  mengmbangkan  wirausaha  baru  memang  dapat bermacam-macam cara sesuai dengan sektor kegiatan yang ditekuni dan lingkungan pasar di mana wira usaha baru ingin dikembangkan. Kasus industri elektronik di Korea Selatan dan  Taiwan  menunjukkan  peran  lembaga  inkubasi  bisnis  sangat  dominan,  sementara pengalaman pengem Silicon Valley yang melahirkan Bill Gate dan proses pengembangan IT di India dikenal peran Venture Capital Company sangat penting. Sementara Singapura dan Malaysia memperlihatkan kisah sukses yang lain dengan menampilkan peran lembaga Mentor untuk membantu IKM yang ingin masuk ke dalam venture bisnis baru terutama IT. Kesemuanya  itu  ternyata  sangat  berhubungan  dengan  pilihan  model  kegiatan  yang diperkenalkan,  sehingga  bagi  Indonesia  yang  memberikan  pengertian  UKM  mencakup sektor  yang  luas  instrumen  yang  berhasil  menjadi  praktek  terbaik  tersebut  harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.

Secara  garis  besar  ada  enam  rambu-rambu  dalam  mengembangkan  wirausaha  baru berdasarkan  praktek  terbaik  yang  teruji  secara  internasional  sebagai  berikut  (UNCTAD, 2002). Pertama, pembentukan kerangka kondisi dan lingkungan bisnis  yang baik bagi tumbuhnya wirausaha baru;  Kedua, sistem insentif yang dirancang dengan baik;  Ketiga,intervensi pemerintah yang seminimal mungkin tetapi efektif; Keempat, adanya kerjasama yang  baik  dengan  dunia  perguruan  tinggi;  dan  Kelima,  membangun  perusahaan  swasta untuk  mengembangkan  dan  mengasuh  wirausaha  baru  atau  development  of  private business  to  foster  entrepreneurship.  Dari  kelima  praktek  terbaik  dalam  pembangunan kewirausahaan  tiga  diantaranya  adalah  bersifat  kebijakan  umum  yang  harus  digariskan.

Kerjasama  yang  ideal  dalam  menumbuhkan  wirausaha  adalah  perlunya  kerjasama  yang erat antara perguruan tinggi dan perusahaan swasta, mengingat ke dua lembaga tersebut mempunyai  dua  karakter  yang  saling  melengkapi  yang  diperlukan  untuk  membentuk karakter  wirausaha.  Kombinasi  antara  ciri  mengejar  keuntungan  dan  kepuasan  untuk mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat untuk kemajuan. Kombinasi ke dua lembaga dengan  orientasi  yang  berbeda  dalam  pengalaman  dapat  menghasilkan  sinergi  yang maksimal.  Khusus  dalam  hal  pengembangan  wirausaha  melalui  cara  inkubasi  bisnis kerjasama tiga pihak dalam hal ini didukung oleh intervensi pemerintah yang tepat juga menjadi model terbaik di berbagai negara. 

Hal  yang baru  yang menjadi kepedulian para ahli UNCTAD adalah peran swasta untuk menumbuhkan wirausaha baru. Karena hal ini sangat penting dan sesuai dengan kondisi Indonesia  di  mana  perusahaan  swasta  yang  sukses  pada  dasarnya  dapat  membuka  diri bertindak  sebagai  inkubator  atau  mentor  bagi  pengusaha  baru.  Hal  ini  sekaligus  dapat dilaksanakan  dalam  kaitannya  untuk  memecahkan  masalah  hubungan  perbankan  dan jaminan  pasar  selain  sebagai  tempat  magang  dalam  hal  ketrampilan  teknik  berproduksi dan  kemampuan  manajerial.  Oleh  karena  itu  dorongan  kepada  perusahaan  swasta  yang berhasil  untuk  dapat  menjadi  lembaga  pengembangan  wirausaha  baru.  Dorongan  untuk memanfaatkan perusahaan swasta yang berhasil bagi penumbuhan wirausaha baru diduga juga  berkaitan  dengan  semakin  kuatnya  temuan  dan  pengalaman  praktis  yang menyebutkan sumber pembiayaan bagi usaha kecil  yang baru di luar modal sendiri dan keluaraga berasal dari apa yang disebut dengan angle capital yang berhasil diadakan atau diatur oleh pihak tertentu (UNCTAD, 2002). Sehingga apabila perusahaan swasta bersedia menjadi  orangtua  asuh  bagi  pengusaha  baru  dapat  memainkan  peran  penyedian  modal serupa dan melalukan pemindahan ke dalam portofolio pembiayaan bank karena mereka telah mendapat kepercayaan.

Akhirnya segenap praktek terbaik yang telah digambarkan di muka dalam menumbuhkan wirausaha  baru  diperlukan  komitmen  untuk  melaksanakannya.  Jika  sasaran  kebutuhan wirausaha  baru  telah  menjadi  kebutuhan  kita,  maka  yang  diperlukan  program  aksi  pada tingkat  daerah.  Program  aksi  dimaksud  dapat  diterjemahkan  dalam  tingkat  yang  paling bawah  bahwa  setiap  enam  orang  penduduk  perlu  memiliki  seorang  pengusaha  yang bergerak  di  luar  kegiatan  pertanian  dalam  arti  sempit  (kurang  berorientasi  komersial). Atau  setiap  desa  harus  melahirkan  pengusaha  baru  seorang  sebulan,  bukankah  ini tantangan yang berat? Ke depan Indonesia menghadapi persoalan mendesak dalam menumbuhkan usaha baru untuk  memungkinkan  dukungan  bagi  pemulihan  ekonomi  dan  keikutsertaan  dalam pasaran global. Salah satu elemen terpenting bagi tumbuhnya usaha baru yang produktif adalah  tersedianya  wirausaha  baru  yang  cukup  banyak.  Hal  ini  dimungkinkan  apabila terdapat lingkungan yang kondusif, intervensi pemerintah yang tepat dan sistem insentif yang  sesuai.  Namun  yang  lebih  penting  adalah  menumbuhkan  kerjasama  perguruan tinggi  dan  perusahaan  dalam  pengembangan  wirausaha  serta  kesediaan  perusahaan swasta  menjadi  orang  tua  asuh  bagi  wirausaha  baru  dalam  skema  jasa  pengembangan bisnis.  Sektor  jasa  keuangan  dan  jasa  perusahaan  mempunyai  posisi  strategis  untuk didorong pengembangannya sejalan dengan semangat desentralisasi.

Posisi Strategis Sub-Sektor Jasa Perusahaan 

Pengalaman perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan skala kecil dan menengah selama krisis memberikan dukungan terhadap pilihan strategi yang pernah dirumuskan oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah  (BPS-KPKM)  pada  tahun  2001  yang  menekankan  pada  perkuatan  dukungan pengembangan  (development supports) pada titik-titik pertumbuhan UKM  (sme-clusters)dengan  konsep  pasar.  Karena  sektor  yang  produktif  dan  menyediakan  jasa  bagi pengembangan usaha untuk para pengusaha kecil dan menengah akan menjadi pendorong bagi perbaikan produktivitas UKM di sektor yang telah berhubungan dengannya. Secara khusus  dukungan  pengembangan  yang  diidentifikasi  oleh  BPS-KPKM  adalah  jasa pengembangan  usaha  yang  terdiri  dari  jasa  konsultan  teknologi,  manajemen  dan pemasaran  oleh  lembaga  penyedia  BDS  (Business  Development  Services)  serta  jasa perusahaan  lainnya  yang  diperkuat  oleh  lembaga  keuangan  mikro  untuk  menjembatani menuju pelayanan lembaga keuangan/perbankan modern. Bahkan ketika itupun referensi secara  internasional  baru  menempatkan  klaster  sebagai  pengalaman  pengembangan industri yang baik untuk dipertimbangkan (UNCTAD, 1999). 

Kunci penggerak untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dalam melaksanakan strategi  dimaksud  adalah  sub-sektor  jasa  perusahaan  yang  tergabung  di  dalam  sektor keuangan  persewaan  dan  jasa  perusahaan.  Sub-sektor  ini  mempunyai  sumbangan  yang penting  dalam  pembentukan  PDB  (1,30-2,00%)  dan  kualitas  nilai  tambah.  Kinerja  ini menonjol  karena  kandungan  IPTEK  dan Good  Corporate  Governance  yang  tinggi dibanding  sektor  lain  kecuali  sub-sektor  jasa  keuangan.  Sub-sektor  jasa  perusahaan memang masih jauh dari perhatian kita dalam pengembangan UKM. Padahal produk jasa yang  dihasilkan  adalah  vital  bagi  kemajuan  perusahaan  dan  pengembangan  hubungan bisnis baik lokal maupun internasional. 

Kegiatan yang termasuk dalam sub-sektor jasa perusahaan antara lain : Jasa Konsultasi Piranti Keras; Jasa Konsultasi Piranti Lunak; Pengolahan Data; Perawatan Reparasi Mesin Kantor, Komputer, dll; Penelitian dan Pengembangan; Rekayasa Teknologi; Jasa Hukum; Jasa Akuntansi dan Perpajakan; Jasa Riset Pemasaran; Jasa Konsultasi Bisnis dan Manajemen; Jasa Konsultasi Enginering Dll; Analisis dan Testing; Jasa Periklanan; Seleksi Tenaga Kerja; Fotocopy dll.  

Posisi  penting  sektor  jasa  keuangan,  persewaan  dan  jasa  perusahaan  untuk  peningkatan produktivitas  dapat  dilihat  dari  berbagai  persfektif.  Ciri-ciri  yang  dimiliki  oleh  kegiatan yang ada di dalam sub-sektor ini yaitu  : 

  1. Harus memenuhi persyaratan legal (badan hukum, ijin, persyaratan teknis); 
  2. Di kelola oleh kelompok profesional; 
  3. Interaksi dengan dunia bisnis yang luas; 
  4. Kandungan IPTEK tinggi; 
  5. Terbiasa dengan hubungan kontraktual yang lugas; 
  6. Relatif lebih transparan di banding kelompok lain; 
  7. Adanya  pengawasan  dari  luar  yang  kuat  baik  oleh  sistem  pengawasan  intern  dan ekstern maupun oleh pengguna jasa.
Kebijakan Pembiayaan dan Perbankan 

Modal adalah penting tetapi bukan segalanya! Itulah ungkapan yang selalu dinasehatkan oleh para ahli yang meneliti pembiayaan bagi para pengusaha. Sebaiknya setiap kali kita melakukan interview  kepada  pengusaha  terutama  pengusaha  kecil  jawabnya  pasti kekurangan  modal,  sehingga  usahanya  tidak  maju.  Gambaran  menjadi  lain  pula  ketika membaca berita di media masa bahwa dana sedang berada di perbankan sangat besar dan penyediaan kredit bagi pengembangan usaha tersedia. Jika dari biasanya yang sebenarnya terjadi? Untuk memahami persoalan ini kita perlu melihat pembiayaan usaha bagi para pengusaha. Pada dasarnya pemberdayaan usaha oleh pelaku ekonomi lapis bawah memang bertumpuh pada kemandirian dan kekerabatan, kemudian pada tahap berikutnya secara kelembagaan yang masih bersifat lokal dan imformal. Namun di masa lalu juga terdapat lembaga formal pada tingkat desa yang merupakan bagian penting dari pemberdayaan bagi ekonomi lapis bawah  di  pedesaan  yang  melekat  pada  pemerintahan  di  desa.  Kemudian  pada  tahap berikutnya masuklah pasar keuangan pedesaan melalui koperasi, program pemerintah dan perbankan.

Mengutip  laporan  BPS  Dibyo  Prabowo menegaskan  kembali  bahwa  35,10%  UKM menyatakan  kesulitan  permodalan,  kemudian  diikuti  oleh  kepastian  pasar  25,9%  dan kesulitan  bahan  baku  15,4%.  Jika  kita  ikuti  jawaban  tersebut  sebenarnya  kesulitan permodalan  adalah  resultante  dari  kesulitan  mendapatkan  kepastian  pasar  karena ketidakmampuan  menjamin  kepastian  produksi.  Oleh  karena  itu  pemecahan  masalah pembiayaan  UKM  tidak  sebatas  masalah  kekurangan  modal,  sehingga  diperlukan pemecahan yang komprehensif. Hal yang mungkin agak kurang dipahami adalah praktek terbaik dimanapun pembiayaan usaha, terutama pemula, selalu didahului dengan sumber modal  sendiri  atau  modal  keluarga  atau  jika  tidak  bersumber  dari  angle  Capital18 yang dasarnya  adalah  kepercayaan  dan  kegigihan  si  pelaku.  Dalam  hal  demikian  sebenarnya yang  harus  juga  menjadi  perhatian  kita  adalah  usaha  yang  menyediaakan  jasa  untuk memecahkan  pembiayaan  usaha  kecil  hingga  sampai  pada  perbankan.  Pembiayaan  bagi UKM di negara berkembang pada umumnya masih diharapakan dari perbankan.

Di  sisi  lain  perubahan  paradigma  pemberian  dukungan  pembiayaan  UKM  dari  kredit program  kepada  mekanisme  pasar  jasa  keuangan  akibat  perubahan  UU  23/1999  tentang Bank Indonesia dan berbagai rencana program pemulihan ekonomi yang tercantum dalam nota kesepakatan dengan IMF telah memberikan pelajaran baru. Sejak akhir 1999 semua kredit  program  dihentikan,  sehingga  Pemerintah  mengubah  dukungannya  dari memberikan  subsidi  dan  penjaminan  pada  kredit  program  sektoral  perbankan  (seperti BIMAS, KKPA dll.) menjadi dukungan perkuatan LKM terutama KSP/USP sejak tahun 2002  sebagai  mekanisme  fiskal  biasa.  Hal  ini  diharapkan  relatif  tidak  menimbulkan distorsi  pasar  keuangan  mikro  kecuali  hanya  memperkuat  para  pelaku  untuk  semakin kompetitif  dan  memperluas  jangkauan  Meskipun  stimulan  fiskal  untuk  LKM  ini  baru menjangkau  sekitar  15-20  persen  LKM,  namun  telah  mendorong  tumbuh  kembangnya kekuatan kredit mikro non bank. Sebagai pelaku mereka termasuk dalam sektor keuangan. Apabila  perkembangan  ini  menjadi  instrumen  perkuatan  yang  efisien,  maka  instrumen fiskal  untuk  perkuatan  LKM  akan  terbukti  lebih  efektif  disertai  dengan  tingkat  distorsi yang rendah sehingga dapat menjadi pilihan baru bentuk intervensi yang ramah pasar. 

Secara  garis  besar,  kebijakan  perbankan  terdiri  dari:  (1) program  penyehatan perbankan,  meliputi  penjaminan  pemerintah  bagi  bank  umum  dan  BPR,  rekapitalisasi bank  umum  dan  restrukturisasi  kredit  perbankan;  (2)  pemantapan  ketahanan  sistem perbankan  yang  meliputi  pengembangan  infrastruktur  perbankan,  peningkatan  good corporate  governance  dan  penyempurnaan  pengaturan  dan  pemantapan  sistem pengawasan  bank;  (3)  upaya  pengembangan  UMKM  dalam  rangka  pemulihan  fungsi intermediasi perbankan.

Berdasarkan  Laporan  Perekonomian  Bank  Indonesia  tahun  2003,  peran  Bank  Indonesia dalam  pengembangan  UMKM  dilakukan  dengan  tiga  pendekatan,  yaitu:  (1)  kebijakan kredit  perbankan;  (2)  pengembangan  kelembagaan;  dan  (3)  pemberian  bantuan  teknis. Keterbatasan UMKM dalam memperoleh pelayanan kepada sektor perbankan merupakan salah  satu  kendala  belum  optimalnya  fungsi  intermediasi  perbankan.  Menyikapai  hal tersebut, selama tahun 2003, upaya yang ditempuh Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM  lebih  ditekankan  pada  upaya  peningkatan  akses  UMKM    kepada  sektor perbankan.  Melalui  pendekatan  kebijakan  kredit,  upaya  yang  dilakukan  Bank  Indonesia antara  lain  dengan  senantiasa  mendorong  bank  umum  dan  BPR  untuk  meningkatkan penyaluran kredit UMKM sesuai dengan rencana bisnis masing-masing bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Pada pendekatan  kelembagaan,  salah  satu  upaya  BI  dalam  mencari  solusi  bagi peningkatan  fungsi  intermediasi  perbankan  dan  pemulihan  sektor  riil  dilakukan  dengan menyelenggarakan  Forum  Dialogis  Kawasan  Barat  Indonesia  (FD-KBI)  pada  21-23 Pebruari  2003  di  Sumatera  Barat.  Forum  tersebut  merupakan  pertemuan  tripartit  antara pemerintah,  perbankan  dan  pelaku  usaha,  serta  merupakan  rangkaian  kegiatan  yang diselenggarakan  di  Kawasan  Timur  Indonesia  (KTI)  pada  8-11  November  2002  di Sulawesi Selatan. 

Salah  satu  rekomendasi  dan  solusi  yang  dihasilkan  dalam  FD-KBI  adalah  upaya pemanfaatan  dan  pengembangan  lembaga  penjaminan  kredit  untuk  mengatasi permasalahan  yang  dihadapi  nasabah  UMKM  yang  relatif  tidak  atau  kurang  bankable, meskipun  memiliki  usaha  yang  layak.  Kemudian  di  ikuti  dengan  seminar  dan  diskusi terfokus  mengenai  lembaga  penjamin  kredit,  dan  dihasilkan  rumusan  penting yaitu  ”pemberdayaan  dan  penguatan  lembaga  penjamin  kredit  yang  telah  ada,  yang didukung oleh perangkat hukum yang memadai. 

Disamping  itu,  Bank  Indonesia  juga  terus  menyelenggarakan  bazar  intermediasi  yang bertujuan untuk mempertemukan bank dengan UKM. Untuk mendukung pengembangan UMK, BI memperluas perannya dalam pemberian bantuan teknis yang selama ini hanya diberikan kepada bank. Upaya tersebut dirumuskan dalam PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang pemberian  bantuan  teknis  dalam  rangka  pengembangan  UMK  yang  menekankan  pada upaya  mengatasi  keterbatasan  kemampuan  aksesabilitas  UMK  ke  lembaga  keuangan, khususnya perbankan. 

Lembaga Keuangan Mikro 

Selama  ini  berbagai  upaya  untuk  mendorong  produktivitas  oleh  kelompok  ini,  nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak  terlepas  dari  keberadaan  Lembaga  Keuangan  yang  hadir  ditengah  masyarakat. Lingkaran  setan  yang  melahirkan  jebakan  ketidak  berdayaan  inilah  yang  menjadikan alasan  penting  mengapa  lembaga  keuangan  mikro  yang  menyediakan  pembiayaan  bagi usaha  mikro  menempati  tempat  yang  sangat  strategis.  Oleh  karena  itu  kita  perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak. 

Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga hanya 12 %  UKM akses terhadap kredit bank karena :  
  1. Produk bank komersial tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM.
  2. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM.
  3. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi.
  4. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal, dll).
  5. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity.
  6. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien.
  7. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UKM mahal.
  8. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.
Secara  singkat  kredit  perbankan  diselenggarakan  atas  pertimbangan  komersial  membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya. Indonesia  memiliki  sejarah  panjang  dan  kaya  akan  ragam  model  pembiayaan  mikro. Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga pelaksananya,  bahkan  juga  sejarah  pengenalannya  kepada  masyarakat.  Oleh  karena  itu kekayaan  ini  tidak  bakal  dibiarkan  begitu  saja  dan  disia-siakan  untuk  tidak  diberikan tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi. 

Memang  disadari  bahwa  pengertian  kredit  mikro  dapat  diartikan  bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam  ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri  segmentasi pasar  yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan  bagi  penetapan  kebijakan  sesuai  kelompok  sasaran  yang  hendak  dituju. Demikian  latar  belakang  program  pengenalannya  juga  sangat  terkait  dengan  munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan kecil. 

Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai  kelompok  sasaran  berdasarkan  tingkat  pendapatan  dan  bahkan  dapat  sangat terkait  dengan  penggunaan  kredit.  Pendekatan  ini  sekaligus  untuk  memahami  dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.

Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan  kredit  konsumtif.  Untuk  melihat  sejauh  mana  sektor-sektor  ekonomi  produktif  memberikan  tanda  adanya  permintaan  pasar  yang  kuat  perlu  dikaji  struktur  ekonomi masing-masing  sektor  berdasarkan  atas  pelaku  usaha,  disamping  itu  juga  kaitan  dengan sasaran  ekspor  dan  tersedianya  dana  sendiri  oleh  para  pelaku  usaha.  Ciri  pasar  kredit mikro adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro. 

Berdasarkan  nilai  kredit  maka  besarnya  kredit  yang  tergolong  ke  dalam  kredit  mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah dapat digolongkan kedalam kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan  internasional  kredit  mikro  dapat  mencapai  maksimum  US  $  1000,-.  Di Thailand  baru  dalam  taraf  pilot  project  oleh  Bank  for  Agriculture  and  Agricultural Cooperative  (BAAC)  menetapkan  kredit  mikro  adalah  kredit  dengan  jumlah  maksimum Bath  100.000/nasabah  atau  setara  dengan  US  $  2.500,-.  Dengan  demikian  kredit  mikro pada  dasarnya  menjangkau  pada  pengusaha  kecil  lapis  bawah  yang  memiliki  usaha dengan perputaran yang cepat.

Lembaga  perkreditan  mikro  di  Indonesia  pada  dasarnya  ada  dua  kelompok  besar  yakni Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan  kelompok  yang  Kedua  adalah  koperasi,  baik  koperasi  simpan  pinjam  yang  khusus melayani  jasa  keuangan  maupun  unit  usaha  simpan  pinjam    dalam  berbagai  macam koperasi.  Disamping  itu  terdapat  LKM  lain  yang  diperkenalkan  oleh  berbagai  lembaga baik  pemerintah  seperti  Lembaga  Kredit  Desa,  Badan  Kredit  Kecamatan  dan  lain-lain, maupun  swasta/lembaga  non  pemerintah  seperti  yayasan,  LSM,  dan  LKM  lainnya termasuk lembaga keagamaan. 

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa : 
  1. Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM).
  2. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM).
  3. Mandiri dan mengakar di masyarakat.
  4. Jumlah cukup banyak dan penyebaran nya meluas.
  5. Berada  dekat  dengan  masyarakat,  dapat  menjangkau  (melayani)  anggota  dan masyarakat.
  6. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya (tanpa agunan).
  7. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin.
  8. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders).
  9. Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan;
  10. LKM  dimiliki  sendiri  oleh  masyarakat  sehingga  setiap  surplus  yang  dihasilkan  oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil karena merupakan sumber pembiayaan  yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan pelayanannya  sampai  ke  pelosok  tanah  air  dengan  tingkat  bunga  pasar  dan  tidak  ada memerlukan  subsidi.  Disamping  itu  secara  empiris  tingkat  pengembalian  baik,  mutu pelayanan  lebih  penting  dan  mengenal  orang  dan  memahami  nasabah  serta  cash  flow sebagai  pengganti  kollateral  phisik.  Pendekatan  kelompok  juga  terbukti  efektif  sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran. 

Lembaga  keuangan  mikro  lainnya  yang  akhir-akhir  ini  tumbuh  pesat  adalah  lembaga keuangan  syariah  yang  penyelenggaraannya  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  syariat  Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM) yang  dikembangkan  oleh  Baitul  Mal  Muhammadiyah  dan  Koperasi  Syirkah  Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang. 

Bentuk  lain  kredit  mikro  yang  diakui  keberhasilannya  oleh  dunia  adalah  pola  Grameen Bank  yang  dirancang  untuk  memecahkan  Perkreditan  bagi  keluarga  miskin.  Modal  ini terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin di  Bangladesh,  sehingga  dianggap  sangat  sesuai  untuk  memecahkan  penyediaan  modal bagi  penciptaan  kegiatan  produktif  untuk  penduduk  miskin.  Mat  Syukur  (2001)  dalam hasil  studinya  mengemukakan  bahwa  Karya  Usaha  Mandiri  (KUM)  yang  merupakan reflikasi gremeen bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran, namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit mikro lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model  yang tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.

Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the world,  maka  Grameen  Bank  adalah  The  Best  Social  Banking  System,  perbedaannya terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha secara komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan BRI-Unit.  Sementara  Grameen  Bank  terletak  pada  kemampuannya  untuk  menjangkau masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa serta  memanfaatkan  mekanisme  perbankan  yang  biasa,  meskipun  akhirnya  juga dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar kedua setelah BRI-Unit, struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, oleh karena itu daya dobraknya tidak  dapat  kelihatan  meluas  dan  terkesan  kurang  produktif. Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup luas karena : 
  1. Usaha  mikro  dan  kecil  belum  seluruhnya  dapat  dilayani  atau  dijangkau  oleh  LKM yang ada;
  2. LKM berada di tengah masyarakat;
  3. Ada  potensi  menabung  oleh  masyarakat  karena  rendahnya  penyerapan  investasi didaerah, terutama di pedesaan;
  4. Dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank :
  1. Tidak memiliki persyaratan yang memadai;
  2. Tidak memiliki agunan yang cukup;
  3. Biaya transaksinya mahal/tinggi;
  4. Lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya.
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan  segmennya  bermacam-macam.  Hal  ini  mengingat  sebagian  besar  kelompok  usaha mikro  belum  dapat  dilayani  oleh  bank.  Kelompok  peminjam  tersebut  meliputi  usaha produktif  masyarakat  yang  memiliki  perputaran  usaha  tinggi  dan  dipergunakan  untuk memenuhi kebutuhan modal kerja.

Arah dan Strategi Pengembangan LKM 

Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi  keterbatasan  sumberdaya  manusia,  manajemen  yang  belum  efektif  sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan  monitoring  yang  belum  efektif,  pengalaman  yang  lemah  serta  infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap  usaha  mikro  masih  belum  mampu  menjangkau  secara  luas,  sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui : 
  1. Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
  2. Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
  3. Penggalangan  partisipasi  berbagai  pihak  dalam  pembiayaan  UKMK  (Pemda,  Laur Negeri, dll);
  4. Optimalisasi  pendayagunaan  potensi  pembiayaan  UKMK  di  daerah  (Bagian  Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
  5. Peningkatan Capacity Building LKM;
  6. Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
  7. Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
  8. BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat,  kuat,  merata  dan  mampu  menyediakan  kebutuhan  pembiayaan  usaha  mikro  dan kecil  agar  mampu  menghadapi  tantangan  untuk  melaksanakan  otonomi  daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen),  meningkatkan  kompetensi  dan  profesionalisme  pengelola  KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota,  meningkatkan  jumlah  produk  keuangan  yang  didukung  dengan  pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring : 
  1. Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
  2. Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.
Dalam  memperkuat  USP/KSP  ke  depan  paling  tidak  ada  tiga  langka  yang  harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera  diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara  utuh, sehingga peminjaman dan  penyaluran  dana  antar  KSP  dapat  terjadi  dan  berjalan  efektif; Ketiga,  perlu dikembangkan  sistem  asuransi  tabungan  anggota,  asuransi  resiko  kredit  serta  lembaga keuangan  pendukung  lainnya.  Disamping  itu  mekanisme  pengawasan  yang  baik  dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.

Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan  Modern/berpengalaman  dalam  hal  ini  bank  akan  memperkuat  kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.  

Berbagai  dukungan  perkuatan  seperti  perkuatan  permodalan  :  P2KER  (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan  Subsidi  BBM,  MAP  (Modal  Awal  dan  Padanan)  akan  terus  diupayakan, pengendalian  (monitoring,  evaluasi,  pengawasan,  penilaian  kesehatan)  LKM  juga  akan terus  dikembangkan,  pengembangan  pola  dan  lembaga  penjaminan  lokal  serta pengembangan  biro  kredit,  informasi  kinerja  UMK  di  masa  lalu  (track  record). Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan : 
  1. Mengatasi status legal agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
  2. Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
  3. Pengembangan  jaringan  melalui  penumbuhan  lembaga  keuangan  sekunder,  jaringan on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal. 
Dengan demikian pelayanan  yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro  yang luas akan  membawa  pasar  keuangan  lebih  bersaing,  sehingga  ketergantungan  usaha  mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha  Kecil  (PINBUK),  serta  model  Baitul  Tamwil  Muhamadiyah  (BTM),  Koperasi Pondok  Pesantren,  Koperasi  Syirqoh  Mu’awanah  dan  Lembaga  Pengelolah  Zakat  yang mengembangkan  program  ekonomi  produktif  bagi  penerima  zakat  ini  akan  berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri. 

Posisi  LKM  dalam  pemberdayaan  UKM,  terutama  usaha  mikro  sangat  strategis  karena 97%  usaha  kecil  adalah  usaha  mikro  yang  belum  terjangkau  pelayanan  perbankan. Perkuatan  LKM  selain  menyangkut  dengan  lemahnya  SDM  juga  tidak  adanya  jaringan yang  memungkinkan  terjadinya  inter  lending.  Disamping  itu  pengembangan  UKM memerlukan  kehadiran  lembaga  pendukung  agar  posisi  LKM,  penabung  dan  peminjam terlindungi  dari  berbagai  resiko.  Lembaga  keuangan  mikro  dapat  didudukkan  sebagai energi  pemberdayaan  UKM,  terutama  untuk  pembentukan  proses  nilai  tambah  dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.

Lembaga Keuangan Syariah 

Pada dasarnya perbuatan muamalat yang ditujukan untuk kebaikan hubungan berekonomi sesama  manusia  harus  mengandung  ciri  untuk  kemaslahatan  umum.  Oleh  karena  itu seharusnya  kita  melihat  kehadiran  sistem  syariah  dalam  transaksi  antar  individu  dan lembaga  harus  kita  tempatkan  dalam  kontek  pasar,  yaitu  karena  adanya  kebutuhan  dan ketersediaan  serta  dipilih  atas  dasar  pertimbangan  rasional  dan  moral  untuk  mencapai kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Karena perekonomian syariah dilandasi atas prinsip  kesempurnaan  kehidupan  diantara  kebutuhan  lahiriah  dan  rohaniah  dalam bertransaksi sesama hamba Allah maupun lembaga yang mereka buat, maka kerelaan atau “ridho” menjadi fundamen dasar setiap transaksi dua pihak atau lebih. 

Perdebatan ekonomi syariah sering dipersempit dalam konteks pada “bunga bank” sebagai riba atau bukan, sementara dimensi lain selain “riba” kurang diberikan pembahasan secara seimbang.  Selain  “riba”  terdapat  dua  aspek  penting  yakni  unsur  ada  tidaknya  judi  atau “maisir” yang sangat berkaitan dengan aspek resiko dan ketidakpastian serta ada tidaknya unsur kecohan (tipuan) yang dikenal sebagai hal yang mengandung unsur “gharar”. Ketiga unsur  yang  menjadi  dasar  perbuatan  transaksi  atau  “baia”  mempunyai  arti  yang  penting untuk  menilai  subtansi  suatu  transaksi  dapat  digolongkan  memenuhi  syarat  syariah  atau tidak. 

Pengkajian  ekonomi  syariah  secara  umum  masih  didominasi  oleh  kupasan  dari  dimensi “fiqih”  dan  ”administrasi  pembangunan”  bukan  kupasan  ilmu  ekonomi  dan  nilai  subtansi ajaran islam dalam menjelaskan perilaku individu muslim sebagai pelaku ekonomi. Padahal beberapa  kajian  empiris  oleh  para  ahli  ekonomi  juga  telah  banyak  menemukan  adanya perbedaan  perilaku  masyarakat  muslim  yang  tercermin  dalam  tingkah  laku  ekonominya (Metwali).  Tantangan  besar  bagi  para  ekonom  adalah  terus  mengkaji  kedudukan  moral ekonomi islam  atau sistem ekonomi syariah dan  bagaimana interaksi dengan sistem  yang lain dalam dunia global.

Apabila  kita  simak  secara  mendalam  ajaran  berekonomi  dalam  Al-qur’an  dilandasi  oleh suatu sikap bahwa tiada pemisahan antara ekonomi dan keberagamaan seseorang. Mencari nafkah adalah bagian dari ibadah dan tiada pemisahan antara agama dan kehidupan dunia. Dari titik tolak ini akan melahirkan dua konsekuensi yaitu : pertama, perlunya pembentukan sikap oleh  seorang individu akan  penguatan  hidup dan  pencarian  kebaikan di dunia  atau dalam hubungannya dengan bumi dan alam; kedua, soal pemilihan pribadi, sampai dimana batas dan tujuannya. Konsekuensi dasar pertama memerlukan pada sikap keharusan hidup bersahaja  yang menjadi dasar hidup seorang muslim untuk menghindari sikap hidup yang boros  dan  bermewah-mewahan.  Dengan  demikian  prinsip  kemanfaatan  didasarkan  atas pemenuhan kesejahteraan lahiriyah dan rohhaniah.

Jika prinsip ekonomi syariah sebagai dasar muamalat, maka seharusnya kita jangan buru-buru terpaku pada institusi. Institusi dengan berbagai karakter dan prinsip yang mengawal.

Kesimpulan

Kondisi menurunnya produktivitas perusahaan  secara  menyeluruh membawa akibat secara langsung berupa penurunan output perusahaan  Demikian  juga  dengan  produktivitas  usaha kecil  yang  terlihat  semakin  tidak  menentu  karena  dalam  tahun  2002  untuk kesekian kalinya kembali terjadi penurunan. Sektor-sektor yang mengalami kemerosotan adalah produktivitas perusahaan pertanian,  pertambangan  dan  galian,  listrik  dan  gas,  bangunan  dan  jasa-jasa. Kondisi tersebut telah menggerakkan pengembangan KSP dan LKM yang diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat,  kuat,  merata  dan  mampu  menyediakan  kebutuhan  pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi  tantangan  untuk  melaksanakan peningkatan produktivitas usaha. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme  pengelola  KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan.

Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan  segmennya  bermacam-macam.  Hal  ini  mengingat  sebagian  besar  kelompok  usaha mikro  belum  dapat  dilayani  oleh  bank.  Kelompok  peminjam  tersebut  meliputi  usaha produktif  masyarakat  yang  memiliki  perputaran  usaha  tinggi  dan  dipergunakan  untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Dengan demikian pelayanan  yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas diharapkan dapat membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga  ketergantungan  usaha  mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan.

Daftar Pustaka
  • A.R.  Karseno  Universitas Gadjah  Mada  yang  berjudul  “Pengaruh  3  Pranata  (Institusi)  pada  penerapan  teori  economic  Neo-klasik, tanggal 7 Pebruari 2004.
  • Dibyo Prabowo : Developent of Small and Medium-sized Enterprise, makalah pada seminar The Tokyo seminar on Indonesia 25-26 Agustus 2004 di Tokyo Jepang.
  • Stillman, Robert D ; Equity Financing for Technology, makalah pada Expert meeting on improving the competitiveness of SME through enhancing productive capacity : financing for technology 28-30 october 2002.
  • Lian, Daniel, Capital Creation-The Next Step Up ?, dalam Thailand Economics, Januari 16, 2003.
  • Soetrisno, Noer : Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial, STEKPI, Jakarta, Indonesia 2003.
  • Adiningsih, Sri, The Indonesia Business Rop in AFTA, Indonesia Business Perspective, Volume V,  No. 3, PT. Harvest International Indonesia, March, 2003, hal 20.
  • Mubyarto, Pemberdayaan ekonomi rakyat dan peranan ilmu-ilmu sosial, BPFE, Yogyakarta 2001 hal 31.
  • Neher, Philip A : Economic Growth and Development : A Mathematical Introduction, John Wiley & Sons, Inc, New York, Hal 207-255.
  • Hadi  Soesastro  ,  M.  N  Haidi  A.  Pasay  dan  Julius  A.  Mulyadi  :  Pertumbuhan  Ekonomi,  Perubahan Struktural dan Perilaku Konsumen, Jurnal Ekonomi Indonesia, Agustus 1996.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk akhir perayaan tahun? Pinjaman untuk ekspansi bisnis? Pinjaman untuk investasi baru? Pinjaman untuk melunasi utang jangka panjang dan tagihan. Cari lagi, Dianarobertloanfirm, dalam hubungannya dengan (PNC) grup jasa keuangan (PNC), menawarkan pinjaman berbunga rendah, non agunan. Kami di sini untuk menempatkan dan akhir, kemiskinan dan pengangguran, karena setiap orang memiliki / potensi sendiri. Hubungi kami hari ini dan Anda akan menjadi salah satu pelanggan kami yang terhormat. Email: info @ dianarobertloan@accountant.com.or dianarobertloanfirm @ gmail.com Terima kasih.