Pengunjung

Kategori

Entri Populer

User Login


  • Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  • Mecetak Sumber Daya Manusia yang kompetitif di dunia kerja.
  • Unggul dalam Pengetahuan dan Teknologi.
  • Membangun manusia Indonesia yang tangguh.

Rabu, 01 September 2010

Menciptakan Impulse Buying

Majalah Ilmiah Informatika (ISSN : 1411-6413)
Volume 1 No. 3, 1 September 2010 Hal : 56-68


Lisda Rahmasari
Fakultas Ekonomi Universitas AKI

Abstract

This study tries to determine what factors causing consumers to do impulse buying. This study uses 4 independent variables, that are store environment (X1), positive emotions (X2), personal selling sklill  (X3), in store promotion (X4), and impulse buying as the dependent variable (Y). After doing a literature review, and preparing  the hypothesis, the data were collected through a questionnaire distributed to 200 people in the Carrefour  shoppers of Semarang city, which has made an impulse buying with purposive sampling. Tthe analyes of the data processing are done by using SEM with AMOS program  . Based on the results of the analysis conducted, it  shows that, the four independent variables  significantly influence the dependent. Store environment variable  has positive effect of 0.209 with significance level 0.002,  positive emotions variable has positive effect of 0.320 with a significance level 0.000, the personal selling skill variable has a positive effect of 0.248 with a significance level of 0.003, and  in store promotion  variable has positive effect of 0.549 with a significance level of 0.002. 

Key words :  impulse buying, positive emotion,personal selling skill , in store promotion

1. Pendahuluan

Siapa yang tidak pernah melakukan impulse buying? Hampir dari kita mungkin pernah melakukannya. Seringkali, pembeli yang  belanja di pasar swalayan atau mal,  membeli barang di luar rencana semula. Walaupun daftar belanja sudah dicatat rapi, seperti di luar kesadaran,  masih saja mereka membeli yang tidak ada dalam daftar itu. Tentunya, bagi yang tidak terbiasa mencatat daftar barang yang hendak dibeli, potensi berbelanja di luar rencana jauh lebih besar. Impulse buying adalah proses pembelian suatu barang, dimana sipembeli tidak mempunyai niatan untuk membeli sebelumnya.  Pembelian tanpa rencana atau  pembelian seketika.

Dengan semakin terbukanya peluang bisnis bagi pengusaha asing untuk berekspansi mengembangkan bisnis ritelnya di Indonesia dan  upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong perkembangan bisnis ritel akan mengakibatkan tumbuhnya ritel modern yang begitu pesat. Pernyataan ini diperkuat dengan data hasil survey yang dilakukan oleh Nielsen Media Research dan Retail Asia Magazine yaiut jumlah gerai hypermarket di tahun 2008 meningkat sekitar 25 persen dari 109 menjadi 146 unit; sementara supermarket pertumbuhannya lebih cepat yakni sekitar 29 persen dari 85 menjadi 120. Peningkatan jumlah gerai yang paling tajam terjadi pada minimarket. Alfamart pada tahun 2005 hanya memiliki 1263 gerai. Kemudian, pada tahun 2008, jumlahnya berkembang menjadi 2750 gerai. Peningkatan indomaret bahkan lebih fantastis, dari 1401 di tahun 2005 menjadi 3093 di tahun 2008.

Perilaku pembelian yang tidak direncanakan merupakan sesuatu yang menarik bagi produsen maupun pengecer, karena merupakan pangsa pasar terbesar dalam pasar modern. Tentunya fenomena “impulse buying .  Konsumen yang tertarik secara emosional (terutama untuk produk involvement) seringkali tidak lagi melibatkan rasionalitas dalam proses pengambilan keputusan pembelian. Konsumen sebagai pengambil keputusan pembelian atau yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan tersebut, perlu dipahami melalui suatu penelitian yang teratur. Strategi yang tepat dan trik khusus perlu di miliki, tentunya faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan impulse buying perlu di ketahui oleh pemasar supaya pengorbanan yang besar terutama untuk biaya promosi bisa terbayar dan tidak menjadi sia-sia. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa seseorang terdorong untuk melakukan impulse buying diantaranya adalah karena faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang ada pada diri seseorang yaitu pada suasana hati dan kebiasaan mereka berbelanja apakah di dorong sifat hedonis atau tidak.

Beberapa  faktor yang mempengaruhi impulse buying antara lain : 

1.1 Pengaruh Store Environment terhadap Impulse Buying 

Store Environment merupakan unsur penting dalam retailing mengingat bahwa 70% dari pembelian ternyata merupakan impulse buying atau pembelian yang tidak direncanakan (Dunne & Lusch, 2005). Melalui elemen-elemen yang ada di dalam store environment, retailer dapat menciptakan stimuli-stimuli yang akan memicu atau mengerakan pelanggan untuk membeli lebih banyak barang diluar yang mereka rencanakan. Store environment yang dirancang dengan baik dan sesuai dengan target market yang ditetapkan akan dapat menciptakan emosiemosi yang kondusif untuk berbelanja. Berdasarkan teori Dunne and Lusch, store environment meliputi store planning (layout dan design), visual merchandising, dan visual communication.

1.1.1 Store Planning

Store planning adalah sebuah skema tentang penempatan barang-barang maupun departemen lainnya dalam sebuah toko. Dalam retailing, istilah store planning atau juga bisa disebut floor plan adalah sebuah skematis yang menujukkan dimana barang-barang dan pusat pelayanan berada, bagaimana sirkulasi pelanggan di dalam toko dan seberapa banyak ruang yang dialokasikan untuk tiap-tiap departemen, dan desain interior dari toko tersebut . Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam store planning yaitu allocating space, circulation, dan interior design

a. Allocating space

Langkah pertama untuk merancang sebuah floor plan yaitu dengan mengalokasikan ruang yang ada yaitu dengan menentukan aisles, service areas and other nonselling areas. Meskipun berada di lantai penjualan utama, beberapa bagian ruang harus dialokasikan untuk fungsi lain di luar penjualan. Aisles yang ada harus cukup lebar untuk mengakomodasi orang yang banyak sehingga pengunjung tidak berdesak-desakan.

b. Circulation

Pola yang digunakan sebuah toko tidak hanya memastikan efisiensi dari perputaran pelanggan di dalam toko dan memicu mereka untuk melihat lebih banyak barang, tetapi juga akan menentukan karakter dari toko itu. 

c. Interior design

Desain interior dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu finishing yang digunakan untuk seluruh permukaan (baik untuk lantai, dinding maupun plafon) dan bentuk arsitektur didalam toko itu sendiri. Banyak sekali hal yang dibutuhkan untuk menciptakan image bagi sebuah toko dan diperlukan pemilihan bahanbahan material, penataan lampu, sound and smell yang mendukung untuk terciptanya image yang tepat dan sesuai dengan keinginan pelanggan. Masalah penerangan seringkali luput dari perhatian retailer padahal pemahaman mengenai penerangan dapat memberikan efek yang mendukung pada merchandising dan dapat meningkatkan penjualan. Di sebuah departemen store misalnya, pemakaian lampu yang terang pada bagian pakaian malah akan menurunkan tingkat penjualan, karena lampu yang terang tidak dapat menciptakan kesan yang elegan melainkan kesan diskon pada pakaian yang di jual. Pada perkembangannya, lighting tidak hanya sesederhana memilih jenis dan warna lampu, tetapi dibutuhkan pengetahuan yang lebih dalam mengenai dampak lampu tersebut terhadap tekstur dan warna. Design yang efektif harus dapat dirasakan oleh semua panca indera mulai dari indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan peraba atau sentuhan. Walaupun ada beberapa penelitian membuktikan hal yang berbeda, tetapi indera peciuman dipercaya sebagai indera yang paling berhubungan dengan memori dan emosi. Dan retailer dapat menggunakan hal ini untuk menciptakan suatu mood di dalam toko bagi pelanggan. Sebagai contoh aroma roti dan kue yang masih fresh dari oven dapat
membuat pelanggan lebih santai dalam berbelanja.

1.1.2 Merchandising

Ada dua tipe dasar dari cara penyajian atau mempresentasikan barangbarang yang ditawarkan di dalam toko yaitu on-shelf merchandising dan visual merchandising. Retailer harus memahami komponen-komponen dasar dalam cara penyajian barang dan bagaimana pengaruh potensialnya dalam mendukung image yang mau diciptakan untuk sebuah toko dan juga pengaruhnya terhadap tingkat penjualan, termasuk di dalamnya adalah pemilihan tipe perabotan yang sesuai. a. On-shelf merchandising

On-shelf merchandising adalah penyajian barang-barang di meja pajangan, rak, dan perabotan di seluruh toko. “On-shelf merchandising is the display of merchandising on counters, racks, shelves, and fixtures throughout the store” (Dunne & Lusch, 2005 p.467). Yang dimaksudkan disini adalah barang-barang yang disentuh, dicoba, diperiksa, dibaca, dimengerti dan yang akan dibeli nantinya oleh pelanggan. Maka dari itu, on-shelf merchandising tidak hanya harus menyajikan barang-barang dengan menarik tetapi juga menyajikannya dengan cara yang mudah untuk dimengerti dan diakses oleh pelanggan. Lebih jauh, penataan barang-barang tersebut harus masuk akal sehingga pelanggan tidak mengalami kesulitan untuk mengembalikannya ke tempat semula. Selain itu, penataan barang-barang sebaiknya jangan berlebihan sehingga membuat pelanggan takut untuk menyentuh. Tak kalah untuk dipertimbangkan yaitu jangan sampai penataan barang-barang tersebut malah akan dapat membahayakan atau mencederai pelanggan. Kesalahan umum yang sering dilakukan oleh retailer yaitu menjejalkan barang sebanyak mungkin ke dalam toko dengan harapan mereka dapat meningkatkan tingkat penjualan mereka.Pada dasarnya terdapat enam metode pada tipe ini yang digunakan oleh retailer untuk menyajikan barang-barang yang ditawarkan dimana masing-masing dari metode ini dapat memberikan dampak yang dramatis terhadap store image dan juga space productivity. Pada metode-metode penyajian tersebut terdapat faktor psikologi.

a. Shelfing

Metode ini menempatkan barang-barang pada rak-rak yang ada dalam gondola atau di dinding. Metode shelving ini fleksibel dan lebih mudah untuk merawat barang-barang yang ditawarkan.

b. Hanging

Beberapa jenis barang khususnya pakaian dapat digantung pada softlines features seperti round racks ataupun four-way racks atau bisa juga digantung pada palang yang di pasang di dinding.

c. Pegging

Barang-barang kecil dapat dipancangkan di pengait yang dipasang di gondola maupun di dinding. Metode ini menimbulkan kesan rapi tapi sangat dibutuhkan tenaga yang lebih intensif untuk menata dan menjaga kerapiannya.

d. Folding

Barang yang cukup besar dapat dilipat kemudian diletakkan ke dalam rak atau ditempatkan di atas meja. Hal ini dapat menciptakan image high-fashion dengan harga yang lebih mahal.

e. Stacking

Barang-barang yang besar dapat diletakkan ditumpuk di bagian bawah gondola atau langsung diletakkan diatas lantai yang akan menimbulkan kesan volume besar dengan harga murah.

f. Dumping

Barang-barang yang kecil-kecil dengan jumlah yang banyak dapat diletakkan di sebuah keranjang di dalam gondola atau di dinding. Metode ini efektif untuk menimbulkan kesan volume besar dan harga murah. Merchandising juga menyangkut price image karena hal itu erat hubungannya dengan dampak dari pemilihan barang-barang dengan kualitas yang sesuai dengan image yang mau ditampilkan dan pemilihan metode penyajian barang-barang tersebut sehingga memperkuat image tersebut. Tetapi dalam penelitian ini, merchandising lebih ditekankan pada cara penyajianya karena hal tersebut erat hubungannya dengan menciptakan store environment.

1.1.3 Visual Communication

Salah satu masalah yang dihadapi oleh retailer adalah bagaimana mengontrol biaya pekerja dengan tetap mempertahankan komunikasi dengan pelanggan dan menyediakan pelayanan yang berkualitas. Solusinya adalah visual communications berupa tanda-tanda, gambar atau media lainnya yang dapat digunakan sebagai pengganti sales person yang dapat memberi informasi dan memberikan pengarahan yang dibutuhkan oleh pelanggan untuk berbelanja di toko tersebut, mengevaluasi barang-barang yang ditawarkan dan melakukan pembelian. Instalasi dari visual communications merupakan biaya yang hanya satu kali dan dapat diandalkan fungsinya daripada sales person yang kadang kala terlambat, mengalami suasana hati yang buruk atau memperlakukan pelanggan dengan salah. Tetapi apabila kita kombinasikan antara visual communications dengan personal services maka dapat menciptakan selling environment yang efektif. Yang termasuk di dalam visual communications diantaranya :

a. Name, Logo and Retail Identity

Hal pertama yang terlihat dari visual communications adalah identitas retailer yang tersusun dari nama toko, logo, dan elemen visual yang mendukung.

b. Institutional Signage

Institutional signage yang menggambarkan misi, kebijakan pelayanan di dalam toko atau pesan-pesan lain yang mau disampaikan atas nama institusi retailer. Pesan-pesan sperti “dijamin harga murah” atau “menerima segala macam kartu kredit”

c. Directional, Departemental and Category Signage

Directional signane department signane bisanya besar dan diletakan di tempat yang tinggi supaya dapat dilihat oleh pelanggan pada saat berbelanja. Directional signage adalah tanda-tanda yang memberikan informasi mengenai letak-letak barang. Pada retail kecil directional signage tidak perlu digunakan.

d. Point of Sale Signage

Point of sale ukurannya relatif kecil dan ditempatkan sangat dekat dengan barang yang dimaksudkan, dan berguna memberikan detail tentang barang yang dijual.

e. Lifestyle Graphic

Visual communications tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga bisa menggunakan gambar-gambar.

1.2 Pegaruh Emosi Positif terhadap Impulse Buying

Taman dalam Tirmizi,et al. (2009) menemukan hubungan positif emosi positif, keterlibatan dan mode fashion yang berorientasi impuls membeli dengan dorongan keseluruhan perilaku pembelian dari konsumen. Perasaan seperti jatuh cinta, sempurna, gembira, ingin memiliki, bergairah, terpesona, dan antusias, dari berbagai studi, disinyalir memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kecenderungan melakukan impulse buying (Premananto, 2007). Emosi positif didefinisikan sebagai suasana hati yang mempengaruhi dan yangmenentukan intensitas pengambilan keputusan konsumen.(Watson dan Tellegen dalam Tirmizi,et al., 2009). Namun lebih luas perlu dibedakan mengenai emosi yang berkaitan dengan keputusan pembelian misalnya emosi yang diciptakan merek, stimuli yang ada dan emosi yang sifatnya lebih luas. Hal tersebut dikemukakan oleh Shiv dan Fedorikhin dalam Premananto (2007) dengan mengklasifikasikan emosi menjadi task-induced affect yang dinyatakan sebagai ‘affective reaction that arise directly from the decision task itself’ dan ambient affect yang dinyatakan sebagai ‘affective states that arise from background condition such as fatigue and mood.’

Emosi positif yang dirasakan konsumen akan mendorong konsumen untuk mengakuisisi suatu produk dengan segera tanpa adanya perencanaan yang mendahuluinya dan sebaliknya emosi yang negatif dapat mendorong konsumen untuk tidak melakukan pembelian impulse (Premananto, 2007).

1.3 Pengaruh Personal Selling Skill terhadap Impulse Buying 

Pembeli kemungkinan besar terbuka dan fleksibel terhadap pikiran pembelian tiba-tiba atau pembelian yang tidak diduga-duga. Karena bisa jadi, saat dihadapkan pada keputusan membeli, konsumen seringkali membutuhkan persetujuan dan opini orang-orang di sekitar mereka. Bisa dari pasangan, keluarga, teman dekat, dan tak luput pula, pendapat dari Sales Person/SPG yang berada di toko, tempat mereka akan membeli produk. Kepercayaan konsumen pada opini wiraniaga (pelayan toko) harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi promosi (Engel,et al., 2008 ). Di segmen usaha retail, pemilik merek perlu benar-benar membekali SPG dengan skill khusus untuk merekomendasikan produk yang benar-benar sesuai kondisi dan kebutuhan konsumen. Pelayan toko hadir di toko untuk mengatasi masalah konsumen ketika mereka menghadapi keputusan pembelian sulit. Pelayan toko perlu ada di sana untuk membantu saran pertimbangan dan membuat keputusan pembelian konsumen menjadi lebih mudah. Hasil riset terakhir menunjukkan bahwa semakin banyak orang cenderung meminta pendapat pelayan toko yang berada di toko, untuk membantu keputusan pembelian. Apalagi ketika pembelian produk bersifat impulse buying-pembelanjaan yang tidak direncanakan- ketika konsumen dalam kondisi 'terdesak' merasa harus membeli dan memiliki barang/produk segera saat itu juga. Perilaku pelayan toko dapat mempengaruhi segala kemungkinan yang terjadi di titik beli. Mereka dapat mengubah keragu-raguan antara membeli atau tidak membeli (Peter dan Olson, 2008). Bahkan menurut Engel, et al. (2005) Potensi untuk mempengaruhi konsumen selama berbelanja dapat dipengaruhi secara kuat oleh staf garis depan pengecer. Ini menunjukkan bahwa rangsangan merek melalui interaksi antara pelanggan dan pelayan toko mampu mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian terutama yang bersifat impulse buying.

1.4 Pengaruh In Store Promotion terhadap Impulse Buying

Salah satu cara yang dilakukan oleh peritel u ntuk mempertahankan keunggulan bersaing dan menjaga gross profit adalah dengan promosi. Promosi dapat dilakukan melalui berbagai macam jenis media baik di luar toko ataupun promosi yang dilakukan di dalam toko (instore promotion). Promosi di luar toko dapat dilakukan dengan tujuan untuk menarik konsumen mengunjungi toko dan promosi yang dilakukan di dalam bertujuan untuk menjadi stimulus yang dapat merangsang keputusan pembelian konsumen di dalam toko, baik keputusan yang telah direncanakan atau pun keputusan yang belum direncanakan sebelum datang ke toko. In-store promotion merupakan salah satu bentuk promosi yang dapat dilakukan oleh peritel ataupun pemilik produk. Dalam usaha ritel salah satu tujuan dilaksanakannya in-store promotion adalah untuk mempercepat pergerakan barang yang pada akhirnya dapat berdampak pada penjualan. Selain itu, tujuan lain dilaksanakannya promosi adalah untuk mengurangi penumpukan barang yang sudah out of date atau dengan kata lain mendekati tanggal kadaluarsa. Peritel juga melakukan promosi untuk menjaga keseimbangan barang yang disediakan dengan barang yang dibutuhkan oleh konsumen. Belakangan ini strategi in-store promotion banyak dilakukan oleh para peritel maupun perusahaan manufaktur.  Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya iklan-iklan yang dibuat melalui display toko baik berupa iklan banner, point of purchase, poster yang ditempelkan pada rak di dalam toko, iklan yang ditempelkan pada keranjang belanja, bahkan tayangan iklan melalui video di dalam toko. Dengan adanya iklan atau promosi di dalam toko diharapkan akan menarik minat konsumen untuk membeli produk tersebut. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reveries.com 72% responden (peritel dan perusahaan manufaktur) menyatakan bahwa in-store promotion merupakan salah satu media alternatif untuk menarik minat konsumen membeli suatu produk. Iklan atau berbagai promosi yang dilakukan peritel ataupun supplier di dalam toko merupakan daya tarik yang secara langsung dapat mengingatkan konsumen terhadap suatu produk tertentu. Promosi tersebut dapat menimbulkan keinginan membeli oleh konsumen walaupun sebelumnya konsumen tidak merencanakan membeli produk atau merek tersebut. Hal ini dapat disebut sebagai impulse buying atau dorongan membeli yang tidak direncanakan sebelumnya. Untuk menetapkan promosi di dalam toko yang tepat yaitu promosi yang dapat meningkatkan keputusan berdasarkan impulse, peritel dan supplier perlu mengetahui bagaimana promosi di dalam toko dapat mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli suatu produk atau merek barang tertentu. Berdasarkan hal tersebut, studi mengenai bagaimana pengaruh promosi di dalam toko (in-store promotion) terhadap keputusan membeli konsumen yang tidak direncanakan sebelumnya (impulse buying) perlu diteliti.

2. Metodologi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pengunjung yang pernah melakukan pembelian tanpa rencana (impulse buying) produk di Carrefour Semarang . Sampel yang diambil sebanyak 200 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria penelitian responden pernah melakukan pembelian tanpa rencana .

2.1 Metode pengumpulan data

Dalam usaha untuk mendapatkan data yang dibutuhkan metode yang digunakan adalah :

1. Kuesioner

Metode ini dilakuan dengan mengajukan daftar pertanyaan yang bersifat tertutup dan terbuka kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat tertutup diukur dengan menggunakan skala dengan interval 1-10, dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju.

2. Studi pustaka

Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari literatur dan sumber pustaka yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2.2  Teknik Analisis 

Alat analisis yang digunakan untuk menguji model tersebut dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) dengan bantuan program AMOS versi 6.0. Pengujian goodness of fit model dilakukan sebelum pengujian hipotesis penelitian. Pengujian goodness of fit dilakukan dengan melihat beberapa indeks goodness of fit, seperti absolute goodness of fit, incremental goodness of fit dan parsimony goodness of fit. Absolute goodness of fit merupakan indeks kelayakan yang paling berperan dalam model kausalitas berjenjang. Metode estimasi yang umum dalam SEM  ialah estimasi kesamaan maksimum (maximum likelihood (ML) estimation). Asumsi pokok untuk metode ini ialah normalitas multivariat  untuk semua variable exogenous.. Dengan menggunakan  Amos kita dapat mencocokkan model kita dengan data yang ada. Salah satu tujuan menggunakan  Amos ialah menyediakan estimasi-estimasi yang paling baik terhadap parameter-parameter yang bervariasi sekali didasarkan dengan meminimalkan fungsi yang melakukan indeks seberapa baik model-model, serta dikenakan kendali-kendali yang sudah didefinisikan terlebih dahulu. Amos menyediakan pengukuran keselarasan model (goodness-of-fit) untuk membantu melakukan evaluasi kecocokan model. Setelah menelaah hasil-hasilnya  maka kita dapat menyesuaikan model-model tertentu dan mencoba memperbaiki keselarasannya. Amos juga menyediakan model  ekstensif  untuk mencocokkan diagnosa- diganosa yang dibuat oleh peneliti. Membandingkan model-model dalam SEM merupakan metode dasar untuk pengujian semua hipotesis baik yang sederhana maupun yang  kompleks.

3. Hasil Dan Pembahasan
  1. Hasil analisa menunjukkan store planning, merchandising dan visual communication secara bersama sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap impulse buying.
  2. Variabel bebas emosi positif secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat impulse buying. Variabel emosi positif berpengaruh positif sebesar 0,320 dengan tingkat signifikansi 0,000, variabel respon lingkungan belanja berpengaruh positif sebesar 0,210 dengan tingkat signifikansi 0,011, Maka dapat dikatakan bila seorang konsumen tidak merasakan emosi yang positif saat berbelanja di toko ritel modern maka akan memperkecil niat mereka untuk melakukan impulse buying, sehingga keputusan untuk melakukan pembelian impulsif bisa lambat atau bahkan tidak ada. Begitu juga sebaliknya pada saat seorang konsumen merasakan adanya emosi yang positif saat mereka berbelanja di toko ritel modern dalam penelitian ini yaitu pada Carrefour  maka pada saat ada kesempatan mereka akan secepatnya melakukan impulse buying atau pembelian impulsif. Berdasarkan hasil yang telah didapat maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mendukung hasil penelitian Veronika Rachmawati (2009), yangmenyatakan bahwa variabel positive emotion atau emosi positif mempunyai pengaruh terhadap variabel impulse buying terbukti kebenarannya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode three box didapat bahwa pada indikator perasaan puas saat berbelanja memiliki nilai indeks yang sedang yaitu sebesar 61,4%.
  3. Variabel bebas personal selling  secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat impulse buying. Variabel personal selling  berpengaruh positif sebesar 0,248 dengan tingkat signifikansi 0,003, Maka dapat dikatakan bila seorang pelayan toko yang cerdas menjelaskan produknya ke konsumen bahkan mampu mempengaruhi konsumen untuk membeli maka akan semakin cepat konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian walaupun sebelumnya tidak direncanakan. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Darmayanti (2009), yang menyatakan bahwa interaksi antara pelanggan dan pelayan toko berpengaruh terhadap impulse buying. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode three box didapat bahwa pada indikator kemampuan pelayan toko mempengaruhi pelanggan memiliki nilai indeks yang sedang yaitu sebesar 58,8%.
  4. Berdasarkan analisis regresi didapatkan hasil bahwa in-store promotion mempengaruhi keputusan impulse buying . Variabel in store promotion berpengaruh positif sebesar 0.549  dengan tingkat signifikansi 0,002.
4. Kesimpulan Dan Saran
  1. Hasil analisa menunjukkan store planning, merchandising , visual communication , emosi positif , personal selling skill dan in store promotion secara bersama sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap impulse buying. 
  2. Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap impulse buying adalah emosi positif sehingga saran praktis lebih difokuskan kepada variabel tersebut. Berdasarkan hasil statistik deskriptif variable emosi positif, indikator dengan indeks yang paling rendah adalah perasaan penuh kegembiraan dan perasaan penuh semangat. Perasaan penuh kegembiraan dan penuh semangat  saat berbelanja merupakan cerminan dari situasi lingkungan belanja yang baik sehingga kedua indicator tersebut harus dapat ditingkatkan di toko ritel modern.
Daftar Pustaka
  • Assael, Henry. 2001. Consumer Behavior and Marketing Action. 6th ed. Natorp Blvd,Mason: South-Western College Publishing
  • Buedincho, P. 2003. “Impulse Purchasing: Trend or Trait?.” Orlando: UCF
  • Darmayanti. 2008. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impulse Buying Konsumen Pada Butik Rudi Collection Tangerang.”  Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro
  • Engel, J.F., R.D, Blackwell dan P.W. Miniard.1995.Perilaku Konsumen. Edisi Keenam. Jakarta : Binarupa Aksara
  • Esch, Franz-Rudolf, Joern Redler Dan Tobias Langner. 2003. “Promotional Efficiency And The Interaction BetweenBuying Behavior Type And Product Presentation Format –Evidence From An Exploratory Study.” Personal Selling and Sales Management Track, p. 1838-1845
  • Ferdinand, Augusty T. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Edisi II. Semarang: Bp Undip
  • Ghozali, Imam. 2005. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Undip
  • Jaya Negara, Danes, 2002, “The Relationship beetwen Shopping Environment and Shopping Behaviour: An Approach to Structural Equation Modelling.” Sinrem I, 29 Juni: 305
  • Mehrabian A. And Russel, J.A., An Approach to Environmental Psychology. in Fisher, Feffrey D., Paul A. Bell, and Andrew Baum (1984). Environmental Psycholog. 2nd ed. New York: Holt, Rinehart and Winston
  • Park, Jihye dan Sharron J. Lennon, 2006, “Psychological and Environmental Antencendents of impulse buying tendency in the multichannel shopping context”, journal of consumer marketing, vol. 23, no. 2, p. 58-68
  • Permana, Agung Surya. 2006. “The Effect of Religiosity And Locus of Control onShopping Orientation: A Study In Mm-Ugm Yogyakarta.” Skripsi Tidak Dipublikasikan, Magister of Management Program Department of Social Science, Universitas Gajah Mada
  • Peter, J.P. dan J. C. Olson.1999. Consumer Behaviour : Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Jilid 1. 4th ed”, Jakarta : Erlangga
  • Tjiptono, Fandy. 1999. Strategi Pemasaran. Penerbit Andi: Yogyakarta.
  • Utami, Christina Whidya. 2006.  Manajemen Ritel  : Strategi  dan Implementasi Ritel    Modern. Jakarta : Salemba Empat

0 komentar: